Search
Close this search box.

[Cerpen] Petrichor

Oleh: Abi Ardianda*

SUarakita.org – Sabtu pagi mestinya tidak semendung ini.

“… satu gelas espresso?” Pramusaji itu kemudian meletakkan secangkir espresso di hadapan Rasyid setelah aku yang mengangguk, mengiyakan. Rasyid tidak memiliki cukup keperdulian, bahkan untuk sejenak mengalihkan pandangannya dari teve di ujung ruangan dan menyambut pesanan miliknya sendiri.

Barangkali benar yang diungkapkan Judi James dan James Moore dalam buku mereka, The You Code, yang memaparkan karakter manusia dari kebiasaan bahwa mayoritas penggemar espresso itu cenderung moody. Kuduga, sepanjang malam yang kami habiskan di rumah sakit telah menyita segenap persediaan minatnya untuk merespon sesuatu.

“Ada lagi pesanan lainnya?”

Di atas kursi roda, sambil melingkarkan telapak tanganku di pinggang mug yang berisi hot thai tea, kubilang tidak ada dan aku akan memanggilnya kembali nanti bila kami ingin memesan yang lainnya lagi.

“Kamu lebih baik pulang, Syid. Peluk guling lalu benamkan dirimu di balik selimut. Sebelum orang-orang berpikir aku telah menghidupkan kembali Suzana versi laki-laki gara-gara lingkar hitam di bawah pelupuk matamu itu, iiieew, creepy!”

Aku sudah mengira ia akan menyambut kopinya, dengan menciptakan beberapa tegukan sekaligus. Yang tidak kuduga adalah, bibirnya masih dapat tersenyum setelah segala hal melelahkan yang kami lalui malam ini.

“Bi, boleh aku tanya sesuatu?” Ia meletakan cangkir espressonya dan beralih menatapku serius. Buru-buru kualihkan pandangan pada asap yang membubung di atas cangkirnya.

Oh, kenapa harus espresso, Syid? Kenapa kamu tidak mengatur seleramu untuk mulai mengagumi latte, misalnya. Teman-temanku banyak yang mengagumi latte dan kupikir mereka lebih mudah dihadapi.

Aku telah menghadiri banyak sekali kedai kopi. Mulai dari seorang nenek yang menyeduh kopi di balik biliknya seharga seribu rupiah sampai standard internasional dengan lusinan pramusaji yang menjual keramahan. Dan aku tahu, merubah selera kopi seseorang tidak semudah saat kita memesannya.

Aku sangsi, barista-barista yang kukenal –baik yang hanya selewat maupun yang menjadi karib sampai sekarang- akan tahu cita rasa espresso yang tengah Rasyid sesap. Bukan, bukan dalam cangkir yang tengah digenggamnya. Melainkan buih yang menempel di sektiar bibirnya, di bawah kumis tipisnya.

Bagaimana rasanya, ya? Manis, kah?

“Tanya aja. Santai kali, Syid.” Kujawab seolah-olah tidak ada beban apa pun dari ungkapan Rasyid tadi.

Entah darimana firasat yang mengatakan bahwa moment ini tidak akan berlangsung dengan mudah. Aku melihat Rasyid menelan ludah, terbukti oleh jakunnya yang bergerak dari atas ke bawah sebelum ia bertanya, “kalau aku suka sama kamu gimana, Bi?” Kemudian terdengar suara petir menggelegar.

See? I told you, Rasyid Shajim. This is can’t be.

Kemudian hujan menyerang sebagian wilayah bumi keroyokan.

***

Tentu saja bukan masalah kau menyukaiku, bila aku bukan laki-laki. Bila kita bukan sama-sama laki-laki.

Akan kurunut kejadian beberapa bulan belakang yang merangkum kebersamaan kami sekaligus akar dari segala permasalahan.

Ketika di hari pertama kehadirannya mengaktivasikan dopaminergic system, serta pelepasan euphoria dari dalam otak dipengaruhi oleh hormon dopamine dan oxcytocine yang semula kukira tak lagi tersedia di tubuhku, aku bukan lagi orang yang sama. Teman-teman meyakini permukaan gigi depanku yang mengering karena kebanyakan tersenyum. Sahabatku, Nadia, bahkan terheran-heran melihatku menyemprotkan Amor-Amor Cacharel yang terakhir kugunakan saat berkencan dengan mantanku, yang justru berujung dengan putusnya hubungan kami.

