Search
Close this search box.

[Cerpen] Untuk Akhir yang Bahagia

Oleh: Yarra Yora*

Suarakita.org – Saat pertama mereka bertemu, Sang Pangeran menatap Daru dengan amarah. Pangeran Anit yang terkenal akan belas kasihannya–akan kebaikannya, akan kebiasaannya memberikan setiap orang kesempatan kedua– menatap Daru dengan tajam. Dan Daru tahu, sebagai seseorang yang berasal dari latar belakang yang tidak jelas, dia tidak mempunyai kesempatan kedua di mata Pangeran. Dia tidak penting, tidak berarti. Siapa yang akan percaya bahwa dia tidak menyerang Sang Putri? Terlebih lagi, setelah berbagai macam kejahatan yang telah dia lakukan, mungkin ini adalah karma.

Mungkin dia pantas mati.

Daru tidak merasa cukup kuat untuk menantang Putri Ranti. Dia merasa tidak kuat mengetahui bahwa Pangeran Anit–Sang Lemah Lembut, mereka berbisik mencerca, tapi Daru mengagumi nama itu- membencinya karena saudarinya membuat tuduhan palsu bahwa Daru mencoba membunuh Sang Putri.

Para bangsawan keraton mencerca Si Dungu yang berani menyakiti Putri Ranti. Daru menundukkan kepalanya, bukan karena dia malu akan makian petinggi-petinggi yang mencoba memenangkan hati Putri Pahit itu. Dia hanya tidak tahan melihat kebencian Pangeran kepadanya. Sungguh aneh. Pangeran Anit tidak mungkin mengetahui siapa Daru kalau saja Putri Ranti tidak menyeretnya ke pengadilan. Jadi untuk apa perasaan lemah ini?

Putri Ranti masih belum hadir di pengadilan ini. Kutukan-kutukan yang diberi untuk Daru lama-lama berubah menjadi bisikan-bisikan khawatir untuk kesehatan Sang Putri. Si Dungu masih menundukkan kepalanya, masih belum berani melihat wajah Sang Pangeran sekarang. Tapi Daru bisa membayangkannya. Rasa kasih sayangnya yang luar biasa untuk keluarga akan mengubah amarah di wajahnya menjadi rasa khawatir. Dan mungkin rasa khawatir itu akan menanamkan benci yang mendalam untuk Daru.

Si Dungu berharap dia diberikan kemudahan untuk mati dengan cepat. Tapi sepertinya itu hal yang mustahil.

Tujuh tahun. Itulah waktu yang diperlukan Daru untuk menebus “kejahatannya”. Putri Ranti telah merencanakan semuanya. Mulai dari luka yang dia alami hingga hukuman untuk Si Dungu. Sudah sepantasnya Daru merasa marah sudah digunakan oleh Sang Putri untuk mengangkat namanya di kerajaan ini. Tapi dia tidak bisa. Setelah mengenal Putri Ranti lebih dekat–rasa irinya, dengkinya, sedihnya, dan keinginannya untuk menjadi orang yang lebih baik- Daru merasa bahwa mereka adalah sahabat. Ironis sekali yah?

Dan tak hanya itu. Ada alasan lain kenapa dia tidak bisa marah pada Ranti.

“Daru?” Pangeran Anit berjalan mendekatinya. “Bisa kita bicara sebentar?”

“Tentu, Baginda.” Daru membungkuk dengan hormat. Dia sering memperhatikan Sang Pangeran, dan pemuda itu kelihatan sedikit sedih hari ini. Mungkin Daru bisa membantunya. Mereka berjalan tanpa arah yang jelas, keluar dari keraton. Pepohonan menjadi semakin rindang sampai mereka berhenti di tempat yang sunyi. “Baginda?” Daru kebingungan.

“Anit,” Ucapnya. “Panggil saja Anit.”

“Tapi– Baginda, itu tidak sopan!” Daru terbata-bata.

“Lalu, bagaimana dengan saudariku Ranti?” Ada yang berbeda dari cara Sang Pangeran mengucapkan nama saudarinya. “Kamu memanggilnya dengan namanya tanpa embel-embel Putri… dan aku tahu kenapa.”

Daru terbelalak. Mustahil… jangan-jangan Pangeran salah sangka tentang hubungannya dengan Ranti…

“Ranti menipu semua orang, kan?” Rasa malu terlihat merayap ke wajah Sang Pangeran. “Dia menjebakmu… Menipu pengadilan untuk menjadikanmu bawahannya.”

Oh. Dia sama sekali tidak salah sangka. “Tapi Pangeran–”

Sebelum Daru bisa menjelaskan keadaan mereka sekarang, Anit membungkuk dalam-dalam. “Maafkan aku!”

“Pangeran?!” Suara Daru terdengar keras dan terperanjat. “Jangan! Saya hanya seorang pesuruh! Pangeran tidak seharusnya–”

“Pangeran tidak seharusnya membiarkan saudarinya sendiri menggunakan rakyat kami sebagai alat politik!” Anit menolak untuk berdiri, walaupun Daru–pria yang lebih besar dan kuat darinya- berusaha untuk mengangkat Anit dengan tangannya sendiri.

