Oleh: Siti Rubaidah*
SuaraKita.org – Melewati bulan September dan memasuki bulan Oktober, ingatan kita selalu digiring pada pemutaran film G.30.S.PKI yang diulang-ulang di beberapa bioskop dan TVRI beberapa tahun lalu.
Yah, saya ingat betul masa-masa sekolah SD dulu, diwajibkan untuk nonton bareng film tersebut di bioskop. Setelah itu, hampir setiap tanggal 30 September setiap tahunnya film tersebut selalu diputar ulang di TVRI. Kemudian tanggal 1 Oktober yang dikenal sebagai peristiwa Hari Kesaktian Pancasila menggambarkan sepak terjang Suharto sebagai ‘Sang Pahlawan’.
Bisa dibayangkan, bagaimana masa tumbuh kembang anak-anak yang sejak kecil sudah harus terbiasa dengan tontonan sadisme dan ‘kebiadaban’ yang ditontonnya. Produksi kesadaran lewat pemutaran film dan berita yang berulang-ulang sudah semestinya memberi bekas yang sangat mendalam.
Jauh hari sebelumnya, beredar sebuah brosur yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) yang mengutip sumber ABRI mengemukakan versi berikut: Untuk memanaskan suasana para penari Gerwani mulai memainkan tarian mereka. Mereka menarikan Tari Harum Bunga, yang biasa mereka pertunjukkan setiap malam selesai latihan di Lubang Buaya, lalu terjadilah penyiksaan terhadap para jenderal.
Seiring berjalannya waktu, ketika nalar saya mulai tumbuh timbul pertanyaan-pertanyaan kecil yang mendesak ingin menemukan jawaban. Mengapa film tersebut dipertontonkan secara berulang-ulang? Apakah bangsa kita mengamini cara-cara sadisme yang dipertontonkan dalam film tersebut? Apakah sejarah berjalan sedemikian rupa seperti yang digambarkan dalam film versi Orde Baru tersebut?
Di era yang lebih terbuka, kita mulai bisa menguak versi-versi sejarah tragedi kemanusiaan 1965 dari berbagai sumber. Jika kita menilik perspektif Hak Asasi Manusia, sudah semestinya kita terusik oleh kisah pembantaian jutaan manusia yang dilakukan dan diamini oleh negara dan masyarakat Indonesia secara luas. Sedemikian barbarian-kah bangsa kita?
Beberapa saat yang lalu, melalui perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), sejumlah aktivis dan pegiat kemanusian menggelar International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) atau Mahkamah Rakyat Internasional di Den Haag 10-13 November 2015 untuk membuktikan telah berlangsungnya genosida 1965 dan menuntut negara atas penyelesaian kasus Pembunuhan Massal 1965.
Pembacaan sejarah 1965 juga dapat kita temukan di Buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia tulisan Saskia Eleonora Wieringa (1999). Saskia menjelaskan bahwa lewat berbagai koran terbitan 1 Oktober 1965 dan bulan-bulan pertama 1966, bisa dilacak bagaimana cara melancarkan kampanye fitnah tentang keterlibatan anggota-anggota Gerwani di Lubang Buaya. Tujuan utama kampanye tersebut adalah mengajak masyarakat lndonesia membuat kesimpulan bahwa Komunisme sedemikan amoral dan anti-agama, sehingga mengakibatkan kaum wanita yang terlibat di Gerwani melupakan berbagai tugas kewanitaan mereka. Bukannya menjadi isteri yang setia dan ibu yang baik, serta taat pada ideologi negera Pancasila dan agama, mereka malah giat dalam politik asusila, mengumbar nafsu seksual dengan cara-cara yang bejat dan mengerikan, serta melakukan tindak kejam tak terperi. Dengan kesimpulan tersebut, masyarakat dibuat maklum jika Komunisme dan Gerwani harus dilenyapkan demi pemulihan ketertiban masyarakat.
