Search
Close this search box.

group-of-kids-clipart-Happy_Kids_clipartSuaraKita.org – Sebuah penelitian dan menemukan fakta bahwa tidak ada pendidikan gender di Indonesia. “Budaya patriarkat yang memercayai bahwa kedudukan pria  di atas wanita dan apalagi jika sudah masuk unsur agama di dalamnya, membuat pola pandang masyarakat terhadap wanita menjadi sempit, terpaku pada stigma itu,” kata Doni Koesoema, A.M.Ed, pengamat pendidikan dan pendiri education consulting Pendidikan Karakter. Dalam sebuah agama ada keyakinan bahwa yang menjadi pemimpin seharusnya pria.

 Sayangnya, dengan absennya pengajaran gender di sekolah maupun rumah, anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang membenarkan stigma superioritas pria itu. Misalnya saja, laki-laki harus lebih kuat, tidak boleh menangis. Setali tiga uang dengan absennya pengajaran gender pada anak, pendidikan seks pun sangat minim diperoleh anak dari sekolah ataupun rumah. “Anak-anak kita ini banyak terpapar hal berbau seksualitas dari film-film, sementara edukasi mengenai seks tidak ada. Akhirnya, anak akan mencari tahu sendiri lewat teman-temannya dan browsing di internet dan bukan tak mungkin coba-coba melakukannya, karena seks masih diangap tabu dibicarakan secara terbuka dalam masyarakat kita,” cetus Doni.

 Hal ini disayangkan oleh Irma Khaerani Thaher seorang ibu dari dua orang anak. Sekolah negeri tempat anak-anaknya bersekolah tidak memberikan pelajaran seks ataupun kesetaraan gender. “Justru, orang tua murid yang mendorong guru untuk bisa memberikan penjelasan tentang itu, diselipkan kala mengajar di kelas,” katanya.

Selama ini pendidikan seks tidak diberikan secara eksplisit, tapi hanya diselipkan di pelajaran reproduksi dalam ilmu biologi. Beberapa sekolah yang memasukkan pendidikan seks dan gender secara resmi dalam kurikulumnya baru sekolah-sekolah berkultur “asing”. Ada juga sekolah-sekolah swasta atau yang berbasis keagamaan, tapi bisa dihitung dengan jari. Masih banyak yang merasa sungkan atau menganggap seks adalah hal tabu untuk dibicarakan dengan anak. Dari hasil polling yang dilakukan oleh tim dari sebuah majalah wanita terhadap 116 responden, hanya 3% yang mendapatkan informasi seks dari orang tua.

Masih banyak orang tua yang menerapkan komunikasi tidak terbuka, sehingga mereka justru telat mengajarkan tentang seksualitas. “Pendidikan seks diajarkannya ‘nanti-nanti saja’, kalau anak sudah sampai usia pubertas.  Padahal, ada proses belajar yang perlu dilalui oleh anak-anak. Seharusnya pendidikan seks untuk langkah pencegahan dilakukan di awal pola asuh,” sesal Najelaa Shihab, seorang penggiat Pendidikan. Melihat kondisi ini, Najeela akhirnya merasa perlu memasukkan pendidikan relationship, seksualitas dan gender yang benar dan utuh di dalam sekolah yang didirikannya. Tidak hanya sebatas kurikulum, tapi juga dalam praktik di sekolah sehari-hari.

Pendidikan seks dan gender itu tidak harus berdiri sendiri, karena dapat juga terselip di pelajaran-pelajaran yang lain. Misalnya pada pelajaran biologi, tentu ada pelajaran tentang sistem reproduksi. Begitu juga dengan pelajaran agama, ada pembahasan tentang hubungan yang sehat dan seksualitas yang baik. “Jadi, seksualitas tersebut bisa diajarkan melalui pendidikan agama, sosial, biologi, dan lain sebagainya,” katanya.

Sementara untuk isu gender, penting menekankan pada murid-murid bahwa antara wanita dan pria sama hebatnya, tapi tentu tidak dapat dipungkiri bahwa berbeda secara biologis, sifat, sosial, dan lain sebagainya. “Namun, kita tanamkan rasa kepercayaan diri pada anak-anak bahwa walau secara biologis berbeda, murid perempuan sama hebatnya dengan murid laki-laki,” jelas Najeela.

