Search
Close this search box.

SH : Keadaannya Tidak Membaik Kan?

Oleh: Jeffry Hutton

Suarakita.org- SH mengaku saat itu bukanlah saat yang bisa dibanggakan dalam hidupnya. Tanpa mengenakan baju, si kutu buku berumur 25 tahun ini telah diundang ke atas panggung oleh salah satu stripper yang disewa untuk sebuah pesta di AG.

Aksi SH dan Stripper ini hampir tidak bisa disebut memalukan atau luar biasa di daerah ‘Red-Light’ distrik Kelapa Gading di Jakarta Utara tempat AG berada. Di daerah itu ada banyak tempat dengan nama lugas seperti Sensasi Playboy dan panti pijat untuk lelaki heteroseksual. Di sini, AG adalah sebuah layanan sauna gay di dalam negara konservatif. Mengingat kebiasaan lenggang hukum dan sifat ketidak-pedulian tradisional di Jakarta, SH masih merasa aman walaupun sedikit malu.

Namun perasaan aman itu segera hilang. Tepat saat ia naik ke panggung, polisi menggerebek tempat itu. Para petugas menggiring warga yang berada di dalam, ke tengah ruangan. Kebanyakan dari mereka telanjang, meringkuk, dan malu. Lalu mereka mulai menggambil gambar-gambar, salah satunya termasuk foto SH.. Dalam hitungan jam, foto-foto SH dan sekitar 140 orang lainnya muncul di media sosial, saat mereka dibawa pergi.

“Ketika atasan saya di masa depan meng-google nama saya, ini yang akan mereka lihat.” Ucap SH minggu lalu, seseorang yang bercita-cita untuk menjadi seorang Jurnalis, namun berdiam di penjara Cipinang, tempat dia ditahan sejak penahanannya di bulan Mei tersebut.

Minggu ini, Jaksa memberi tahu keluarga SH bahwa ia telah dijatuhi hukuman selama dua tahun tiga bulan di penjara karena ia telah melanggar undang-undang pornografi di Indonesia yang mencakup pelarangan pertunjukan tarian telanjang.

Di Indonesia, Negara yang memiliki mayoritas Muslim terbesar di dunia, homseksualitas secara umum ditolerir oleh masyarakat, tetapi hal ini mulai berubah tahun lalu, saat pihak-pihak yang berwenang (polisi) mulai ditekan oleh kelompok-kelompok ekstrimis Islam. Mereka menjawab tekanan itu dengan mulai menangkap pria-pria gay dalam jumlah yang kata para ahli belum pernah terhitung sebelumnya, bukan hanya menyerbu bar dan sauna, tapi kamar hotel dan apartemen pribadi warga.

Tindakan keras ini, di mulai pada bulan November 2016, saat polisi membubarkan sebuah pesta di Jakarta Selatan dan menahan 13 orang. Info terbaru terjadi pada bulan Oktober, ketika 15 pria ditangkap di dalam, yang dianggap oleh media, sebagai tempat gay sauna terakhir di Jakarta. (AG tutup setelah penggrebekan di bulan Mei 2017).

Sebagian besar dari ratusan pria yang digiring dalam razia kemarin dibebaskan tanpa pengajuan tindak hukum, hanya beberapa kasus yang akhirnya diadili. Sembilan tahanan dari penangkapan di AG minggu kemarin di dijatuhkan hukuman lebih dari dua tahun penjara.

Namun para korban penggerebekan yang tidak dituntut tidak bebas tanpa trauma. Banyak dari mereka telah menjadi sasaran bulan-bulanan media, dengan liputan berita yang memalukan dan mengerikan, lalu foto-foto mereka di posting ke media sosial. Stasiun-stasiun berita di Indonesia terus menerus mendeskripsikan layanan yang ditawarkan di AG secara detail, seperti sel penjara palsu untuk fantasi ‘role-play’, dan berspekulasi bahwa AG merupakan salah satu jaringan pelacuran.

Pihak yang berwenang telah membenarkan penggrebekan tersebut dengan mengutip Undang-Undang Pornografi yang secara lentur melarang penggunaan materi ataupun tindakan yang melanggar kesopanan publik. Namun, Ade Armando, seorang professor komunikasi di Universitas Indonesia yang membatnu menyusun undang-undang tersebut menyatakan bahwa penggrebekan tersebut sudah melampaui jangkauan dan tujuan undang-undang tersebut.

“Ini tidak adil. Hal yang dilakukan polisi di sana itu tidak benar.” Ucap Bapak Armando. “Hotel adalah tempat pribadi, hukum pornografi tidak berlaku disana.”

Secara historis, kelompok gay dan transgender di Indonesia telah diterima – walau kadang sering disalahpahami – selama mereka mengikuti tradisi, yaitu menikahi masyarakat berlawan jenis dan memiliki anak, ucap Tom Boellstorff, Antropolog di Universitas of California, Irvine, dan penulis The Gay Alchipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia.

Sepasang gay memang pernah dicambuk di depan umum di provinsi otonomi Aceh, tempat hukum Syariah ditegakkan. Namun di sekitar sebagian besar warga Indonesia, kekerasan anti-homoseksual itu langka, dan penganiayaan terhadap orang gay lebih jarang lagi. Walaupun kelompok-kelompok tertentu, yang main hakim sendiri, kadang mendapatkan sorotan media karena membatalkan festival film gay atau kontes kecantikan transgender, kekerasan semacam itu tidak dilaksanakan oleh negara, kata Boellstorff.

“Kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak tahu apa arti kata ‘Gay’.” Katanya. “Hal ini dulu tidak termasuk di dalam radar pemerintah.”

Namun hal itu sudah mulai berubah dalam beberapa tahun terahir, karena politisi di Indonesia melihat keuntungan dari merangkul sentimen Islam garis keras.

Pada awal tahun 2016, Menteri Pendidikan Tinggi melarang grup LGBT masuk kampus. Lalu diadakan regulasi penyiaran yang melarang penggambaran karakter gay atau pria yang feminin di televisi.

Menteri Pertahanan menyamakan homoseksualitas dengan perang nuklir. Menurut Pak Menteri, ledakan yang terjadi di Jakarta setidaknya bisa di kontrol, namun toleransi terhadap warga Gay bisa menyebar ke seluruh Negeri.

Presiden Joko Widodo berusaha untuk berbicara atas hak asasi kaum LGBT dengan hasil yang sia-sia, gelombang penggerebekan tidak tertahan dan mulai kembali bulan berikutnya.

Pekan lalu, ada sebuah petisi yang dibuat oleh kelompok konservatif yang akan melarang semua seks di luar nikah, hal ini secara efektif akan mengkriminalisassi homoseksualitas (karena mereka tidak bisa menikah) namun s ditolak oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia.

Boellstorff mengatakan bahwa tindakan kekerasan saat ini pada pria gay tidak memiliki batas dan preseden. “Hidup sekarang lebih buruk dari yang pernah terjadi kepada mereka dalam sejarah Indonesia untuk kelompok gay,” sebutnya.

Para pendukung HAM merasa skeptis bahwa SH dan para terdakwa kasus AG lainnya akan mendapatkan pengadilan yang adil. Sebab Kepala Hakim kasus ini, Pinta Uli Bory Taringan, sering dikritik oleh Human Rights Watch pada tahun 2011 karena melakukan penghinaan terhadap Ahmadiyah, sebuah sekte minoritas Muslim, saat mengadili persidangan terhadap para pria tertuduh yang melakukan serangan massa yang membunuh tiga dari mereka. SH mengatakan bahwa Hakim Taringan menggunakan kisah Sodom dan Gomora di dalam audiensinya.

“Dia memiliki rekor buruk dalam hal Hak Asasi Manusia.” Sebut Ricky Gunawan, seorang pengacara Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di Jakarta yang berspesialisasi dalam kasus-kasus HAM.

SH mengatakan bahwa keluarganya menyewa pengacara yang dipilih oleh pihak polisi, dia masuk dalam ‘guilty plea’ yang berarti pembelaan bersalah, yang pada dasarnya merupakan salinan dari tuntutan jaksa saja. Saudara perempuan SH, yang namanya tidak diidentifikasikan karena dia takut akibat negatif di tempat kerjanya, mengatakan bahwa keluarganya telah mengikuti kehendak pihak polisi dengan harapan untuk mendapatkan hukuman ringan.

“Kami khawatir bahwa pengadilannya akan seperti pasir kering…” Kata si adik. “Semakin anda berontak, semakin cepat anda tenggelam.”

Adik SH sendiri telah menduga ada yang tidak beres pada malam penggrebekan di AG terjadi karena dia tidak bisa menghubungi kakaknya lewat teks. Keesokan harinya, ketakutannya bertambah saat rekan kerja SH mengatakan bahwa mereka juga tidak dapat kabar darinya. Si adik pulang lebih dulu dari kantor untuk berada bersama ibunya. Dalam perjalanan pulang, pesan-pesan dukungan yang samar dan canggung mulai datang dari kerabat jauh mereka.

Di rumah, si adik menemukan ibunya, sorang Kristen yang taat, sedang menangis, bukan hanya karena anaknya ditangkap, tapi juga karena anaknya ternyata gay.

Masyarakat Indonesia susah berjuang untuk menyampaikan berita tentang penggerebekan tersebut dalam konteks, karena hanya sedikit contoh positif mengenai pria gay di media popular Indonesia. Tidak ada film Brokeback Mountain versi Indonesia, ucapnya.

Ibu SH sudah sangat mendukung anaknya setelah ia syok pada awalnya, juga seperti anggota keluarga yang lain dan teman-teman SH lainnya. Setidaknya seminggu sekali, Sang Ibu menerjang lalu lintas mengerikan Jakarta dan beberapa jam yang dibutuhkan untuk melewati pos keamanan untuk mengunjungi anaknya di penjara. SH bilang hidupnya telah menjadi rutinitas membosankan yang berisi oleh latihan, mengunjungi perpustakaan, dan berdoa di gereja. Dia bilang dia tidak dianiaya di dalam penjara.

Namun SH, mengacu dengan kasar dan pahit terhadap kampanye “It Gets Better”, kampanye yang diunjukkan untuk pemuda gay yang diintimidasi dan merasa tidak optimis dengan masa depan pria gay di Indonesia.

“Keadaanya tidak membaik, kan.” Katanya “It doesn’t get better, does it.” (Far)

Sumber : NYTimes