SuaraKita.org – Sabtu, 3 Desember 2016, Suara Kita kedatangan Novia Herlina dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Hari HIV-AIDS tanggal 1 Desember kemarin, dan hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 mendatang.
“Saya gabung di IPPI baru di tahun 2014. Setelah dua bulan bergabung, teman-teman saya mempercayakan saya menjadi Koordinator. IPPI sendiri 99% adalah perempuan yang hidup dengan HIV positif dan sisanya dari itu adalah perempuan yang terdampak. Beberapa tahun yang lalu, perempuan yang positif itu ditekankan untuk tidak memiliki anak. Dianggap percuma saja mempunyai anak jika positif HIV. Itulah kenapa IPPI didirikan.” Tutur Novia sebagai pembukaan.
“IPPI sendiri melakukan advokasi kasus sterilisasi paksa. Kemarin sempat terjadi, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang kita sedang mengerjakan yaitu terkait integrasi layanan kekerasan pada perempuan dengan HIV. Perempuan yang HIV positif itu biasanya pelaku kekerasannya adalah suaminya, suaminya seorang pecandu narkoba, dan yang ditangani itu bukan kasus kekerasannya melainkan kasus narkoba yang dilakukan si suami. Kebanyakannya justru perempuan yang disalahkan.”
“Pengalaman saya, saya tahu kalau suami saya pengguna narkoba suntik, namun ketika saya tanya dia postif HVI atau tidak, ia selalu menjawab tidak. Sampai akhirnya anak saya mulai sakit-sakitan di umurnya yang masih satu tahunan. Saya tanya ke dokter anak saya waktu itu, ‘Mungkin tidak ya anak saya HIV positif? Soalnya suami saya pengguna narkoba suntik’. Dokter saya bilang, ‘gak mungkin soalnya mba Novi sehat, gemuk’. Saya tanya lagi ke suami saya, apakah dia sudah tes HIV atau belum, ia jawab sudah dan hasilnya negatif. Saya sempat bilang ingin tes juga namun dilarang oleh suami. Pada akhirnya saya sembunyi-sembunyi melakukan tes HIV. Dan ternyata saya positif. Setelah itu barulah suami saya mengaku bahwa ia juga positif sejak tahun 2004.”
Belum lama setelah Novia mengetahui statusnya itu, anaknya yang sedang sakit-sakitan akhirnya meninggal dunia. Di saat yang sama Novia juga ternyata sedang mengandung anaknya yang kedua. Kandungannya saat itu sudah lima bulan. “Proses melahirkan, obat ARV, semuanya sendiri karena belum kenal teman-teman pendamping. Biaya yang besar pun tak menjadi masalah karena ini demi anak saya. Ada juga kejadian pelayan rumah sakit menanyakan status HIV saya, saya katakan iya, dan setelah itu orang-orang sekitar saya di rumah sakit bergerak mundur menjauhi saya. Saya Cuma bisa menangis karena tidak tahu lagi harus menjawab apa.”
Proses melahirkan yang panjang pun Novia tempuh demi kesehatan anaknya, ditambah lagi setelah dokter mengatakan bahwa anaknya bisa diselamatkan. “Alhamdulillah, anak saya sekarang sudah lima tahun, dan dia negatif.” Tuturnya menutup kisah hidupnya.
Pertanyaan mulai muncul dari peserta diskusi kali ini. Yang pertama datang dari Ade, “Saya juga masih belum terlalu mengerti tentang HIV, namun saya sempat debat dengan teman saya tentang teman saya yang lain yang dicurigai positif HIV dan dia sedang hamil. Saya bilang bahwa anaknya kemungkinan bisa negatif. Nah, kebetulan mba Novia punya anak yang HIV negatif, apakah ada terapi-terapi atau obat khusus dari mulai hamil sampai melahirkan itu?”
“Sekarang itu sudah ada PPIA atau Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak, jadi katakanlah saya positif HIV dan hamil sudah enam bulan, maka di saat itu juga saya akan langsung diberi ARV tanpa melihat CD4. Setelah dua minggu ARV, akan dilihat apakah ada efek samping atau tidak. Ketika anaknya lahir, nanti ia akan diberi Prophylaxis. Kalau anaknya HIV positif, katakanlan CD4-nya di atas 500 atau 600 dan VR-nya tidak terdeteksi maka bisa melahirkan secara normal namun dengan syarat tidak digunting. Benar-benar harus secara spontan. Karena jika digunting kemungkinan tertular HIV akan semakin besar. Jika tidak mau ambil resiko tertular, ya operasi.” Jelas Novia.
Pertanyaan berikutnya datang dari Iman, “Ada tidak sih komunitas Lesbian yang HIV positif yang menjadi anggota IPPI?”
“Ada. IPPI itu organisasi perempuan dengan HIV positif dan kami tidak memandang latar belakang sosial mereka atau orientasi seksualnya. Namun untuk perempuan sosial masih belum, karena nantinya kita masih harus mengubah AD-ART-nya dulu.” Tutur Kirani (bukan nama sebenernya), kawan dari Novia sekaligus asisten, yang juga dari IPPI.
“Yang menarik, ketika kita sedang berkumpul, membahas masalah yang sama, dan dengan virus yang sama yang ada di dalam tubuh kita, tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi diskriminasi di dalam kelompok. Contohnya perempuan ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya seolah memiliki status ‘perempuan baik-baik’ ketimbang perempuan yang tertular karena pekerjaannya sebagai pekerja seks komersial atau pecandu narkoba. Maka dari itu IPPI coba untuk membongkar itu, karena pada dasarnya kita ini semuanya perempuan yang mempunyai masalah yang sama, yaitu virus HIV yang ada di dalam tubuh kita ini.” Tambahnya.
Di Indonesia, Ibu rumah tangga menjadi kelompok dengan angka yang paling tinggi sebagai ODHA. Namun ada penjelasan mengenai hal tersebut. Kirani mengatakan, “Kami sebagai orang lapangan, ketika ada yang melakukan tes HIV, kami memberikan formulir. Di kolom pekerjaan itu biasanya mereka isi Ibu Rumah Tangga, karena mereka enggan menyebutkan diri mereka sebagai pekerja seks. Mengapa bisa begitu? Karena HIV itu selalu dikait-kaitkan dengan moral, padahal ini adalah murni masalah kesehatan. Ada juga ibu rumah tangga yang melacurkan diri untuk mencari tambahan uang karena suaminya tidak bekerja, jadi sifatnya sementara.”
Tidak berhenti di situ saja, masalah HIV pada perempuan pun terjadi karena adanya relasi kuasa dan kesenjangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. “Kondom untuk perempuan sendiri itu sudah tidak diproduksi. Jadi kendali ada pada laki-laki. Pekerja seks tidak memiliki kuasa untuk menyuruh si laki-lakinya menggunakan kondom. Yang diajarkan menggunakan kondom laki-laki itu si perempuannya, menggunakan mulut dan lain-lain. Jadi ini menarik, yang selalu diingatkan memakai kondom itu teman-teman perempuan pekerja seks, namun ternyata yang memagang kuasa adalah pelanggannya. Kita berbicara tentang SOP kondom untuk mencegah kehamilan, HIV dan lain-lain, itu benar. Namun kita luput, alasan mengapa orang ini tidak mau menggunakan kondom. Apalagi jika ia seorang ibu dengan anak yang banyak, ia mau tidak mau harus menuruti kemauan pelanggannya karena takut esok hari ia dan anak-anaknya tidak makan.” Tutup perempuan berkacamata ini.