SuaraKita.org – Pameran seni bertema LGBT yang disebut-sebut sebagai yang pertama di Asia dibuka di Taiwan pada hari Sabtu lalu, beberapa bulan setelah pengadilan tinggi negara tersebut memutuskan untuk mendukung kesetaraan pernikahan bagi pasangan LGBT.
Sebuah seni papercutting yang menggambarkan dua lelaki di kereta api dan sketsa arang berukuran besar dari pasangan homoseksual yang saling merangkul adalah sebagian dari karya seni yang dipajang di Museum of Contemporary Art (MoCA) di ibukota Taipei.
Penyelenggara mengatakan pameran – berjudul “Spectrosynthesis” – adalah pertunjukan pertama yang berpusat di seputar isu LGBT yang akan diadakan di museum yang dikelola pemerintah.
Pameran ini menyatukan karya-karya dari 22 seniman dari Taiwan, China, Hong Kong dan Singapura, yang kebanyakan adalah homoseksual dan seorang transgender.
Taiwan adalah salah satu masyarakat Asia yang paling bebas dalam hal-hak homoseksual, negara ini menarik puluhan ribu pengunjung setiap tahunnya melalui acara parade gay tahunan .
Negara ini ditetapkan sebagai tempat pertama di wilayah asia yang melegalkan hubungan sesama jenis setelah pengadilan pada bulan Mei lalu memerintahkan parlemen untuk mengubah undang-undang yang relevan dalam waktu dua tahun.
Namun memang masih saja ada pertentangan, ditandai dengan ribuan orang yang turun ke jalan dalam demonstrasi di depan pengadilan.
Direktur MoCA Yuki Pan mengatakan bahwa dia berharap seni dapat berperan dalam menutup kesenjangan tersebut, membantu masyarakat belajar tentang beberapa isu yang dihadapi komunitas LGBT.
“Dengan perasaan dan empati, orang mungkin bisa memahami rasa sakit yang timbul karena dipinggirkan dan difitnah oleh masyarakat,” kata Yuki Pan.
“Kami merasa sedikit gugup dengan pertunjukan tersebut, tapi saya yakin ini akan membantu kita untuk memajukan hak asasi manusia melalui seni,” katanya.
Penindasan terhadap komunitas LGBT merupakan tema yang menonjol dalam pameran.
Terlihat dalam sebuah video yang dibuat oleh komposer Hong Kong Samson Young menunjukkan sebuah paduan suara namun nyanyian mereka tidak terdengar – melambangkan suara “yang belum pernah terdengar” dan “terpinggirkan”.
Seniman asal China Xi Ya Die melalui seni papercutting tradisional China menceritakan pertemanan seksual pertamanya dengan seorang lelaki dan bagaimana dia berjuang dengan rasa bersalah saat lelaki tersebut menikah dengan seorang perempuan.
Salah satu dari lima buah karyanya yang dipamerkan menggambarkan seorang lelaki menjahit saat ia duduk di atas pin dengan kakinya terjalin dengan seekor ular, yang menurutnya menunjukkan rasa sakit dan ketakutan yang dia rasakan saat berusaha untuk menekan homoseksualitasnya.
“Saya telah mengalami banyak rasa sakit, rasa tidak berdaya, dan penindasan dalam hidup saya,” katanya.
“Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menerangkan penderitaan yang saya rasakan.” (R.A.W)
Sumber: