Search
Close this search box.

[Press Release] Memahami Rape Culture dan Women’s Consent Issue Sebagai Upaya Menghapus Kekerasan Seksual

15289230_10209915082368960_6079279675296617022_o

Depok, Senin 5 Desember – Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Perempuan Berbagi dan Program Studi Kajian Gender – SKSG UI menyelenggarakan acara Nonton Bareng (Nobar) Film PINK dan Diskusi Rape Culture dan Women’s Consent Issue dalam KekerasanSeksual terhadap Perempuan di Auditorium Gedung Komunikasi, Kampus FISIP UI Depok, Senin (5/12).

Kegiatan Nobar Film PINK dan Diskusi Rape Culture dan Women’s Consent Issue ini dilakukan sebagai Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) untuk membangun empati terhadap korban kekerasan dan mendukung segala upaya penghapusan berbagai bentuk kekerasan berbasis gender. Kegiatan ini juga merupakan upaya masyarakat sipil dan akademisi mendorong DPR untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin memaparkan bahwa berdasarkan hasil rapat antara DPR RI, DPD RI, dan Pemerintah pada 20 Januari 2016, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tercatat dalam Penambahan Prolegnas 2015-2019 dan RUU Usulan Perubahan Prolegnas Prioritas 2016. Sayangnya, hingga hari ini DPR belum juga memulai pembahasan RUU yang sangat mendesak sebagai reaksi sosial formal melindungi dan mencegah korban sekaligus upaya menghentikan kekerasan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak sekedar mengatur sanksi dan hukuman pidana kepada pelaku, namun sangat memperhatikan kepentingan korban. Sebab RUU ini memberikan jaminan hak perlindungan dan pemulihan kepada semua korban kekerasan seksual secara lebih memadai. Sekaligus memuat aturan tentang pencegahan kejahatan kekerasan seksual secara komprehensif.

“Ketentuan tentang pencegahan kekerasan seksual telah diatur sangat rinci dengan melibatkan tanggung jawab masyarakat dan kewajiban pada negara. DPR harus diingatkan kembali, di desak untuk segera melakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang merepresentasikan perspektif perlindungan korban, dan pencegahan kejahatan,” tutur Mariana.

Sementara itu, menurut penulis dan pendiri organisasi relawan PerempuanBerbagi Dewi Nova, diskursus mengenai penghormatan pada consent seksual (mendapatkan persetujuan dan berkeinginan) dari perempuan urgen dimengerti oleh Negara dan publik, untuk menghindarkan cara berpikir dan bertindak yang menganggap perempuan ‘bersedia’ diobjekan dan diperkosa. Dan sudah saatnya Negara dan masyarakat memperubah cara berpikir dan bertindak yang melanggengkan rape culture (budaya perkosaan).  Suatu cara bernegara dan bermasyarakat  yang menyalahkan korban kekerasan seksual, menormalisasi kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki (normalized masculinity) dan membenarkan norma, undang-undang dan perda yang  membatasi ruang gerak dan ekpresi perempuan atas argumen agar tidak menggoda atau mengundang perkosaan.

“Kenyataannya, normalized masculinity telah mengakibatkan perempuan kehilangan haknya untuk melakukan persetujuan secara sadar atas tubuh mereka sendiri,” kata Dewi Nova.

Melanggengkan rape culture berarti membiarkan korban kekerasan terus berjatuhan dan semakin menutup pintu bagi korban kekerasan seksual untuk melaporkan kasus kekerasan. Dosen Kriminologi FISIP UI Mamik Sri Supatmi mengatakan saat ini masih sangat banyak perempuan korban tidak berani menceritakan pengalaman kekerasan yang dialaminya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan. Selain karena ketiadaan lembaga layanan di lokasi korban, permasalahan stigma yang berkembang di masyarakat sangat menghambat korban untuk bersuara, apalagi melapor kepada polisi. Perempuan korban kekerasan seksual justru dianggap sebagai pihak yang bersalah, dianggap sebagai “perempuan penggoda” atau tidak mempunyai akhlak yang baik, sehingga wajar, pantas, dilecehkan secara seksual atau diperkosa.

Stigma tentang perempuan korban kekerasan seksual yang dikonstruksi secara social menyebabkan terjadinya victims blaming (menyalahkan korban). Hal ini semakin menyudutkan korban kekerasan sekaligus membungkamnya. Maka jangan heran angka kekerasan seksual rendah dalam catatan statistic kepolisian. Kekerasan seksual memiliki angka gelap (dark numbers) yang tinggi. Data yang terungkap digambarkan sebagai fenomena gunung es. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang tersembunyi.

Victims blaming telah menempatkan perempuan korban kekerasan seksual mengalami viktimisasi ganda (double victimization) yaitu sebagaikorbankekerasandaripelaku (yang sebagian besar adalah laki-laki) dan juga sebagai pihak yang dipersalahkan karena “mengundang” orang untuk melakukan tindak kekerasan terhadapnya. Oleh karena itu stigma dan victims blaming terhadap korban kekerasan seksual harus dihentikan. Sebab, stigma dan victims blaming adalah kejahatan, karena menambah penderitaan korban,” tutur Mamik.

Sementara itu, Pelaksana Advokasi dan Komunikasi PKBI Ryan A. Syakur mengatakan, melalui Nobar Film Pink dan Diskusi ini, kami juga ingin mengenalkan kembali pentingnya women’s sexual consent (persetujuan seksual perempuan) yang sering kali dilupakan, apalagi dalam hegemoni patriarki. Kami percaya bahwa setiap hubungan seksual harus dilakukan dengan setara, bermartabat danberadab. Artinya, hal ini hanya boleh dilakukan jika pasangan kita menyetujuinya atau disepakati oleh kedua belah pihak. Menanyakan persetujuan pasangan tentang keinginan atau antuasiasme sebuah hubungan seksual yang akan dilakukan adalah sebuah keharusan. Jawaban dari pasangan akan menjadi pertimbangannya.

“Laki-laki harus terlibat aktif dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan, terutama dimulai dari dirinya sendiri, salah satunya memahami sexual consent secara komprehensif. Ini merupakan bagian dari upaya kita menghormati dan menghargai hak seksualitas perempuan sebagai sesame manusia. Melanggar sexual consent berarti pemerkosaan, dan jelas bias dikatakan sebagai tindakan criminal dan kejahatan kemanusiaan,” tutur Ryan.

Kegiatan ini didahului dengan pemutaran Film PINK, film yang menceritakan tentang perjuangan melawan kriminalisasi korban kekerasans eksual di India. Setelah itu dilanjutkan diskusi dengan nara sumber Mariana Amiruddin (Komisioner Komna sPerempuan), Dewi Nova (Penulis dan pendiri organisasi relawan Perempuan Berbagi), Merlyn Sopjan (PKBI-Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), Nur Iman Subono (Dosen FISIP UI dan Program Studi Kajian Gender – SKSG UI, serta Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) dan Mamik Sri Supatmi (Dosen Kriminlogi FISIP UI).

Contact Person

Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan) : 0818889257

Dewi Nova (Perempuan Berbagi) : 081296053729

Ryan A. Syakur (PKBI) : 081282292904

Mamik Sri Supatmi (Kriminologi UI) : 0818889257