Semua yang dipaparkan Stephanie Ortigue dalam bukunya, Livescience, tetap tak membuat pertemuan pertama kami saat itu menjadi lebih mudah. Nona Ortigue bilang, hanya diperlukan lima detik untuk jatuh cinta. But it takes my whole day to wait and realize that the one who send this beat signal is him. You know, kind of beat which comes when million butterflies dance in your tummy. Jenis getar yang menggodaku setengah mati untuk menoleh ke belakang. Letak di mana terjadi pergesekan antara kaki kursinya dengan ubin, yang kemudian menimbulkan bunyi linu sehingga mengundang perhatian setengah isi kelas. Bunyi itu yang kemudian kugunakan sebagai alibi untuk menatapnya sekali lagi.

“Karena kamu terlambat dua puluh lima menit, kamu dipersilakan mengikuti pelajaran saya, tapi tidak akan terdaftar dalam absensi kehadiran hari ini.”

Laki-laki berkemeja itu kemudian memanggul tas lalu kembali meninggalkan kelas. Aku dan yang lainnya tak mendengar permohonan apa pun terlontar darinya. Dengan dalih kebelet, aku berhasil menyusulnya keluar ruangan dan memanggilnya. “Kalau kamu nggak bisa ngerubah sesuatu yang udah kejadian, seenggaknya kamu perbaiki, dong.”

Ia menoleh ke belakang, dan, astaga, begitukah selalu caranya menatap orang asing? Dengan menautkan kedua alisnya?

“Kamu kan bisa minta maaf sama dosen dan-“ Menanggapi pernyataanku, ia hanya mengerutkan kening, menggumamkan sesuatu sebeum meninggalkanku. Sialan!

Bersama keenam senior lainnya, ia mengulang kelas bahasa Inggris di kelasku. Ketika dia mempertahankan posisinya; menatap lurus ke white board sementara teman di samping kanan dan kiri yang satu angkatan dengannya sibuk berdiskusi mengenai tugas essai yang diberikan pada pertemuan kedua kami, aku baru menyadari bahwa aku telah begitu detail mampu menganalisa sosoknya.

Rambutnya yang lebat dipangkas rapi, dengan model belah pinggir. Bibirnya yang tipis dan selalu terlihat kering –barangkali karena AC- itu tidak pernah kedapatan bersuara, sepadan dengan matanya yang tidak pernah membuka sempurna, sehingga selalu nampak memicing. Saking jelas gambaran tentangnya mampu kupaparkan, berarti tak terhitung lagi berapa kali aku mencuri-curi pandang ke arahnya di belakang. (Bila terlampau sering begitu, masihkah dikategorikan “curi-curi pandang”?) Namun tetap, ia bergeming. Even just roll his eyes at mine, no!

Selasa-selasa selanjutnya, aku seperti remaja kasmaran yang prihatin akan kesempatan yang kami miliki. Sepanjang durasi mata kuliah yang hanya berlangsung hampir dua jam, kami hanya dua orang asing yang duduk berjauhan tanpa membangun relasi dalam bentuk apapun, bayangkan!

Mungkin untuk menjadi sesuatu yang tidak penting baginya adalah bagian untukku, bukan pilihan. Pada titik itulah aku mulai menerima kenyataan bahwa maybe he’s totally straight dan tidak tertarik pada apa pun tentangku. Perlu kuinformasikan juga, setiap kali aku jatuh cinta, bukankah kemungkinan lelaki itu gay adalah nol koma sekian persen dari seratus?

Saat Miss.Nilu mengakhiri pelajaran, ia sempat mengumumkan bagi mereka yang belum memiliki buku General English bisa langsung menghubungiku, selaku KM kelas. Setahuku, hampir seisi kelas sudah membayar dan mendapatkan bukunya. Setelah itu, aku masih percaya bahwa aku sedang hidup di alam nyata –bukan sedang bermimpi- sampai ia –lelaki yang mengoleksi banyak sekali kemeja biru- memanggilku saat kelas sudah lengang dan aku merupakan orang terakhir yang hendak menutup pintu.

“Gue mau beli bukunya dong, Biyan.” Ia membuka resleting tas dan mengeluarkan dompet.

That was sexiest voice that somebody ever use to called my name. Sebenarnya aku agak kecewa kenapa perbincangan pertama kami sangat jauh dari motif romansa. Namun sesungguhnya, dengan kami menjalin dialog diimbuhi dengan kontak mata pun sudah menimbulkan kemungkinan gangguan tidurku nanti malam.

Dia menunda menjawab dengan membuka isi dompetnya. “Gue nggak megang cash, nih. Anter ke ATM bentar mau, nggak?”

Aku menengok arloji dan menggigit bibir bawahku supaya terlihat sedang menimbang. “Boleh, deh.”

“Kenapa? Buru-buru?” Kini giliran aku yang tak tahu bagaimana harus menjawab. Setelah itu aku mensejajari langkahnya menuju ATM yang terletak di gerbang kampus. Kebersamaan kami saat itu melahirkan beberapa pengetahuan baru tentangnya, termasuk Medan yang ia akui sebagai kota asalnya.

Barangkali juga beberapa hal tentangku, baginya.

Dia menyerahkan sejumlah uang untuk membayar buku, yang kususul dengan bertanya siapa namanya. Dia menjawab, “Rasyid.” Adegan saat ia menyebutkan namanya berputar berulang-ulang di kepalaku dalam gerakan slow motion.

R-a-s-y-i-d.

Bila tidak perlu mendata sebagai laporan untuk Miss.Nilu, aku memang merasa tidak perlu mencari tahu namanya. Bagiku, nama hanya penanda. Reaksi terhadap sesuatu akan membentuk identitas yang khas, kita bisa menanadainya dengan sebutan apa pun yang paling sesuai dengannya sehingga memudahkan kita untuk selalu mengingatnya. Sedangkan nama mudah sekali terlupakan.

Ia memelototkan matanya pada jalan raya yang begitu padat merayap, kemudian melirikku sambil bertanya apa aku yakin akan bergabung pulang dengan para pengendara yang jumlahnya seperti kawanan capung lincah yang mengantri di sepanjang jalan sebelum lampu merah. Kemudian ia juga yang menyarankan bagaimana bila kami menunggu jalanan lengang di library cafe sebelah kampus.

Semua yang dilakukan dan dikatakannya berurutan menjadi lanskap yang indah, dan keindahan macam itu bukan kesan yang biasa kunikmati sambil lalu. Keindahan itu otomatis tersimpan dalam suatu folder ingatan di kepalaku yang kemudian kubungkus rapi. Hingga suatu hari nanti, kapan pun itu, aku masih akan mengingat suaranya, saat ia mengatakan serangkaian kalimat tadi, mimiknya ketika menanti jawabanku atas penawarannya, caranya memasukan tangan ke dalam saku celana, dan saat ia menggosok hidungnya yang kelihatan gatal.

Setiap hal kecil tentangnya seperti bersatu padu membentuk gulungan arumanis yang kulumat lambat-lambat sebab tidak rela bila arumanis itu lekas habis. Keindahan itu terus berlanjut sampai ia mengomentari pancakeku yang kusisakan setengah. “Kamu makannya sedikit banget, sih. Habiskan, dong.”

“Kenapa kamu sebegitu perdulinya?”

“Memang nggak boleh?”

“Aneh aja.”

Dering iPhone di dalam tasku memotong percakapan kami. Ketika aku mencoba meraihnya, seluruh isi tasku berhamburan keluar, termasuk lembaran foto koleksi pribadiku. Aku mengangkat telepon sementara Rasyid memperhatikan foto-foto itu. Tidak sampai satu menit, aku menutup telepon dan beralih kembali padanya. Yang kini nampak telah siaga untuk melayangkan pertanyaan, “kenapa kamu memotret mereka semua?”

Kukembalikan pertanyaannya, “memangnya nggak boleh?”

“Orang-orang hanya memotret pemandangan yang nggak ingin mereka lupakan, Bi.”

“Aku cuma nggak tergolong dalam kelompok orang-orang itu. Nggak masalah, kan?”

Rasyid berusaha mencermati foto-foto itu. Matanya semakin terlihat memicing. “Nggak, sih. Tapi… kenapa harus foto-foto seperti ini?”

Kini foto berukuran 4R yang memuat beragam paras manusia dengan air mata yang mengundang simpati siapa pun yang melihat itu beralih ke tanganku.

“Tentu saja kita akan selalu ingin mengabadikan moment yang manis. Tapi nggak semuanya yang kita terima dalam hidup ini rasanya manis, kan? By seeing their tears, i wish i get courage to turn around and face the fucking truth, Syid.” Tampak seorang bocah perempuan dengan genangan air di matanya, aku ingat foto itu diambil saat ibunya dibopong karena pingsan saat hunian mereka digusur. Lalu ada lagi seorang waria yang kutemui di warung kopi menjelang pagi, dengan senang hati berpose dengan noda maskara yang luntur di pipinya. Bedaknya terkikis oleh keringat dan memunculkan jerawat yang semula ia coba tutup-tutupi. Setelah itu ia bertutur tentang seorang pria yang menyiksa saat menyetubuhinya. Kupikir, mereka dengan beragam masalah pribadinya yang begitu pelik saja masih dapat bertahan. Oh, sungguh hanya pecundang yang mengeluh. “Kuharap kamu nggak kemudian menganggapku psikopat dengan keberadaan foto-foto ini.”

“Semua ini beneran kamu sendiri yang memotret?” Pertanyaannya mengandung suara tinggi, yang hanya kutanggapi dengan anggukan. “Kukira kamu print dari internet. Kamu punya bakat dalam fotografi, tahu.”

Lalu lintas dari balik jendela yang terhampar di balik punggung kami mulai terlihat lancar seiring menyurutnya espresso dalam gelasnya dan mocktail stroberi milikku. Setelah kami masing-masing membayar, aku kemudian berpamitan untuk pulang dan kubilang sampai jumpa lagi hari selasa pekan depan. Namun sesaat setelah kubalikan badan dan menciptakan beberapa langkah, Rasyid kembali memanggilku sambil meyerahkan selembar jaket Adidasnya untuk kukenakan. Blazer hitam ketat yang kini tengah kukenakan dianggapnya terlalu tipis.

“Kapan-kapan, nggak keberatan kan kalau kamu mengajakku hunting foto?”

“Jadi atas alasan itu kamu menyogokku dengan jaket?”

“Apa kamu selalu berpikir negatif begitu?”

“Oke, kamu boleh ikut. Dengan satu syarat.”

“Katakan.”

“Berjanjilah untuk nggak bakal pernah merubah orientasi seksualmu.”

***

From : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Lagi apa?

In Reply To : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Di depan netbook, ngerjain tugas sambil melukin jaket yang ninggalin sisa wangi parfum kam…
[Automativally saved to draft.]
Lagi bosen. Kamu? [send]

From : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Bagus kalau gitu, aku juga lagi bosen. Supaya nggak bosen, enaknya kita ngapain, ya?

In Reply To : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Cium aku. Biarin aku hirup napas kamu kamu sampai sesak…
[Automativally saved to draft.]
Nggak tahu, tuh. Menurut kamu? [send]

From : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Ngopi asyik kali, ya?

In Reply To : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Iya, kali.
[send]

From : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Aku jemput kamu, ya?

In Reply To : Rasyid Shajim (+62856 247 933 xx)
Kenapa nggak dari tad…
[Automativally saved to draft.]
Boleh. [send]***

Hujan membuat satu-satunya penerangan dalam tenda bakso ini padam. Kukira orang akan berpikir dua kali untuk hujan-hujanan demi mendapatkan semangkuk bakso meski dengar-dengar bakso di Jl.Asia Afrika ini sangat legendaris. Jadilah kami merupakan pengunjung tunggal dengan semangkuk baksonya yang tinggal kuah dan milikku yang masih sisa setengah.

“Kebiasaan, deh. Makannya nggak abis.”

Acara makan bakso ini benar-benar di luar rencana. Kami diceriwisi gerimis tengah jalan. Perlahan bulir hujan membesar dan petir menggelegar. Opsi yang paling memungkinkan adalah dengan berteduh, dan tenda bakso ini opsi yang secara acak kami lewati.

“Bang, nambah satu lagi, ya?”

Kuhujamkan lirikan tak percaya ke arah Rasyid, “bisa nggak kamu jujur mengenai mahluk yang menghuni perutmu sekarang? Karena lazimnya cacing-cacing itu sudah kewalahan setelah menampung satu mangkuk saja.”

Ia terbahak. Itu tawa pertamanya yang kulihat selama kita pernah berjumpa. Bila kamu terlihat lebih tampan saat tertawa lepas seperti itu, bisakah besok-besok kamu menunjukannya lagi di kelas bahasa Inggris, Syid?

