Oleh : Aan Anshori*
SuaraKita.org – Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri undangan Mas Dede Oetomo, dedengkot aktifis LGBT. Founder GAYa Nusantara ini melaunching gerakan baru untuk mempromosikan hak ketubuhan dan seksualitas di komunitas muslim, namanya kerennya Coalition for Sexuality and Bodily Rights in Moslem Society, disingkat CSBR. Dalam pertemuan di Perpus Bank Indonesia Surabaya itu saya bertemu banyak sekali aktifis dari berbagai sektor, utamanya yang concern dalam isu LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex, Queer).
Di pertemuan itu, secara tidak sengaja saya bertemu Dy, seorang kawan lama. Dia adalah direktur salah satu organisasi yang juga fokus pada isu seksualitas. Sama dengan Dv, Dy juga seorang L. Keduanya termasuk lesbian yang berani menyatakan dirinya seorang lesbian. Istilah umumnya ‘sudah berani coming out’. Urusan coming out ini memang agak rumit, sebab tidak sedikit dari mereka yang masih memilih menyembunyikan identitas orientasi seksualnya. Alasannya beragam. Ada yang masih bingung dengan eksistensi seksualitasnya, namun tidak sedikit yang belum bisa menerima realitas bahwa mereka seorang L. Entahlah, namun saya menduga faktor insekuritas dan inkonfidensi cukup dominan sebagai latar belakangnya.
Bagi mereka, dalam lingkungan seperti ini, tidak mampu berelasi dengan lawan jenis merupakan beban sosial yang tidak mudah. ‘Hah?! Wedok kok seneng wedok. Hueekkk…‘ Begitu respon miring salah satu teman saya suatu ketika. Atau, coba tanyakan orang tua secara acak, bagaimana respon mereka saat mendapati anak perempuannya ternyata lebih menyukai perempuan ketimbang laki-laki. Saya yakin, mereka akan terguncang, raut muka mereka akan berubah tegang. Persis seperti wajah tante saya ketika menjawab pertanyaan pendek yang saya lontarkan dengan bercanda, ‘Yok opo nek anak sampeyan ujuk-ujuk ngaku nek de’e seneng podo lanange?‘.
Dalam arus besar pandangan Islam, homoseksualitas tidak terapresiasi positif, bahkan bisa dikatakan mengalami represifitas. Pandangan minor atas orientasi-seksual ini selalu ditautkan pada peristiwa yang menimpa umat Nabi Luth. Pengalamatan ini tidak seluruhnya tepat karena terdapat unsur fakhisyah (kekejian) pada praktek masa itu. Sedangkan tidak selamanya hubungan seksual sejenis mengandung unsur tersebut. Generalisasi atas sodom dan homoseksualitas pada gilirannya berimplikasi terhadap cara pandang para ulama, terutama dalam penerapan hukum Islam atas praktek ini.
Bagaimana dengan lesbian? Nasibnya setali tiga uang. Banyak ulama menganggap praktek ini sama dengan zina, yang oleh karenanya berlaku hukuman zina. Namun ada juga ulama yang lebih lunak bersikap. Lesbian dianggap bukan zina karena tidak melibatkan penis dalam aktifitas seksualitas.
Melucuti Basis Represifitas
Dalam komunitas Islam, lesbianisme dianggap tercela karena dipersepsi melawan idealitas sosok perempuan. Lesbianisme adalah subversif dan “kontra-revolusioner” karena melawan garis takdir perempuan yang telah ditentukan oleh cara pandang laki-laki; yakni sebagai ibu dan istri. Sebagai istri, perempuan ditempatkan tidak lebih dari sekedar obyek seksualitas laki-laki. Dalam pandangan patriarkhi, posisi ini selanjutnya perlu ‘disempurnakan’ lagi dengan cara “mewajibkan” para istri berstatus subur agar mampu melakukan reproduksi.
Nah, seksualitas perempuan yang tidak linier dengan dua hal tersebut -termasuk lesbian- dianggap terjangkiti penyakit jiwa, yang pada akhirnya perlu disembuhkan. Menurut Habib (2007), dalam epistomologi kontemporer Arab secara umum, penyebab terjadinya homoseksualitas perempuan bisa bermacam-macam; pengalaman kekerasan oleh laki-laki, trauma kehidupan seksual, pendidikan yang salah, dan dituduh menderita gangguan jiwa ringan.