“Pangeran Anit– Anit!” Daru mengguncangnya dengan perlahan. “Tolong… angkat kepala anda…”

Walau terlihat ragu, Anit pun bangkit dari tempatnya membungkuk. Tangan dan kaki Sang Pangeran kotor dengan tanah, matanya terlihat merah menahan tangis. Daru tidak menyangka bahwa Anit akan bereaksi sejauh ini setelah mengetahui penipuan Ranti. Anit terbata-bata selagi ia mencoba menghentikan isaknya. “Memalukan yah? Aku dibutakan oleh rasa sayang pada adikku…” Tawa kecil terlepas dari bibirnya. “Mereka benar… aku terlalu lunak.”

“Itu tidak benar!” Daru tidak akan membiarkan– sekarang dan selamanya- seorang Anit kehilangan cahayanya. “Kamu memang lemah lembut Anit! Tapi itu bukan hal yang buruk! Kerajaan ini sudah punya banyak orang-orang sinis seperti Ranti! Tapi tidak cukup orang dengan hati yang tulus seperti kamu! Memangnya kenapa kalau kamu sayang pada Ranti? Mungkin itu yang dia butuhkan! Mungkin kalau lebih banyak orang yang memberikan dia cinta dia tidak akan bersikap licik ke semua orang!”

Daru berhenti meracau. Kulitnya tidak segelap kulit para keluarga raja, tetapi bila Anit tidak memperhatikan maka dia tidak akan dapat melihat betapa tersipunya pria itu. Anit tertawa, kali ini tawanya tidak terdengar sedih ataupun pahit. “Kamu benar-benar sayang Ranti, yah?”

Daru yang kekar terlihat seolah-olah mengempis mendengar komentar Anit. “Dia sahabatku…”

“Walaupun Ranti awalnya membuat hidupmu sulit?”

“Yah, kalau dia tidak merencanakan semua ini, di kesempatan mana lagi kita bisa bertemu?”

“Ah.” Kali ini Anit yang terlihat tersipu, dan Daru merasa panik saat dia sadar dia keceplosan. “Kalau begitu… apa kamu mau bekerja untukku dan bukan untuk Ranti?”

“Pangeran…?”

“Sudah kubilang, panggil saja Anit. Tadi juga kamu sudah bisa kan?” Anit tersenyum.

Daru kembali malu-malu. “Saya merasa terhormat– tapi… Ranti masih membutuhkan saya.”

Senyum Anit melemah, tapi dia berusaha tidak terlihat sedih. Daru merasa sedikit bersalah. “Kamu yakin?”

Daru mengangguk. “Saya yakin. Dia butuh bantuan dan… dan saya temannya, tidak mungkin saya meninggalkannya begitu saja.”

Untuk beberapa saat, Sang Pangeran tidak menjawab, dan senyumnya menghilang. “Kamu benar-benar orang yang baik, Daru.”

Tiga tahun. Tiga tahun dan lima bulan, tepatnya. Ranti tidak pernah melupakan rincian sekecil apapun. Dan ternyata, begitu pula saudaranya.

“Ingat tiga tahun dan lima bulan yang lalu? Kamu memilih untuk tetap bekerja untuk Ranti di tempat ini.” Anit terlihat seperti cuaca cerah di pagi hari. Senyumnya menyejukkan.

“Anit…” Sudah berapa lama Daru tidak memanggilnya pangeran? Semuanya terasa terjadi begitu cepat. “Kamu yakin? Kerajaan ini membutuhkan keturunan, dan aku–” tidak bisa memberikannya, tidak mungkin.

“Sejak Ranti mencoba mengganti tatanan adat di sini agar rakyat memilih dirinya sebagai pemimpin–”

“Maksudmu mencoba memberontak?”

Anit tertawa lagi. “Mm. Tapi hanya kita yang tahu kan? Lagipula, idenya bukan hal yang buruk.” Tawanya menetap menjadi senyuman lagi. Daru sudah jelas kebingungan. “Rakyat yang memilih pemimpin… ide yang bagus kan? Daripada pemimpin yang hanya memimpin karena dia keturunan raja, bukannya lebih baik bila dia seseorang yang diinginkan rakyat?”

Daru terbelalak. “Kamu yakin itu ide bagus?”

“Yah, dan kalau ide itu diterima, aku ataupun Ranti tidak harus punya anak.” Senyum berubah menjadi seringai. “Dan aku dan kamu? Kita bisa menikah.”

“Oh.” Daru mulai menyadari arah pembicaraan ini. “OH. Kamu– wow– yah… itu ide yang bagus…”

Rencana ini mungkin tidak dapat terjadi hari itu juga.

Tapi bila di masa depan semua orang bisa menikah dengan orang yang mereka cintai, kenapa tidak mulai dari sekarang?

 

*Penulis adalah juara pertama dalam lomba cerpen yang diadakan oleh salah satu group LGBTIQ+ Indonesia di Facebook. Sapa penulis di akun Facebook-nya.

Bagikan

Cerpen Lainnya