Dalam satu hentakan, kucengkram lengannya. “Apa kamu mencium aroma ini juga, Syid? Maksudku… bau hujan ini?” Kupejamkan mata sambil menghirup udara dengan rakus.

“Itu namanya petrichor,” kini Rasyid siap memberi penjelasan. “Tanah dan bebatuan menyerap minyak yang dikeluarkan oleh sejenis tanaman tertentu. Barangkali tanaman itu kini tumbuh di sekitar kita,” diedarkan pandangannya ke sekeliling. “Dan selama hujan turun, minyak tersebut dilepaskan ke udara dengan senyawa geosmin. Perpaduan itulah yang nimbulin aroma khas, yang kamu bilang bau hujan tadi.”

Aku mengangguk menanggapi kata-katanya yang agak sulit dicerna oleh otak. “Tapi dewa mitologi Yunani percaya bahwa minyak dalam tumbuhan itu mengalir juga dalam pembuluh darah mereka.”

Setelah mengantarkan mangkuk kedua untuk Rasyid, pemuda tadi kembali bergabung bersama teman-temannya yang sibuk mengutak-atik bohlam yang padam. Penerangan kami saat ini hanya sinar lampu yang dipancarkan kendaraan yang tengah melintas di samping kami. Oranye, kuning, merah. Sedangkan hitam malam semakin kental. Pekat.

“Istilah itu lahir tahun 1964 dari ilmuan asal Australia, Bear dan Thomas. Dalam artikel jurnal Nature,” imbuh Rasyid sambil mulai menyuap baso pada mangkuk keduanya. “By the way, tahu aja kamu makanan yang enak, Bi. Mantap, nih,” ia makan dengan lahap. “Mamaku yang dulu rajin buat bakso sendiri, rasanya khas. Bakso ini mengingatkanku pada bakso buatan mama.”

“Homesick nih, ceritanya? Someday kalau mampir ke Medan, boleh dong minta mamamu untuk masakin aku bakso?” Kusuap bulatan bakso terakhir kemudian mendorong mangkuknya pertanda selesai. “Atau biar kubantu deh mamamu nanti.”

“Mamaku meninggal karena kanker tiga tahun lalu, Bi. Itu yang bikin aku cuti dan terpaksa mengulang beberapa mata kuliah sekaligus sekarang.”

How can i explain this gloomy? Di tengah minimnya penerangan ini, Syid, aku masih bisa memergokimu menunduk. Maaf, bila tanpa sengaja aku telah menghilangkan selera makanmu yang semula menggebu dengan menyinggung soal mamamu. Aku berharap bisa memeluk dan mengusap punggung tanganmu. Membisikan telingamu bahwa kamu tak perlu khawatir, semua orang akan mati. Yang membedakan hanyalah cara kita menjalani kehidupan yang sedang kita miliki. Mamamu sudah menyelesaikan babaknya, kini giliranmu untuk melakoni bagianmu sebaik mungkin.

Tiba-tiba Blackberry milik Rasyid bergetar. Terpampang sebuah foto perempuan sedang tersenyum dengan nama Sayang sebagai panggilan masuk.

Seorang perempuan. Dan sebuah kata; Sayang. S a y a n g…

Rasyid mengangkatnya. Para pemuda tadi telah selesai membenarkan lampu, kini tenda kembali menyala. Mereka membuat beberapa lelucon dan tertawa. Namun entah bagaimana aku justru berusaha mencari-cari cara untuk kembali pada kegelapan beberapa saat lalu. Penerangan di dalam tenda ini justru membuatku rikuh. Terkuak lagi bayangan foto perempuan pada panggilan masuk ke ponsel Rasyid tadi. Kata Sayang yang diatur Rasyid sebagai sang pemanggil tadi. Hal itu menjelaskan sesuatu yang terpenting tentangmu, Rasyid. Mengenai siapa dirimu. Sayangnya aku tidak berharap untuk tahu.

Kamu menutup teleponnya dengan gusar. Kukira banyak sekali hal yang merusak moodmu sore ini. Hal itu membuatku sedih sebelum pada akhirnya kamu berujar, “cewekku udah kepergok selingkuh untuk ke sekian kalinya, masih aja ngelak, i guess it’s enough.”

Kuingin kamu tahu, Rasyid. Cinta lebih dari sekedar hasrat untuk memenuhi kebutuhan kepemilikan atas seseorang.

***

“Halo? Bi? Halo? Kamu di mana?”

