SuaraKita.org – Menulis tentang kehidupan seorang tokoh gay protagonis yang bernama Mohanaswamy, Vasudhendra, seorang penulis di India sangat sadar mengenai fakta bahwa dirinya sendiri masih belum berani untuk melela.
Selama empat tahun Vasudhendra menulis cerita – cerita yang terinspirasi dari kehidupannya, tentang pergumulannya untuk terbuka mengenai seksualitasnya, tentang keputusasaan dirinya yang hampir membuatnya bunuh diri – sebuah ruh yang ditiupkan kedalam tokoh Mohanaswamy dalam ceritanya.
Beberapa hari sebelum bukunya dipublikasikan pertama kali pada tahun 2013, dengan nama samaran dan ditulis dalam bahasa Kannada, bahasa umum dari Karnataka bagian selatan, ia memberanikan diri untuk mengatakan kepada saudara perempuannya bahwa dia gay.
“Dengan adanya aku dan Mohanaswamy, banyak pembaca yang telah dapat menerima diri mereka,” kata Vasudhendra yang juga telah menerima penghargaan sebagai penulis dengan menggunakan bahasa Kannada. Dia menambahkan bahwa pada saat dia akhirnya mengungkapkan jati dirinya, banyak lelaki gay dari Karnataka yang mulai mengenalnya, berbagi cerita dengannya, menangis, tertawa, dan berbincang-bincang dengannya.
“Kebanyakan pembaca tulisannya berasal dari desa-desa dan kota-kota kecil yang tidak dapat membaca tulisan berbahasa Inggris, dan bagi mereka serial Mohanaswamy telah menjadi jalan bagi mereka untuk menemukan kembali diri mereka dan menemukan kembali kebahagiaan mereka dalam sebuah kenyataan bahwa mereka tidak sendirian.” Katanya.
Cetakan terbaru, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, juga akan diterbitkan dalam bahasa India lainnya, termasuk bahasa Telugu dan Malayalam. Cetakan tersebut akan terbit dalam beberapa bulan mendatang.
“Lelaki gay tidak hanya hidup di kota besar. Banyak juga dari mereka yang hidup dan tumbuh di desa-desa dan kota-kota kecil, yang tidak memiki akses untuk menerima pengetahuan tentang seksualitas, yang kebanyakan hanya tersedia dalam bahasa Inggris.” kata Vasudhendra ketika diwawancarai oleh the Thompson Reuters Foundation.
“Lebih banyak yang harus ditulis dan harus dituliskan dalam bahasa yang banyak dimengerti oleh orang-orang”, ujarnya.
Sejak tulisan tersebut dipublikasikan, para lesbian pun mulai mendekati Vasudhendra agar dapat memperoleh tulisan tentang kisah hidup mereka, mereka kecewa karena tidak dapat menemukan bahan bacaan yang mencerminkan keadaan mereka.
“Bagi perempuan, hal itu jauh lebih sulit, karena dalam pernikahan mereka tidak dapat mengatakan “tidak”, itu bukanlah sebuah pilihan. Apa yang telah mereka lalui adalah sesuatu yang tidak dapat saya bayangkan, karena setidaknya saya telah melaluinya dengan tidak menikah.” Ujar Vasudhendra.
Belum ada data resmi mengenai populasi LGBT di India, tetapi pemerintahan pernah menyatakan kepada Mahkamah Agung bahwa setidaknya ada sekitar 2,5 juta individu LGBT di negara tersebut. Menurut para aktivis pembela hak LGBT, jumlah tersebut hanya mewakili setiap orang yang telah melela dan mendaftarkan diri mereka kepada Kementrian Kesehatan dan data tersebut akan terus meningkat karena masih banyak individu LGBT yang menutupi identitas mereka karena takut akan diskriminasi.
Dalam literatur Kannada, homoseksualitas adalah gambaran yang sangat negatif di dalam masyarakat, yang menjadikan LGBT sebagai kelompok yang dipinggirkan,” kata Vasudhendra yang melela di akhir usia 40-an.
“Butuh waktu yang lama untuk dapat melela, karena saya sendiri saat itu takut didiskriminasi dan memang tidak memiliki keberanian. Banyak juga yang menjalani hidup mereka dengan merahasiakan seksualitasnya.”
Vasudhendra, 48 tahun, yang dulunya berprofesi sebagai perancang perangkat lunak komputer dan kini beralih profesi sebagai penulis mengenang sebuah percakapan melalui telepon dengan seorang lelaki paruh baya tidak berapa lama setelah cerita Mohanaswamy dipublikasikan. Lelaki tersebut bercerita bahwa ia sangat menyesali pernikahannya setiap hari.
“Setiap dia membaca buku saya, membuatnya kembali mengingat pergumulannya dengan seksualitas yang dimilikinya dan setiap kebohongan yang telah ia perbuat. Setelah itu saya mendapati bahwa cerita yang saya buat beresonasi dengan orang lain yang hidup di desa-desa dan kota-kota kecil, tempat saya di lahirkan,” lanjut Vasudhendra.
“Banyak pembaca yang menelepon saya, dari desa-desa dan kota-kota kecil, mereka tidak dapat membaca buku berbahasa Inggris dan bagi mereka buku Mohanaswamy adalah cara untuk menemukan kembali diri mereka sendiri dan menyadarkan mereka bahwa mereka tidak sendiri.”
Buku Mohanaswamy berisi sebelas cerita tentang percintaan sesama jenis dan kehidupan individu gay dalam mengeksplorasi seksualitas. Buku ini juga bercerita tentang kepergian seorang kekasih untuk menikahi seorang perempuan, menceritakan seorang pacar perempuan imajiner kepada sesama penumpang pesawat sambil membayangkan seorang lelaki yang dia cintai, cerita tentang kehilangan teman-temannya, dan diajak untuk melihat sebuah apartmen oleh seorang agen properti yang berasumsi bahwa dia telah menikah dan memiliki anak.
Mohanaswamy memiliki impian untuk hidup sederhana, memiliki martabat yang memungkinkan dia untuk melupakan penghinaan serta ketakutan yang dia alami di masa remajanya, ingatan yang masih tergambar jelas, dan keputusasaan yang membuatnya berjuang untuk menyesuaikan diri, yang tergambar dalam bagian awal buku.
Mungkin pembaca yang berada di kota-kota besar mengatakan bahwa buku ini seperti cerita “once upon a time in India”, namun pembaca di tempat terpencil mengatakan bahwa buku tersebut berisi kisah yang sedang mereka alami.
“Menjadi seorang gay tidaklah mudah, apalagi dalam sebuah komunitas masyarakat yang kecil, dimana pembicaraan seperti itu masih dianggap tabu. Hal itu akan membuatmu susah tidur, banyak mendapatkan tekanan yang terus-menerus agar menikah, dan banyak menghancurkan hubungan pertemanan,” kata Vasudhendra.
“Menulis cerita dalam buku ini menjadi sebuah proses pemulihan untuk saya dan pembaca buku saya, buku ini adalah buku yang mengerti dan dapat dimengerti oleh mereka.” (J.C)
Sumber: