Oleh : Nikodemus Niko*
Suarakita.org – Cinta, lima huruf yang terangkai menjadi satu kata itu seringkali terucap oleh insan manusia. Mulai dari kalangan anak-anak muda hingga kalangan dewasa pun tidak terlepas dari pembicaraan dan bias cinta. Seribu makna yang terkandung bahkan tidak dapat mendeskripsikan arti cinta yang sesungguhnya, terkecuali dengan tidakan dan perbuatan. Versi cinta seringkali dimunculkan menjadi versi anak muda dan versi orang dewasa, padahal antara keduanya tidak memiliki pembedaan dalam bentuk apapun. Namun, klaim yang menuntut banyak perbedaan, pun akan kembali pada kesemulaan atas nama cinta.
Pernahkah kamu melihat seorang lelaki memeluk lelaki lainnya? Atau seorang perempuan mencium perempuan lainnya? Yang mana mereka lakukan mengatasnamakan cinta. Iya, begitulah adanya mereka sedang melakoni peran yang tidak banyak orang menyukainya, bahkan tidak diperbolehkan khususnya di Indonesia. Tidak mengherankan jika di beberapa negera bagian di Amerika sana ditemukan sebuah pesta pernikahan yang mana lelaki dengan lelaki lainnya atau perempuan dengan perempuan lainnya yang menjadi sepasang cinta yang baru itu. Salahkah? Tidak. Sama sekali tidak ada kesalahan atas nama cinta. Tabu kah? Jawabannya jelas iya, jika pesta pernikahan itu berlangsung di Indonesia.
Dalam setiap detik dan waktu yang terlewati, kita tidak pernah akan menyadari akan mecintai siapa. Yang jelas ibu dan bapak adalah hal utama terhormat atas nama cinta dan pengorbanan, tidakkah kita menyadari bahwa satu diantara ibu dan bapak kita memiliki jenis kelamin sama dengan kita, lalu salahkah kita yang mencintai mereka lebih? Tentu jawabannya adalah tidak. Tak pernah ada satupun alasan penghalang untuk mencintai, kepada siapapun itu. Dan tanpa memandang jenis kelamin apa pun. Julia Carter dalam tulisannya mengungkapkan bahwa; “Love is interesting sociologically for so many reasons. To start with, just the one word can represent so many different meanings and understandings: sexual love, intimate love, companionate love, romantic love, parental love, friendship love, inter-species love, love for places, belongings, views. It is a word that is used prolifically to mean so much, which means it is incredibly difficult to define and study.”
Salah satu representatif yang diungkapkan Carter adalah “sexual love” yang berarti adalah cinta atas simbol seksual, tidak ada penjelasan bahwa “harus” heteroseksual. Jadi dalam hal ini adalah cinta milik semua gender dan ekspresi seksualitas, yang berarti bahwa homoseksual, biseksual, transgender, queer, juga termasuk panseksual, aseksual dan lainnya memiliki hak sama dalam mencintai maupun dicintai, bukan hanya terpaku pada jenis heteroseksual saja. Banyak orang mengartikan cinta hanya sebatas pada kelamin semata (mengharuskan laki-laki—perempuan).
Dalam definisi lain Carter juga mendefinisikan cinta yaitu; “Love is interesting because it is everywhere and has a significant impact on our culture, society and lives, and yet we can know relatively little about what it actually means.” Sebagaimana cinta tidak hanya sebatas pada kesemuan kelamin semata, bahkan lebih dari itu, bagaimana kita mencintai budaya, masyarakat serta kehidupan ini. Hal ini lebih mengarah kepada bagaimana kontinuitas manusia—kita—sebagai manusia untuk lebih bersyukur atas nama cinta. Demikian pula negeri kecintaan kita ini memiliki budaya yang multikultur dalam kehidupan, hal ini lah yang lebih ditekankan dalam pemahaman cinta; bagaimana kita mencintai keberagaman itu sendiri, bukan justru berang.
Cinta juga sebuah anomali yang bersifat mutlak. Namun kemutlakan itu sendiri yang dapat menjadi bumerang magi manusia yang memuja cinta secara berlebihan. Carter berpendapat bahwa Love is not something we can ‘know’- we have to investigate how it is represented socially and culturally. Hal ini berarti tidak perlu lah mencari pembuktian atas dasar cinta itu sendiri, hal yang seharusnya kita lakukan adalah mencintai maka demikian pula kita akan dicintai. Adanya hubungan timbal balik cinta akan menjadi keberlanjutan peradaban manusia-manusia yang mencintai atas dasar kemanusiaan, bukan atas dasar label-label tertentu yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri.
Sociology of Love sendiri percaya akan lebih banyak cinta yang akan hadir di dunia ini apabila cinta itu diletakkan atas dasar kemanusiaan, sebagaimana manusia akan mencintai manusia lainnya; bukan dilihat dari jenis kelamin dan label lain, manusia akan mencintai lingkungan alamnya, manusia akan mencintai masyarakat atau lingkungan sosialnya; dimana tidak ada cinta yang egois. Namun pada kenyataannya, semua ini akan menjadi semu semata. Hanya ilusi jika seorang politikus mencintai rakyatnya, tanpa ada kepentingan dibalik telapak tangannya.
Misi perdamaian dunia tidak akan lepas dari konsep Sociology of Love ini, karena memiliki tujuan akhir dimana dunia akan berdamai dengan segala jenis dan bentuk se-isi-nya. Dimana tidak ada lagi diskriminasi dan perang, pun tidak ada lagi penindasan dan kebodohan. Semua manusia dipandang sama, yakni sama atas nama cinta pula. Mengapa cinta memiliki kekuatan sedemikian rupanya? Dalam hal ini Carter memaparkan; So why does love have such power? Whether a private emotion, organising institution, normative expression, commodity, societal glue or legitimating ideology, love is clearly an important concept to understand and interrogate in modern society. Dan saya pun meyakini bahwa cinta memiliki kekuatan luar biasa untuk menghantar manusia pada perdamaian dunia.