Parau, aku menjawab, “cari tahu alamat yang udah kukirim lewat SMS tadi, Syid.”

“Kamu nggak apa-apa? Suaramu serak sekali.”

“Cepat, Syid. Aku butuh kamera. Tolong bawa kamera ponsel atau kamera digitalmu, ya. Kamu bilang kamu ingin kuajak memotret, kan?”

Kuharap Rasyid lekas datang. Darah yang mengalir dari hidungku hampir berhenti. Setelah raib notebook, dompet, dan iPhoneku dirampok segelintir pria berbau apak tadi pergi, aku masih dapat menelepon Rasyid melalui telepon genggam yang kutaruh di suatu tempat dalam tasku khusus untuk panggilan darurat. Saat ponselku yang lain habis batre, misalnya. Namun dari semua itu, memar dan lebam yang memenuhi sekujur tubuh ini membuatku merasa beruntung karena aku belum mati.

Perihal air mata, sengaja kutahan sampai Rasyid datang. Bukan berarti teriakan banci yang kuterima dari pria-pria tadi tidak membuatku ingin histeris menangis. Tapi aku terlanjur berjanji untuk mengajak Rasyid memotret.

Bila ia membocorkan rahasia asal usul petrichor dari segi mitologi Yunani, aku hendak mengajarinya sesuatu tentang air mata. Kebetulan saja pemotretan kali ini, aku yang akan menjadi objeknya.

Orang menganggap air mata adalah bentuk lain dari kelemahan. Padahal, dibutuhkan kekuatan yang tidak sedikit dalam mengungkapkan perasaan.

***

Kejadian itu membaringkanku di rumah sakit dan di atas kursi roda ini aku harus menghabiskan pagi di kantin rumah sakit ditemani Rasyid. Namun semua itu masih kalah buruk dengan sebuah kenyataan lain yang selama ini kusembunyikan.

Sesungguhnya, aku tidak meminum kopi. Kopi itu rasanya pahit, aku tidak suka. Pengalamanku mengunjungi ratusan kedai kopi hanya salah satu caraku membaca karakter manusia. Sebab seperti yang James dan Moore ungkapkan, takut meminum kopi karena alasan apa pun menandakan bahwa kita adalah seseorang yang tidak memiliki cukup keberanian menghadapi hidup.

Persis seperti keputusanku barusan, ketika kamu bilang kamu menyukaiku, Syid. Yang kemudian kutanggapi kamu dalam hati, bahwa aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak bisa membetotmu ke dalam jalan hidupku. You are basiclly straight, not gay. Don’t ever try to be.This is not that easy.

Cinta yang kita rasa ini barangkali tak bersyarat, Syid. Tetapi dunia memiliki konsep lain mengenai syarat suatu hubungan; yang hanya boleh dibangun oleh laki-laki dan perempuan.

Tapi jangan khawatir, Rasyid. Aku akan melakukan suatu muslihat pada sebuah celah dalam otakmu. Yang membuat kebersamaan kita ini akan menjelma serupa asap yang perlahan berarak di atas cangkirmu espressomu. Ya, semudah itu kamu akan melupakanku.

Omong-omong, begitukah rupamu Syid, bila suatu pagi aku terbangun di sampingmu, di atas ranjang kita? Lantas kapan wajah jelekmu akan gantian tampil bila sepagi ini pun wajahmu masih tampak memesona?

Kau tiba-tiba mencium bibirku yang tak kunjung menjawab. Aku telah memutuskan. Biar kukekalkan apa yang kita miliki hari ini, sebab esok tak’kan ada lagi.

Oh iya, mengenai buih kopi pada permukaan bibirmu itu, rupanya rasanya hambar, ya. Tapi kebahagiaan yang kurasakan ini serupa gula yang membuatnya terasa jauh lebih manis.

Hujan baru saja reda. Aroma pertichor menyeruak lagi. Maka ke depannya, setiap kali aku menghirupnya, ia akan hadir sepaket dengan kenangan yang sama. Kenangan tentangmu, juga tentang kita.

NB : Setelah hari itu, aku tidak lagi mengikuti kelas bahasa Inggris dan memindahkan jadwalku ke hari lain, dengan kelas lain…

SEKIAN

 

*Biasa disapa dengan nama Abi. Dia adalah seorang Creative Assistant di 87.7 Hardrock FM Bandung. Sapa Abi melalui emailnya di abiardianda@ymail.com

Bagikan