Search
Close this search box.

Masih Pentingkah Berpikir LGBT Genetis Atau Lingkungan?

Oleh : Hartoyo*

SuaraKita.org – Sampai sekarang masih terus diperdebatkan, apakah orientasi seksual itu genetis atau lingkungan? Tapi sebelum membahas terlalu jauh, mengapa yang selalu dipertanyakan identitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) ? Bagaimana dengan heteroseksual, laki-laki dan perempuan mainstream? Mengapa tak pernah dipertanyakan? Disini bias mendasarnya ketika kita mempertanyakan apakah LGBT genetis atau lingkungan?

Kecuali identitas perempuan pernah digugat oleh Simone de Beauvoir dalam buku fenomenalnya, The Second Sex. Menurut Simone de Beauvoir perempuan tidak pernah dilahirkan sebagai perempuan, tetapi “menjadi” perempuan. Ada sistem yang membentuk bagaimana manusia bervagina yang bernama perempuan dikontruksikan oleh nilai, budaya, agama, ekonomi dan politik untuk kepentingan kekuasaan laki-laki (patriarki).

Berangkat dari pertanyaan dasar itu. Sebagai orang (penulis) yang pernah belajar kajian genetis ketika kuliah. Ada teori dasar dalam ilmu genetis, yang kira-kira rumusnya ; Performance = Genetics + Environment (P = G + E ) dan interaksi antara genetik dan lingkungan. Performance dalam kajian genetika biasa disebut dengan fenotipe.

Fenotipe adalah suatu karakteristik (baik struktural, biokimiawi, fisiologis, dan perilaku) yang dapat diamati dari suatu organisme yang diatur oleh genotipe dan lingkungan serta interaksi keduanya.

Pengertian fenotipe mencakup berbagai tingkat dalam ekspresi gen dari suatu organisme. Pada tingkat organisme, fenotipe adalah sesuatu yang dapat dilihat/diamati/diukur, sesuatu sifat atau karakter.

Dalam tingkatan ini, contoh fenotipe misalnya warna mata, berat badan, atau ketahanan terhadap suatu penyakit tertentu. Pada tingkat biokimiawi, fenotipe dapat berupa kandungan substansi kimiawi tertentu di dalam tubuh. Fenotipe ditentukan sebagian oleh genotipe individu, sebagian oleh lingkungan tempat individu itu hidup, waktu, dan, pada sejumlah sifat, interaksi antara genotipe dan lingkungan. Waktu biasanya digolongkan sebagai aspek lingkungan (hidup) pula. Ide ini biasa ditulis sebagai rumusan

P = G + E + GE,

dengan P berarti fenotipe, G berarti genotipe, E berarti lingkungan, dan GE berarti interaksi antara genotipe dan lingkungan bersama-sama (yang berbeda dari pengaruh G dan E sendiri-sendiri”. [1]

Terjemahan sederhananya, bahwa “penampilan”, baik fisik maupun non fisik mahkluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) dipengaruhi oleh 2 faktor, genetik (G) dari si mahkluk tersebut dan aspek lingkungan (E) dan interaksinya.  Pengaruh lingkungan diyakini oleh ahli genetik paling memberi dampak besar pada performance mahkluk hidup, antara 70 % bahkan 80% dibandingkan genetis.

Artinya kalau sekarang lagi banyak penelitian menemukan faktor gen apa yang membuat seseorang menjadi LGBT (walau penelitian itu sangat bias), artinya gen tersebut tak menjadi utama utama (100%), seorang akan mengekspresikan dirinya sebagai LGBT, misalnya dalam bentuk aksi atau tindakan seksual.

Begitu juga sebaliknya, seseorang yang misalnya tidak memiliki gen LGBT tapi karena faktor lingkungan dapat mengekspresikan dirinya sebagai LGBT.  Sehingga, kalau sekarang mayoritas manusia secara ekspresi dan prilaku seksual menjadi heteroseksual dan gender binner (laki-laki dan perempuan), dapat dipastikan faktor utamanya bukan karena genetis semata, tapi salah satunya aspek lainnya karena fakto pendidikan/pengetahuan (lingkungan) atau interaksi keduanya sehingga seseorang memutuskan “menjadi” heteroseksual.

Dalam tulisan ini, faktor lingkungan yang penulis maksud dalam kajian genetis, sangat luas sekali. Meliputi; lingkungan sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, doktrin-doktrin agama, makanan bahkan faktor perubahan genetis akibat kimia dan sebagainya. Semua itu melingkupi faktor-faktor lingkungan yang sangat menentukan performance manusia.

Maka tidak heran, ada seseorang menjadi LGBT karena pilihan politisnya, mungkin saja secara genetis dirinya tidak mempunyai gen LGBT, tapi karena tumbuh dan besar dengan lingkungan terbuka, negara dan masyarakat plural dan demokrasi, sekaligus mendapatkan pendidikan seksualitas dan gender yang sangat baik. Maka si individu tersebut memutuskan secara sadar menjadi LGBT, aseksual atau tetap heteroseksual.

Atau mungkin juga sebaliknya, yang punya gen homoseksual menjadi heteroseksual karena faktor lingkungan yang sangat represif (kasus-kasus ini sudah selalu terjadi di masyarakat Indonesia, gay yang “terpaksa” menikah karena takut dosa atau takut dikucilkan oleh masyarakat).  Tetapi dalam keseharianya si LGBT tersebut dapat menjalankan rumah tangga layaknya pasangan heteroseksual lainnya.  Tanpa satu orangpun yang mengetahui identitas seksualnya sebenarnya.

Maka, kesimpulan penulis, mencari tahu soal gen LGBT bukan hal yang salah, apalagi jika untuk bahan kajian pengetahuan. Tapi percayalah bahwa ekspresi, prilaku atau putusan-putusan politik seksualitas manusia dipengaruhi oleh banyak faktor bukan hanya soal genetis tetapi ada juga faktor lingkungan yang menjadi peran utama.

Sehingga menurut pengamatan penulis tak cukup bahkan “tak ada gunanya” temuan-temuan genetis kalau hanya untuk menyimpulkan secara sederhana, bahwa gen lah yang membuat seseorang mengekspresikan “ke LGBT annya” sampai dewasa.  Menurut penulis, kesimpulan amburadul bahkan menyalahi teori genetika dasar, P = G + E.

Karena ekspresi seksualitas itu bagian dari putusan-putusan politis atau pengetahuan manusia, maka pengetahuan si individulah yang menurut penulis menjadi faktor utamanya. Itulah yang dinamakan aspek lingkungan dalam kajian genetis.

Tetapi hal yang paling mendasar, penghormatan hak asasi manusia sebenarnya bukan berdasarkan aspek-aspek genetis dan lingkungan. Maksudnya, seseorang dihargai dan mempunyai hak asasi manusia bukan karena rumusan-rumusan genetis dan lingkungan yang ada dalam kajian genetis.

Konsep HAM sendiri menurut deklarasi hak asasi manusia (UDHR) dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak ‑ hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia (Maurice Cranston, 1972 : 127).[2]

Hal senada juga ditegaskan oleh Dewi Nova, aktivis perempuan dalam komentar di facebook penulis, yang menyatakan bahwa Menurutku pertanyaan seperti itu perlu diselidiki justru, etika seperti apa yang mendorongnya? Karena argumen pengetahuan tidak cukup untuk membantu kita menjadi manusia dan mengerti/mengasihi sesama ciptaan. Agar kita tidak buang umur dalam lautan diskusi yang ternyata tidak berkontribusi pada kemanusiaan LGBT dan ragam selanjutnya manusia. [3]

Kedua argumentasi tersebut, membuat penulis menyakini bahwa perdebatan apakah LGBT itu genetis atau bukan, menjadi sangat tidak relevan ketika bicara soal hak esensial sebagai manusia. Apalagi kalau pencarian dan pertanyaan tentang LGBT banyak didasari atas kebencian, bukan untuk pemajuan nilai-nilai kemanusiaan.

Bukankah memperjuangkan hak atas agama dan berkeyakinan juga dasarnya bukan karena genetis atau lingkungan, karena kita tak pernah mempertanyakan itu. Tetapi mengapa ketika memperjuangan hak-hak LGBT, kita harus begitu repot mencari tahu apakah LGBT genetis atau lingkungan. Maka, itulah pentingnya bersikap adil sejak dalam pikiran!.

*Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Fenotipe

[2] http://desentralisasi-otonomi.blogspot.co.id/2012/04/konsep-dasar-hak-asasi-manusia.html

[3] https://web.facebook.com/hartoyo.medan