Search
Close this search box.

Front Pembela Islam FPI kembali bertingkah. Kali ini penulis asal Kanada, Irshad Manji yang dijadikan target penyerangan. Rangkaian kegiatan bedah buku teranyarnya berjudul “Allah, Liberty and Love” diserbu FPI dengan alasan penyebaran paham lesbian. Padahal, isi bukunya tak seperti itu.

Sekali lagi, negara, dalam hal ini polisi, justru menjadi bemper FPI. Sebelum penyerbuan di Teater Salihara akhir pekan lalu itu, pemerintah mengeluarkan aturan tentang ormas. Apakah aturan tersebut mampu menyentuh FPI atas berbagai tindakan intoleransi selama ini? Termasuk terhadap rangkaian diskusi buku Irshad Manji? Berikut laporan Reporter KBR68H Muhammad Irham yang mengikuti salah satu kegiatan bedah buku Irshad Manji.

Pukul 18:10 WIB, tepatnya di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Jakarta. Di sana digelar diskusi bedah buku Irshad Manji, penulis buku asal Kanada yang bukunya berjudul “Allah, Liberty and Love” Sejumlah personil Banser Nadhlatul Ulama, salah satu Ormas Islam sudah berjaga-jaga di sejumlah titik di kawasan ini, untuk mencegah aksi penyerbuan Ormas radikal FPI.

Karena pada malam sebelumnya, di Salihara, pada acara yang sama, acara tersebut dibubarkan paksa oleh Ormas FPI, karena buku ini dianggap bentuk legalisasi lesbian. Para peserta diskusi mulai berdatangan. Saat itu hujan. Di dalam sekretariat, Irshad Manji dikerubungi pekerja media yang hendak mencari informasi soal pembubaran diskusi bukunya di teater Salihara, Jakarta Selatan.

Santai
Pembubaran itu terjadi sehari sebelumnya. Irshad Manji tampak santai dengan kaos lengan panjang, rok mini, legging dan sepatu boot hitam. Perempuan berambut hitam pendek ini mengomentari aksi ormas intoleran yang menolak rangkaian acara bedah bukunya di Indonesia. Sejak di Solo, Jawa Tengah hingga di Teater Salihara, Jakarta Selatan.

“Saya tidak yakin. Apakah saya bisa mengatakan apakah ini benar atau tidak. Tentu saja saya tak akan menghakimi negara dengan mayoritas muslim. Salah satunya adalah apa yang terjadi malam tadi. Tentu saja tidak,” katanya.

“Tapi saya akan mengatakan pada Anda, “tambahnya,”ada seseorang dekat dengan saya, sebelum apa yang terjadi di Salihara, setelah pembatalan acara di Solo. Dia mengatakan, Irshad tolong jangan takut dengan Indonesia, Solo itu unik. Kita tak akan menemukan kota seperti ini di negara lain. Dan saya katakan, baiklah. Tak masalah. Saya ke Indonesia karena saya meyakini orang-orang Indonesia tertarik, dan ingin tahu tentang sudut pandang yang berbeda tentang agama,” kata Irshad.

Banser NU
Massa FPI berhasil ditahan pasukan Banser NU sekitar 300 meter dari sekretariat AJI Jakarta. Banser NU inilah yang kerap pasang badan menahan aksi ormas radikal terhadap keberagaman agama. Meski ratusan massa FPI telah bubar, sekretaris DPD FPI Jakarta, Novel, mendekati sekretariat AJI Jakarta, menyampaikan sikap kepada media.

“Tuntutannya, kami mau yang namanya Irshad Manji angkat kaki dari sini, dari Indonesia, atau berhenti untuk menyebarkan paham sesatnya. Berhenti untuk menyebarkan paham-paham lewat bukunya,” katanya. “Secara garis besar buku itu penyimpangan. Karena buku yang berjudul “Allah, Liberty and Love”” itu adalah mencintai kebebasan sesama jenis. Ini sangat bertentangan. Membawa nama-nama Allah, ini yang kita keberatan,” katanya.

Kebebasan umat Islam
Buku teranyar Irshad Manji sebenarnya tak berisi tentang paham gay atau lesbian. Buku “Allah, Liberty and Love”” berisi tentang kebebasan umat Muslim untuk mempelajari makna dalam Al Quran. Menjawab keresahan umat Muslim dunia, termasuk muslim perempuan.

“Mereka kelompok dengan pandangan fundamental, mereka yang ekstermis, apa pun sebutannya, dan mereka bisa saja mengatakan, ketika perempuan berada di jalanan. Perempuan berada di ruang publik, maka mereka bilang perempuan seperti itu adalah seorang kriminal,” tandas Irshad Manji.

Begitu pun di Teater Salihara, Jakarta Selatan, awal bulan ini. Puluhan massa FPI merangsek masuk ke dalam teater, dan membubarkan diskusi. “Kalau 20 menit nggak keluar. Kami tetap di sini,” tegas seorang anggota FPI.