Sungguhpun demikian, sebenarnya praktek lesbianisme telah menjamur di kalangan Luth umat laut 40 tahun sebelum “diambil alih” laki-laki (Murray, 1997). Hasrat seksualitas antarperempuan di komunitas Islam bukanlah hal yang tabu awalnya. Pada batas tertentu, masyarakat muslim bisa mentolerir kehidupan ini, sama seperti yang juga terjadi pada kekristenan awal (Boswell, 1980). Riset Samar Habib yang dipublikasikan pada 2007 dengan judul Female Homosexuality in the Middle East: History and Representations, menunjukkan homoseksualitas perempuan di dunia Arab bukanlah sesuatu yang dianggap saru hingga abad 13. Berbagai literatur dan karya seni menunjukkan variatifnya intimasi di kalangan perempuan. Tidak saja terjadi di kalangan elit dan terpelajar, praktek lesbianisme juga muncul di kalangan budak perempuan. Dalam rekaman historikus Islam, Tabari, kondisi ini muncul pada saat pemerintahan al-Hadi, khalifah keempat dinasti Abbasiyyah, sebelum digantikan Harun al-Rasyid. Represifitas atas homoseksualitas mengemuka seiring bangkitnya faksi ortodoks Islam diberbagai rezim.
Meminjam Foucault, cara pandang yang memberangus lesbianisme ini dioperasikan melalui hegemoni pengetahuan. Kuasa wacana ‘lesbian adalah pendosa dan melawan kehendak ‘alam’ berjalan dengan cara merebut tafsir teks suci dan membakukannya ke dalam berbagai produk keagamaan, lalu didistribusikan melalui berbagai institusi pendidikan dan sistem sosial yang ada.
Bagaimana teks suci dioperasikan membungkam lesbianisme dalam Islam?. Pertama, terdapat dua ayat al-Quran Surah al-Nisaa’ 15-16 yang dijadikan kerap dijadikan tautan. Saya akan kutipkan.
وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىَ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan KEJI, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.
وَاللَّذَانَ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
Apa yang dimaksud dengan fakhisyah (kekejian) pada dua ayat tersebut? Para penafsir Al-Qura seperti Tabari, Katsir, Jalalayn, Maududi maupun Qurtuby memaknainya sebagai perzinahan-heteroseksual. Mereka setidaknya satu suara ayat ini tidak berlaku lagi setelah turunnya regulasi-quranik menyangkut perzinahan dalam al-Nuur ayat 2. Hanya duo-Jalal dalam tafsirnya, Jalalayn, yang memperluas makna kata ya’tiyanihima pada ayat 16 dengan ‘liwat’ (sodomi). Jalalyn nampaknya mengamini pandangan madzhab Syafii yang memposisikan liwat sama seperti zina heteroseksual. Yang menarik, jika ayat 16 ini dibaca secara konsisten dengan frame seksualitas-sejenis maka untuk pasangan gay bisa dihukum. Apa hukumannya? Tidak cukup jelas, namun menurut Ibn Katsir dan al-Suyuthi, pelaku gay cukup dicela dan digampar dengan sandal. Seandainya pasangan gay tersebut bertaubat dan memperbaiki diri maka sudah dianggap cukup.
Kemungkinan lain, jika ayat 15 ditafsirkan sebagai praktek lesbianisme, maka apakah tidak seharusnya kata ganti (dhomir) dalam kata ‘alaihinna menjadi alaihima (dua orang perempuan)? Kecuali jika Allah memaksudkannya sebagai praktek lesbian berjamaah (orgy). Di luar penafsiran-penafsiran tadi, patut juga dibaca dua ayat sebelumnya yang membincang tentang menejemen pembagian waris, tidakkah ada kemungkinan kekejian ini berkaitan dengan peringatan tuhan agar perempuan dan laki-laki tidak berlaku culas dalam pembagian waris (financial dishonesty)?
Jadi, kalau mau jujur, kedua ayat ini terlalu spekulatif dan terkesan sangat absurd untuk merepresi seksualitas lesbian. Bagi saya, menerapkan hukuman hadd atas lesbianisme tidak bisa didasarkan pada asumsi, hipotesis, pendapat, ‘kesepakatan’ sebuah kelompok, atau bahkan hadits sekalipun. Penghukuman ini –menurut hemat saya- membutuhkan justifikasi teks al-quran yang terang benderang, tidak interpretative, atau dalam bahasa hukum disebut beyond reasonable doubt. Apalagi hingga saat ini belum ada preseden historik Nabi pernah menghukum pelaku lesbianis pada zamannya.
Al-Quran Mengafirmasi Lesbian?
Sebaliknya, eksistensi lesbian cukup kuat terdeteksi dalam QS. 24:60.
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (1051) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana. (1051) Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat”.
Hampir semua penafsir memaknai kata وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً sebagai perempuan tua yang menopause dan tidak punya hasrat lagi untuk menikah. Para penerjemah al-Quran seperti Pikthall, Muhsin dan Hilali maupun Yusuf Ali juga mengikuti jejak para penafsir awal. Kita memahami bahwa kata dalam bahasa Arab punya banyak arti. Penting bagi kita tahu bahwa dalam Kamus al-Munawwir terbitan Pesantren Krapyak, kata qawaa’ida disamping punya arti pondasi, dasar, maupun berhenti, diksi tersebut juga punya arti menahan dan keengganan. Kedua ayat tersebut terbuka untuk diartikan “Perempuan –perempuan yang enggan, yaitu mereka yang tiada ingin kawin”.
