Search
Close this search box.

internationaldaydisabilities_456pxOleh: Dipo Djungdjungan Suma

SuaraKita.org – Pada bulan November para kepala negara Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) akan berkumpul di Phnom Penh untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-21. Di sana para pemimpin negara tersebut akan mengesahkan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia ASEAN (AHRD), suatu tonggak penting perjuangan akan ha-hak asasi manusia di wilayah ini, termasuk hak-hak asasi penyandang disabilitas. Sejak proses menyusunan naskah, organisasi-organisasi penyandang disabilitas telah terlibat dalam proses konsultasi dengan tim peyusun deklarasi, Komite Hak Asasi Antar-pemerintah ASEAN (AICHR).Organisasi-organisasi ini melakukan lobby, membahasdan memberi masukan dan saran kepada komite tentang bagaimana hak-hak penyandang disabilitas dapat dimasukkan ke dalam deklarasi tersebut. Deklarasi tersebut diharapkan akan mencantumkan aturan-aturan mengenai penyandang disabilitas.

Dalam rangka menyambut deklarasi tersebut, penting bagi kita semua untuk memahami bagaimana deklarasi hak asasi lain di tingkat regional (serta deklarasi yang lebih tua) mengakui hak-hak penyandang disabilitas. Pemahaman semacam ini memungkinkan kita untuk mengukur di mana posisi kita saat ini dalam hal melindungi hak-hak penyandang disabilitas.

Deklarasi hak asasi regional tertua adalan Deklarasi Hak-hak dan Kewajiban Manusia dari Organization of American States (OAS) yang disahkan lebih dulu dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (UDHR). Deklarasi OAS dikeluarkan pada April 1948 di Bogota, Colombia, sementara UDHR disahkan pada Sidang Umum PBB pada bulan Desember 1948 di Paris.

Menariknya, baik UDHR dan Deklarasi OAS memiliki redaksi yang hampir sama persis mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Ayat 25 (1) UDHR menyatakan:

    “Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan standard hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraannya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan layanan kesehatan serta layanan sosial yang dibutuhkan lainnya, serta hak untuk mendapat jaminan dalam keadaan mereka tidak bekerja, sakit, menjanda, tua, atau kekurangan penghidupan lainnya yang disebabkan keadaan yang tak dapat ia kendalikan.”

Sementara ayat XVI Deklarasi OAS:

    “Setiap orang memiliki hak untuk mendapat pengamanan sosial yang akan melindunginya dari konsekuensi pengangguran, usia lanjut, dan disabilitas lainnya yang timbul karena berbagai sebab di luar kendali yang mengakibatkan orang tersebut secara fisik dan mental tidak mampu mencari nafkah.”

Hal ini tampaknya mencerminkan pandangan masa itu di mana hak-hak penyandang disabilitas bukan merupakan isu utama dalam pemahaman kontemporer tentang hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini hanya menyebutkan disabilitas dalam kaitannya dengan hak mendapatkan perlindungan dan layanan sosial. Konvensi Hak Asasi Eropa (EHCR) yang ditandatangani tahun 1950 (dan diberlakukan tahun 1953) sama sekali tidak menyebutkan disabilitas.

Perjanjian Hak-hak Manusia dan Masyarakat Afrika lebih progresif dalam hal hak-hak penyandang disabilitas dibandingkan dua mekanisme hak asasi regional pendahulunya. Ayat 18 (4) perjanjian tersebut menyatakan:

    “Orang tua dan penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk mendapat perlindungan khusus sesuai kebutuhan fisik dan moralnya.”

Saat perjanjian ini disahkan oleh Uni Afrika pada 1981, ayat ini dianggap sangat progresif. Ada beberapa alasan untuk dimasukkannya pengakuan atas hak penyandang disabilitas. Tahun 1981, ketika perjanjian tersebut disahkan, dicanangkan Sidang Umum PBB sebagai Tahun Penyandang Disabilitas Internasional. increased global recognition of the rights of persons with disabilities. Berbagai perkembangan di benua Afrika seperti munculnya berbagai konflik yang menyebabkan sejumlah besar populasi Afrika jadi penyandang disabilitas boleh jadi memaksa penyusun deklarasi tersebut untuk mencantumkan aturan khusus mengenai penyandang disabilitas. Meski demikian perjanjian tersebut masih menggunakan pendekat berdasarkan belas kasihan yang memusatkan perhatian pada pemberian perlindungan dan perawatan. Perjanjian tersebut tidak memuat hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia.

Perjanjian Afrika juga memuat protokol tambahan tentang hak-hak perempuan di Afrika (disebut juga protokol Maputo yang disahkan Uni Afrika pada 2003). Pasal 23 dari protokol ini mengakui hak istimewa perempuan penyandang disabilitas. Di sana tercantum:

    Pihak Negara-negara berupaya:

    a) a) menjamin perlindungan perempuan penyandang disabilitas dan melakukan langkah-langkah spesifik yang sesuai dengan kebutuhan fisik, ekonomi dan sosial mereka untuk memfasilitas akses terhadap dunia kerja, pelatihan profesional dan kejuruan, juga keikutsertaan mereka dalam pengambilan keputusan;

  b) b) menjamin hak perempuan penyandang disabilitas untuk bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual, diskriminasi berdasarkan kemampuan, serta hak untuk diperlakukan dengan memperhatikan harga diri.

Instrumen hak-hak asasi manusia terbaru adalah Perjanjian Hak-hak Fundamental Uni Eropa. Perjanjian tersebut disahkan pada tahun 2000 dan merupakam yang paling progresif dalam hal hak-hak penyandang disabilitas. Perjanjian tersebut memuat prinsip anti-diskriminasi dalam Ayat 21 yang mencakup disabilitas, yang menyatakan:

    “Dilarang melakukan diskriminasi dengan dasar apa pun, termasuk jenis kelamin, ras warna kulit, asal-usul etnis atau sosial, fitur genetik, bahasa, agama atau kepercayaan, politik atau perbedaan opini, keanggotaan dalam minoritas nasional tertentu, properti, keturunan, disabilitas, umur atau orientasi seksual.”

Ayat 26 lebih progresif lagi dengan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk:

    “”…mengakui dan menghormati hak-hak penyandang disabilitas untuk memperoleh manfaat dari langkah-langkah yang dirancang untuk menjamin independensi, integrasi sosial dan pekerjaan, serta partisipasi dalam kehidupan masyarakat…”

Dengan mempelajari deklarasi dan konvensi regional ini, kita bisa mengamati kemajuan yang jelas dalam pengakuan hak penyandang disabilitas di seluruh dunia. Harapannya adalah agar AHRD dapat setidaknya menyamai instrumen-instrumen hak asasi manusia regional yang dijelaskan di atas.

Sumber:

agendaasia