Atas tekanan itu, diskusi dan peluncuran buku Allah, Liberty and Love di Teater Salihara dibubarkan paksa Kepala Polsek Pasar Minggu, Adri Desas Puryanto. Alasannya, diskusi ini tak punya ijin dari polisi.

“Selain warga setempat di sini, ormas-ormas pun demikian. Apakah saya tak boleh menyampaikan himbauan ini? Kedua, ormas di sini, ada FBR, Forkabi, ada FPI. Ini keberatan juga,” kata Adri. Seorang anggota FPI lain mengatakan, kalau polisi tak mau membubarkan, berarti polisi menghendaki kerusuhan.

Daftar intoleransi FPI
Aksi penyerangan FPI terhadap diskusi buku Irshad Manji terus menambah panjang daftar intoleransi ormas itu. Sepanjang dua bulan terakhir, KBR68H mencatat, sedikitnya 4 aksi radikal FPI lainnya terindikasi pidana. Di antaranya, pengrusakan Masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat dan Batam, Kepulauan Riau.

Persoalannya, bukan hanya pada tindakan intimidatif FPI, melainkan polisi yang berpihak pada pelaku intoleransi. Juru bicara komunitas Salihara, Sitok Srengenge menghimbau Kepolisian dalam hal ini Kapolri untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kepemimpinan dan cara kerja Kepolsiian, sehingga fungsi Kepolisian untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat terjadi.

Bukan hanya kapolsek Pasar Minggu, bulan ini, kepolisian juga membiarkan Ormas radikal MMI menyerang diskusi buku Israd Manji di sekretariat Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Korban berjatuhan. Direktur LkiS Farid Wajdi mengatakan, ada beberapa orang terluka. “Mungkin ada 6 yang sekarang kita sudah hitung,” tambahnya.

Beberapa hari sebelum peristiwa Salihara, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan peraturan tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan. Akan tetapi, aturan ini belum bisa membekukan ormas radikal semacam FPI, jelas Pejabat Kemendagri Bahtiar.

Ruang publik
“SKT ini tak berfungsi sebagai izin operasional bagi ormas untuk melakukan tindakan apa saja di ruang publik. Tindakan ormas di ruang publik tetap sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku,” katanya. Menurut Bahtiar, untuk mengatur tindakan ormas di ruang publik perlu aturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Sejak 2000, RUU ini masih digodok di DPR, belum disahkan sampai sekarang karena mendapat pertentangan dari masyarakat.

RUU Ormas bisa menjadi bola liar pemberangus ormas atau lembaga swadaya masyarakat yang tak disukai pemerintah. Peneliti LSM Setara Ismail Hasani menambahkan, yang juga dipastikan, bahwa pengaturan ini tidak kemudian menjadi alat represi baru terhadap organisasi-organisasi yang tumbuh pasca reformasi.

“Karena prinsip dalam hak asasi manusia, bahwa kebebasan berserikat sebagai hak sipil adalah hak negative. Semakin menjauh negara dari hak-hak ini, semakin baik ia dalam memenuhi hak asasi manusia,” katanya. Ismail Hasani menambahkan, untuk mencegah aksi kekerasan ormas radikal terus berulang, adalah dengan efek jera. Dan itu lewat hukuman berat.

Lady Gaga
Tapi bagaimana bisa menghukum mereka, memberi efek jera mereka, jika aparat hukumnya malah tunduk pada kemauan ormas yang suka memaksakan kehendak macam FPI? Bagaimana FPI tidak terus merajalela jika negara membiarkan segala ulahnya, termasuk saat ormas radikal itu menolak rencana kehadiran penyanyi kondang asal Amerika Serikat, Lady Gaga awal Juni mendatang.

Menteri dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, pemerintah perlu melindungi segenap bangsa Indonesia. “Untuk mencegah itu kemungkinan Kepolisian mengambil tindakan daripada banyak mudharatnya dari manfaatnya, maka saya hormati saya kira langkah yang baik.”

Peran media
Dalam diskusi di AJI Jakarta, Dosen Universitas Paramadina, Novrianto Kahar bersama Irhad Manji sepakat, pekerja media punya peran penting dalam mengangkat isu agama. Menurut Novrianto, pemihakan jurnalis adalah pemihakan nilai-nilai kemanusiaan.

“Mau agamanya apa saja,” tambahnya,” kalau dia menghancurkan rumah orang, menghancurkan menghancurkan masjid orang. Yang dibangun dengan susah payah dengan keringat dan air mata, kemudian dihancurkan begitu saja, tak ada pembelaan dari negara, jurnalis harus membela.” Novrianto meyakini, mereka yang sadar akan anugerah keberagaman akan tetap bertahan dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebuah nyanyian dikumandangkan peserta diskusi buku Irshad Manji di Salihara. Nyanyian pantang menyerah memperjuangkan toleransi di negeri ini.

sumber : http://www.rnw.nl