Keyakinan saya tentang “kekuatan cinta” adalah ketika manusia-manusia bumi ini menyadari bentuk mencinta dan dicinta secara adil. Dimana banyaknya ketimpangan yang terjadi saat ini dikarenakan ketidakadilan atas dasar apapun; penindasan, pemiskinan, pembodohan, dan banyak hal lain. Tidak akan ada manusia di bumi ini yang miskin jika tidak dimiskinkan, tidak ada manusia di bumi ini yang bodoh jika tidak dibodohkan, semua adalah ulah manusia-manusia itu sendiri. Dimana terjadi ketidakseimbangan antara cinta dengan manusia, dan kemudianb yang terjadi adalah cinta yang egois.
Tidak mengejutkan jika di Indonesia masih banyak orang-orang miskin di pinggiran kota, dan pedalaman pedesaan, mereka yang kekurangan makan dan sandang. Pun tidak heran jika terdapat konglomerat yang memiliki pesawat helikopter, sepluh mobil bahkan lebih, serta rumah mewah bagai istana. Tentu mereka akan berpikir sepuluh kali sepuluh kali untuk menyumbangkan sebagian hartanya untuk orang miskin agar tidak kelaparan, toh pada kenyataannya mereka yang miskin tetap berada hidup pada garis kemiskinan. Menghandalkan program-program pemerintah? Bahkan di banyak kasus, program yang seharusnya diperuntukkan kepada rakyat miskin menjadi proyek untuk memperkaya diri sendiri. Mereka tidak akan mau berbagi, takut akan kehilangan hartanya walau sedikit. Hal inilah yang menciptakan strata antara si miskin dan si kaya.
Tidak mengherankan jika di wilayah daratan Afrika sana, masih banyak mereka yang meninggal karena kelaparan. Hal ini karena si kaya tidak mau berbagi, cinta yang diletakkan hanya semu belaka, jika pun si kaya melakukan sumbangan bukan atas dasar kemanusiaan, melainkan kepentingan-kepentingan yang tidak dapat terdefinisikan oleh siapapun selain dirinya sendiri. Restivo dalam tulisannya yang berjudul “An Evolutionary Sociology of Love” mengungkapkan bahwa the humanistic conception of love has roots in the Platonic idea of love as the foundation of virtue. Jadi sangat jelas sekali bahwa cinta sesungguhnya berlandaskan kepada asas humanis, apabila yang berlandaskan kepentingan itu bukan cinta.
Demikian pula cinta sejenis, dimana terdapat dua lelaki yang saling mencintai, atau dua perempuan yang saling mencintai, jika hal itu dianggap melanggar dan tidak pantas berarti cinta masih diletakkan atas dasar keegoisan. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang tidak melabelkan segala jenis apapun dari apa yang kita cintai. Cinta yang egois adalah cinta yang melekatkan label jenis kelamin, agama, suku, ras, atau berbagai macam lainnya. Di Indonesia hal ini masih merupakan tabu besar yang tidak diterima masyarakat atas dasar label tertentu; agama.
Tidak bisakah masyarakat melihat aktivitas cinta sejenis bukan dari sisi seksual semata? Sehingga banyak klaim bahwa cinta sejenis merupakan praktik pornografi. Logika yang salah akan memperburuk dengan melabelkannya dari perspektif agama, dengan banyak sekali dalih-dalih. Apabila kita melihat adanya hubungan sejenis ini dari perspektif cinta yang humanis, maka tidak akan ada lagi penindasan dan diskriminasi yang mengatasnamakan cinta pada label tertentu. Dan lagi, antara manusia satu dengan yang lainnya selalu saja bersikap menghakimi.
Albert Einstein pernah menuliskan perdebatannya dengan seorang profesor yang Atheis, bahwasannya “Tuhan tidak menciptakan kejahatan, kejahatan adalah hasil dari seseorang yang tidak mempunyai rasa cinta dari Tuhan.” Saya sependapat dengan Einstein dalam hal ini, Tuhan tidak pernah meletakkan dasar kejahatan dalam segala apapun apalagi ke dalam cinta. Dalam cinta seharusnya tidak ada lagi kekerasan, kejahatan, kelaparan, kemiskinan, perang, diskriminasi, dan banyak krisis kemanusiaan yang terjadi di segala penjuru bumi ini. Saya berkeyakinan bahwa Tuhan tidak akan mengutuk sebuah cinta yang murni dan tulus, meski itu terjadi antara cinta sejenis sekalipun. Konsep “cinta terlarang” yang sudah melekat dalam kultur masyarakat kita lah yang membuat sekat yang mengatasnamakan Tuhan.
Sosiolog asal Indonesia Pitirim Sorokin dalam salah satu tulisannya di jurnal Humanistic Sociology, New York yang mengemukakan konsep “the power of creative love” diilustrasikan; (1) stop aggression and enmity, (2) promote vitality and longevity, (3) restore health and well-being, (4) support social movements, (5) foster individual growth, and (6) generate more love: love begets love, and hate begets hate. Dalam konsep cinta yang kreatif ini melahirkan sesuatu yang dianggap baru, padahal demikianlah semestinya suatu cinta. Dalam penegasannya bahwa cinta memang sudah sewajarnya mengandung konsep creative love, friendship, nonviolence, dan nonaggression. Konsep cinta menurut Pitirim ini kurang lebih dengan konsep cinta menurut Restivo yang menekankan kepada cinta yang humanis, justru tidak ada sangkut paut-nya sama sekali dengan organ seksual.
*Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Padjajaran