Faktanya, beberapa narasumber dalam penelitian Saskia memberikan kesaksian bahwa di penjara Bukit Duri misalnya sejumlah anggota Gerwani yang muda banyak yang disiksa dengan sangat luar biasa. Sejumlah anggota Gerwani yang sudah lebih tua seperti Ibu Salawati Daud, seorang pemimpin nasional yang terkemuka dan banyak disegani para penjaga penjara berusaha melindungi mereka. Dia berusaha keras membantu meringankan penderitaan gadis-gadis itu. Tapi akibatnya mereka dipindah ke tempat lain, diinterogasi dan dipukuli sebelum dikembalikan lagi ke Bukit Duri. Beberapa kesaksian melihat gadis tahanan yang ditelanjangi, diambil potret mereka dan kemudian disiarkan.
Hughes (1967) juga mempunyai banyak saksi mata tentang berbagai kisah pembantaian besar-besaran yang telah terjadi. Dalam penjara, seorang tahanan laki-laki dipaksa menyaksikan pemeriksaan terhadap anggota Gerwani. Dalam pemeriksaan tersebut si perempuan disiksa dengan cara ditusuk lubang vaginanya dan lehernya diikat dengan tali pengikat kemudian ditarik berjalan telanjang di depan tahanan laki-laki. Masih banyak lagi cerita seram dari kesaksian para narasumber, yang ketika membacanya bulu kuduk kita meremang dan perut tiba-tiba mual seperti diaduk-aduk.
Dalam mengumpulkan bahan-bahan penelitiannya, Saskia menggunakan konsep gender yang tidak hanya fokus pada perubahan pembagian kerja secara seksual antara perempuan dan laki-laki, tetapi mencari tahu sejumlah definisi gender yang berubah-ubah, seperti misalnya konsep esensialis tentang kodrat perempuan, posisi istimewa perempuan yang dibela hampir secara keagamaan, dan bagaimana definisi itu tersimpul dalam proses signifikasi sosial. Kadang perubahan ini sukar ditangkap, terkadang pula prosesnya berlangsung dalam guncangan dan lompatan yang hebat.
Dalam kesimpulannya Saskia menyatakan, sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa proses definisi dan redefinisi gender dapat terjadi secara kekerasan yang dapat memerlukan saat-saat pemanipulasian kesadaran. Saat yang paling kasar ialah kampanye fitnah terhadap Gerwani, yang menjadi dasar bagi pendongkelan Sukarno, dan sekaligus menjadi tiang penyangga ideologis “Orde Baru”.
Peran penting apa yang dimainkan oleh Gerwani, sehingga terseret pada Genosida[1] 1965 dan berkonsekuensi dilenyapkan oleh Orde Baru?
Sesudah kemerdekaan tercapai proses restorasi kekuasaan laki-laki dan hubungan genderpun disusun ulang. Perempuan menerima “hak sama” dengan pengecualian kesamaan hak di bidang hubungan perkawinan, mereka diharapkan menarik diri ke dalam “lingkungan sosial” mereka sendiri. Hanya Gerwani, organisasi perempuan yang menentang proses domestikasi ini, dan menuntut hak untuk tampil sebagai aktor politik.
Posisi politik Gerwani sangat menentang golongan-golongan yang konservatif, misalnya golongan Islam. Perseteruan mereka menajam ketika perkawinan Sukarno dengan Hartini. Perwari dan sekutunya yang menentang poligami merasa diciderai oleh sikap Gerwani yang menganggap masalah tersebut tidak penting dan lebih mengutamakan sikap politiknya mendukung Sukarno dalam revolusi.
Dalam kegiatan praktis, Gerwani benar-benar merupakan pembela paling aktif untuk hak-hak kaum buruh dan tani perempuan. Di tengah suasana politik Demokrasi Terpimpin yang sedang pasang, Gerwani makin terseret pada kubu Sukarno dan PKI yang populis anti imperialis. Ini berarti memasuki kawasan politik “laki-laki” untuk memasuki istana dan pusat kekuasaan.