Jika edukasi gender atau seks tidak didapatkan di sekolah, orang tua sebetulnya bisa memberikannya dari rumah. “Caranya bisa dengan mengajarkan hal-hal sederhana, seperti anak laki-laki juga harus mengerjakan pekerjaan domestik, anak perempuan tidak hanya main boneka, tapi juga boleh main mobil-mobilan, laki-laki juga boleh menangis. Orang tua harus menekankan bahwa anak laki-laki dan perempuan itu setara, tidak ada yang lebih superior atau inferior,” saran psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum. Irma  berinisiatif mengajarkan anak lelaki untuk tidak memperlakukan perempuan secara tidak senonoh, misalnya mencolek bokong atau payudaranya. Begitu juga dengan anak peremuan, yang harus sudah diajarkan untuk melapor guru atau orang tua jika ada orang yang menyentuh tubuhnya.  Namun, ia merasa menemui kendala karena ia takut penyampaiannya tidak sesuai dengan usia si anak dan malah membuat mereka bingung. Itu sebabnya, ia berharap edukasi seks dan gender bisa masuk kurikulum. Ada konseling untuk bimbingan perkembangan kepribadian atau pelajaran yang bisa diberikan oleh guru BP atau bekerja sama dengan psikolog. Guru juga  diharapkan bisa memberi teladan yang baik mengenai pengajaran gender.

 Hal yang melegakan, dalam 2-3 tahun terakhir, pria di perkotaan besar  terlihat sudah mulai berubah pola pikirnya dan lebih feminis. “Banyak pria  yang sekarang mau terlibat dalam pengurusan anak. Padahal, 10 tahun lalu hal seperti ini akan dianggap aneh,” papar Nirmala. Jika dibandingkan dengan negara maju, memang kita masih tertinggal jauh. “Mereka sudah lebih dulu melek isu gender dan banyak pria yang terjun untuk membela hak-hak anak atau wanita. Salah satunya, White Ribbon Campaign dari Kanada yang anti kekerasan terhadap anak dan wanita,” lanjut Nirmala.Dia juga berharap perubahan masyarakat dalam memahami isu gender ini bisa dimulai sejak sekarang. “Kami menanamkan bahwa laki-laki yang keren itu bukan yang ugal-ugalan, tidak merokok, tapi yang bisa menghargai wanita,” tuturnya mengenai kegiatannya disekolah-sekolah. Nirmala dan Doni juga berharap media bisa turut membantu dengan tidak terlalu mengekspos berita-berita kekerasan seksual, apalagi jika lantas menyudutkan wanita.

Di Indonesia, gerakan kampanye anti kekerasan terhadap anak dan wanita diharapkan bisa  makin menggeliat dengan dideklarasikannya Kampanye Nasional Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, pertengahan Februari lalu. Yohana menegaskan, akar permasalahan ‘anak-anak bermasalah’ itu bisa jadi datang dari pola asuh yang salah atau kurangnya perhatian orang tua. “Pola asuh orang tua terhadap anak adalah fondasi kuat yang membentuk karakter dan moral anak di kemudian hari. Jika tameng moralnya kuat, maka anak akan siap menjaga perilakunya dari paparan hal-hal negatif yang diperolehnya,” cetusnya.

Senada dengan pernyataan Yohana, Doni yang juga adalah pendiri education consulting Pendidikan Karakter menambahkan bahwa membangun karakter dan moral anak jadi hal penting yang harus dilakukan orang tua dan sekolah, selain memberikan edukasi seks dan gender.  Sudah saatnya kita membekali anak-anak kita dengan pemahaman gender, edukasi seksual, dan kehangatan keluarga yang membuat anak akhirnya bisa menjadi generasi yang sehat. Kita tidak bisa menuntut ini jadi tanggung jawab sekolah saja, atau sekolah tidak mau tahu dan melempar ini kepada orang tua. Baik orang tua, pihak sekolah, maupun masyarakat harus bersinergi mencetak anak-anak yang gentleman dan berbudi luhur. Ketika pria mulai bisa memandang wanita dengan respek, maka budaya pemerkosaan akan surut dengan sendirinya. (Radi Arya Wangsareja)

Sumber

femina