Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Pemerintah Indonesia harus segera dan tanpa syarat membebaskan dua orang yang ditahan di provinsi Aceh di bawah peraturan lokal yang mengkriminalkan homoseksualitas, demikian pernyataan Human Rights Watch (HRW)  di New York waktu setempat.

Pada malam 28 Maret 2017, sekelompok orang tak dikenal secara paksa memasuki sebuah rumah dan membawa dua orang lelaki penghuni rumah tersebut kepada polisi karena mereka berdua diduga melakukan hubungan sesama jenis. Kedua lelaki usia dua puluhan tersebut  telah ditahan di tahanan Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) di Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh. Inspektur kepala mengindikasikan bahwa kedua lelaki tersebut mengaku sebagai gay dan akan ditahan  untuk diberi hukuman. Di bawah KUHP Islam Aceh (Qanun Jinayah), mereka menghadapi hukuman hingga 100 cambukan di depan umum, hukuman tersebut  merupakan penyiksaan menurut hukum internasional.

“Penangkapan dan penahanan kedua orang ini menunjukkan penyiksaan berdasdarkan hukum diskriminatif anti-LGBT di Aceh,” kata Phelim Kine, Wakil Direktur Divisi Asia di Human Rights Watch. “Orang-orang ini memiliki privasi, mereka menyerbu dengan cara yang menakutkan dan memalukan, sekarang mereka menghadapi penyiksaan dihadapan publik untuk dugaan ‘kejahatan’orientasi seksual mereka.”

Rekaman video amatir yang direkam oleh salah seorang dari kelompok tidak dikenal tersebut beredar di dunia maya, dimana dalam rekaman video tersebut salah seorang lelaki yang ditangkap menunjukkan ketakutan sambil memohon agar mereka menghentikan aksinya. Hukum Syariah Aceh memberdayakan anggota masyarakat serta polisi Syariah khusus untuk mengidentifikasi dan menahan siapapun yang dicurigai melanggar aturan.

Polisi Syariah Aceh sebelumnya juga pernah menahanLGBT. Pada bulan Oktober 2015, polisi Syariah menangkap dua orang perempuanberusia 18 dan 19 tahun, mereka berdua dicurigai sebagai lesbian karena berpelukan di depan umum dan menahan mereka selama tiga malam di tahanan polisi Syariah di Banda Aceh. Polisi Syariah berulang kali berusaha untuk memaksa kedua orang perempuan tersebut untuk mengidentifikasi  LGBT lain yang mereka duga tinggal di Aceh dengan menunjukkan mereka foto-foto individu yang diambil dari akun media sosial.

Selama 1 dekade terakhir, parlemen Aceh telah secara bertahap mengadopsi peraturan Syariah yang mengkriminalkan perempuan yang tidak mengenakan jilbab, minum alkohol, judi, dan hubungan seksual di luar nikah, yang semuanya dapat ditegakkan terhadap warga non-Muslim. populasi LGBT Aceh juga rentan terhadap 2014 KUHP Aceh yang melarang liwath (sodomi) dan musahabah (tindakan seksual lesbian). Provinsi Aceh telah melakukan hukuman dalam bentuk cambuk terhadap 339 orang pada tahun 2016.

Berdasarkan undang-undang nasional yang berasal dari perjanjian “Status khusus” tahun 2001, Aceh adalah satu-satunya  provinsi dari 34 provinsi di Indonesia yang secara hukum dapat mengadopsi peraturan Syariah. Human Rights Watch menentang semua hukum atau kebijakan pemerintah yang diskriminatif atau melanggar hak-hak dasar. Menurut hukum Indonesia, Menteri Dalam Negeri dapat meninjau dan mencabut peraturan daerah, termasuk yang diadopsi di Aceh. Pada bulan Juni, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mundur setelah mengumumkan untuk  menghapuskan peraturan Syariah yang kasar di negeri ini.

Pejabat pemerintah daerah di Aceh telah secara aktif memicu homofobia, kata Human Rights Watch. Pada tahun 2012 lalu PLT Walikota Banda Aceh Wakil lliza Sa’aduddin menganjurkan hukuman keras untuk homoseksualitas, dia mengatakan kepada media: “Jika kita mengabaikannya, itu akan menjadi seperti gunung es … Bahkan jika satu kasus homoseksualitasditemukan, itu sudah masalah … Kami benar-benar khawatir tentang perilaku dan kegiatan komunitas gay, karena perilaku mereka yang menyimpang dari syariat Islam.” Tahun 2013, setelah Illiza terpilih menjasi walikota Banda Aceh, dia mengatakan kepada wartawan bahwa“homoseksual adalah sebuah tindakan yang kelewat batas di kota kami.”pada bulan Februari 2016, diia mengumumkan bahwa akan membentuk sebuah‘tim khusus’untuk membuat masyarakat lebih sadar akan‘ancaman LGBT’dan untuk‘melatih’LGBT  untuk‘kembali ke kehidupan normal.’

Pada bulan April 2016, empat orang pelapor khusus PBB menulis surat kepada pemerintah Indonesia mengungkapkan kekhawatiran tentang penegakan Syariah secara kasar terhadap LGBT, dan menunggu respon pemerintah. Akan tetapi pemerintah masih belum menanggapi.

Hukum  Syariah diskriminatifdi  Aceh melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh perjanjian Hak Asasi Manusia Internasional dimana Indonesia ikut ambil bagian dalam perjanjian tersebut. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2005, melindungi hak-hak privasi dan keluarga (pasal 17), dan kebebasan beragama (pasal 18) dan ekspresi (pasal 19). Perjanjian tersebut melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin, agama, dan status lain seperti orientasi seksual (pasal 2). Hal ini juga melarang hukuman seperti mencambuk adalah penyiksaan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi (pasal 7).

Insiden anti-LGBT di seluruh Indonesia telah meningkat secara signifikan sejak Januari 2016 termasuk penggerebekan polisi terhadap sekelompok gay yang sedang berkumpul, serangan terhadap aktivis LGBT, dan ucapan anti-LGBT dari pejabat dan politisi. Pada bulan Oktober, Presiden Joko Widodo memecah keheningan panjang dalam meningkatnya retorika anti-LGBT dengan membela hak-hak komunitas LGBT di negara Indonesia. Dia menyatakan bahwa polisi harus bertindak tegas terhadap tindakan yang dilakukan oleh kelompok fanatik atau individu untuk menyakiti LGBT atau menolak hak-hak mereka, dan menyatakan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapa pun. Namun, sampai sekarang Presiden Joko widodo melum mendukung  pernyataannya dengan tindakan.

“Presiden Jokowi harus segera turun tangan dalam hal ini untuk menunjukkan komitmennya untuk mengakhiri diskriminasi terhadap kaum LGBT,” kata Phelim Kine. “Jokowi juga perlu bertindak untuk menghapus peraturan diskriminatif Aceh agar penangkapan secaman ini tidak terjadi lagi.” (R.A.W)

Sumber:

Human Rights Watch