Umi Sarjono, salah seorang pimpinan Gerwani pernah menyatakan bahwa Gerwani memiliki pandangan terbuka terhadap keberagaman seksualitas. Penting dicatat bahwa dulu masyarakat masih memandang bahwa homoseksual dan lesbian adalah penyakit. Baru pada tanggal 17 Mei 1990 World Health Organization (WHO) menghapus homoseksual dan lesbian dari daftar penyakit mental (penyimpangan) yang berdampak pada berubahnya pandangan masyarakat tentang homoseksualitas.
Jika ada anggota Gerwani yang lesbian, “Kita hanya peringatkan saja, kalau bisa jangan. Kalau tidak bisa ya sudah, kita serahkan saja pada masyarakat. Boleh tetap jadi anggota, banyak yang jadi anggota. Dulu dianggap penyakit. Baru setelah tahun 1993 homoseksual dan lesbian dikeluarkan dari daftar penyakit,“ ujarnya.
Tris Metty, menurut Umi Sarjono dan Saskia, adalah ketua pertama Gerwis yang lesbian. Sebelumnya ia pernah menjadi ketua Rukun Putri Indonesia (Rupindo), salah satu organisasi yang kemudian bergabung ke dalam Gerwis. Tris Metty adalah seorang feminis yang gigih. Dalam konferensi bagi persiapan kongres pertama Gerwis di Yogyakarta, dia digeser karena dianggap terlalu “avonturir” yang tidak menyetujui garis massa dan digantikan oleh Trimurti.
Ada dugaan bahwa alasannya adalah karena dia seorang lesbian. Tris Metty sangat berterus terang dengan identitas lesbiannya. Selain itu alasan lain menyebutkan bahwa Gerwis berpusat di Jakarta, sehingga Tris Metty harus keluar dari kedudukannya sebagai pegawai negeri di Semarang, yang tidak dikehendakinya. Dalam sejarah tentang Gerwani catatan tentang Tris Metty ini sangat sedikit sehingga informasi yang didapatkan terbatas.[2]
Sekalipun keterbukaan Gerwani terhadap keberagaman seksualitas diperdebatkan, pernyataan Umi mengkonfirmasi temuan Saskia Wieringa yang menyebutkan ada tiga tokoh Gerwani berorientasi seksual lesbian. Sebuah sikap tentang keberagaman seksual yang mungkin langka di dapatkan di organisasi perempuan lain di masa itu.
Melihat peran dan posisi yang dimainkan oleh Gerwani tersebut, golongan militer dan konservatif di dalam masyarakat menjadi cemas. Mereka takut bahwa suara perempuan yang sangat kuat akan mengebiri kekuasaan mereka, dan menerjemahkan rasa takutnya dengan menyusun fantasi aneh tentang pengebirian para jenderal. Demikian kuatnya ilusi yang diciptakan, sehingga hanya dipakai sebagai basis untuk pembantaian besar-besaran yang berakhir dengan didongkelnya Presiden Sukarno[3], dan landasan bagi bercokolnya kekuasaan Suharto. Anehnya, para perempuan di Lubang Buaya pada malam kejadian tidak dibawa ke pengadilan padahal mereka semua bisa didatangkan dari berbagai penjara.
Demikianlah, Kampanye fitnah seksual 1965-1966 tidak hanya menyingkap kebohongan, tetapi juga menyingkap suatu latar belakang oposisi seksual, yang atas dasar itu konsepsi politik –dalam hal ini lahirnya Orde Baru- bisa berlangsung. Keberanian perempuan, kemandirian sosial dan politik, serta otonomi fisik mereka, telah mereka kaitkan dengan perbuatan kebiadaban dan kecabulan seksual yang tak terkatakan. Dengan semua kampanye fitnah tersebut, kaum perempuan digiring kembali kepada kepatuhan dan kepasifan sebagai ‘perempuan yang baik-baik’ versi Orde Baru.
*Penulis adalah pemerhati masalah perempuan dan kontributor Suara Kita
[1] Genosida 1965 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut.
[2] Firliana Purwanti (Historia, 2011)
[3] Ben Anderson (1965:19)