Pengenalan RIZNA MEGARSARI dengan seorang waria berinisial MA berawal dari kawan sang ibu. RIZNA mahasiswi Universitas Surabaya (Ubaya) jurusan psikologi itu pun menjadikan MA sebagai subyek untuk skripsinya. Mengusung judul “Ketika Waria Bertasbih: Sebuah Studi Kasus Tentang Waria dan Religiusitas”, RIZNA pun berhasil meraih nilai sangat memuaskan.
Ide untuk mengangkat waria dan religuisitas dalam skripsinya dimulai dengan rasa penasarannya terhadap keagamaan waria. “Kalau melihat waria, biasanya identik dengan hidup glamour. Saya jadi ingin tahu bagiamana waria beribadah, bagaimana mereka menjalankan agama mereka,” tutur RIZNA pada suarasurabaya.net, Kamis (31/03).
Hingga akhirnya dia dipertemukan dengan MA waria asal Pasuruan yang kini tinggal di Surabaya. Sejak kecil, MA dekat dengan dunia waria. Maklum, ayahnya seorang manager ludruk. Seperti diketahui, ludruk memang seringkali menampilkan pria yang memainkan peran wanita. Tidak jarang pula perilaku waria terbawa dalam keseharian mereka.
Meski sudah memutuskan menjadi seorang waria, bahkan sempat mengadu nasib di Jakarta, Malaysia dan Singapura, MA ternyata tetap memegang teguh agama yang pernah diajarkan sang ayah. Ibadah ritual nyaris tak pernah ia tinggalkan. Bahkan, MA-lah yang memelopori pengajian waria di Surabaya dan Jawa Timur.
Menariknya, meski disebut pengajian waria, tapi MA dan anggota pengajian yang berjumlah sekitar 80 orang tetap tampil sebagai pria. “Meski waria, tapi ketika di pengajian mereka tetap pakai baju koko dan pakai peci. Mereka tetap tampil sebagai pria, bukan seperti perempuan,” kata RIZNA yang membutuhkan waktu sekitar setahun untuk melakukan observasi.
Demikian pula saat mereka melaksanakan sholat. Penampilannya pun layaknya pria dan berada di shaf pria. Menurut RIZNA, MA ingin mengubah persepsi masyarakat pada umumnya tentang waria. Bagaimanapun, secara fisik waria tetaplah seorang pria.
Diceritakan RIZNA, keinginan MA mengadakan pengajian karena kekecewaannya terhadap kawan warianya yang meninggal tanpa ada yang peduli. Bahkan, dimakamkan secara tidak layak. Lewat pengajian, MA ingin merangkul para waria lainnya untuk kembali ingat Allah. Sekaligus menunjukkan kepada masyarakat, bahwa mereka pun bisa menggelar kegiatan positif. “Kalau kata MA, tiap manusia itu sama di mata Allah, yang membedakan adalah kadar keimanannya. Karena itu, MA mengajak waria lain untuk mengingat Allah,” kata perempuan kelahiran 7 Desember 1987 itu.
Selama mengerjakan proses skripsi, RIZNA pun tidak mengalami kendala. RIZNA merasa berterimakasih dengan penerimaan MA yang begitu terbuka. Ia juga diajak untuk mengikuti pengajian waria yang digelar setiap malam Jumat legi.
Melalui skripsi ini, RIZNA ingin mengangkat sisi lain dari waria yang sering disebut sebagai gender ketiga. Aktifitas atau penampilan waria yang sering dianggap bertentangan dengan agama, ternyata tidak mempengaruhi tingkat religiusitas mereka.(git)
sumber : http://kelanakota.suarasurabaya.net/