Jika terjemahan ini yang dipakai maka semakin jelas al-Quran telah menyinggung keberadaan perempuan yang enggan kawin tanpa dibatasi oleh syarat menopause terlebih dahulu. Sebagaimana ada laki-laki yang tidak punya hasrat terhadap perempuan (QS 24:31)[1], kondisi perempuan-perempuan seperti ini bisa jadi dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya trauma berelasi dengan laki-laki, atau mempunyai orientasi seksual yang berbeda dari perempuan kebanyakan.
Absennya terjemahan maupun tafsiran al-Quran yang sensitif terhadap penerimaan perempuan lesbian merupakan hal lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan yang hidup dalam tradisi patriarkhi ketat saat itu. Dalam cara pandang tradisi tersebut, heteronormativitas-prokreasi merupakan kebenaran mutlak yang harus dipertahankan dengan cara apapun, sampai kapanpun.
Ayat lanjutan yang memungkinkan kita mengendus jejak lesbianisme ada pada QS al-Syuaara (42) 49:50.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki”
أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَاناً وَإِنَاثاً وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيماً إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”.
Terjemah dan tafsir mainstream menyebut dua ayat di atas sebagai kuasa tuhan dalam memberikan anak/keturunan. Dia bisa menganugerahkan anak laki-laki saja sebagaimana kepada Ibrahim, atau hanya memberi anak perempuan seperti pada Nabi Nuh. Atau, Alloh punya otoritas memberi berkat berupa anak laki-laki dan perempuan sebagaimana kepada Nabi Muhammad. Atau bahkan, tuhan menjadikan seseorng mandul sehingga tidak bisa bereproduksi.
Perkembangan baru dalam tafsir berperspektif lesbian menunjukkan adanya cara baca yang cukup mengagetkan. Seperti yang didalilkan Mark Burstman dalam Queer Sexuality and Identity in the Quran and Hadith, dua ayat tersebut sangat mungkin tidak membicarakan tentang pemberian anak, namun justru dalam konteks penciptaan pasangan hidup. Tuhan menganugerahkan baik laki-laki maupun perempuan bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk dijadikan pasangan jiwa. Pemahaman ini tentu saja terdengar ganjil. Kelompok ini membangun argumentasinya pada dua hal. Pertama, digunakannya kata zawwaja yang berarti pasangan atau mengawinkan. Jika dimaknai ‘berpasangan’ dalam arti lahir kembar maka sangat jarang ada kelahiran kembar laki-laki dan perempuan. Kedua, kelompok ini mendalilkan bahwa hanya pada ayat ini, perempuan disebut dahulu ketimbang laki-laki. Hal ini dianggap tidak biasa mengingat laki-laki biasanya disebutkan pada posisi pertama sebelum perempuan sebagaimana QS. 3:195, 4:12, 4:124, 6:143-144, 16:97, 40:40, 49:13, 53:21, 53:45, 75:39 dan QS.92:3.
Berbagai ayat di atas tadi menantang kita untuk berfikir ulang mengenai posisi lesbianisme dalam teks suci. Penafsiran tersebut sangat mungkin dipersepsi sebagai upaya memperkosa teks demi melegalkan sebuah orientasi seksual yang antimainstream. Saya katakan tidak. Teks tidaklah mampu berbuat apa-apa sampai seseorang menggunakannya sebagai dalil. Teks bersifat tetap, sedangkan arti dan pemaknaannya bersifat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Dan hal itu merupakan sesuatu yang lumrah dalam koridor keragaman tafsir.
Saya meyakini orientasi seksual bersifat tetap –meskipun Tuhan bisa berkehendak lain. Seorang heteroseksual tidak bisa dipaksa menjadi homo, atau orientasi seksual lainnya, begitu juga sebaliknya. Lesbian tetaplah manusia yang punya kedudukan sama dengan yang lain. Martabat dan haknya tidak bisa dikurangi hanya karena dia diciptakan berbeda. Tidak sepatutnya kebencian kita pada suatu kelompok membuat kita boleh berlaku tidak adil pada mereka.
[1] Keberadaan laki-laki seperti ini sesungguhnya telah terkonfirmasi sejak zaman nabi. Silahkan baca tulisan Rowson bertajuk The Effeminates of Early Medina yang mengulas cukup detil sosok ini. Ada di antara para sahabat nabi yang sampai akhir hayatnya hidup membujang. Salah satunya adalah Abu Hurairah. Dalam sebuah riwayat dalam Sahih Bukhari, pria pengkoleksi hadits terbanyak ini pernah curhat kepada Nabi mengenai kondisinya. Dia mengaku tidak mampu menikah dan takut terjerumus dalam kerusakan (‘anata). Tiga kali dirinya menanyakan hal tersebut namun tidak dijawab Nabi. Baru setelah dirinya menanyakan hal sama yang keempat kali, nabi segera menjawab agar Hurairah membujang seumur hidup atau menikah.
*Aan Anshori adalah seorang aktivis kemanusiaan, Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), Penggerak GUSDURian Jombang
Sumber