Oleh: Wida Puspitosari
Suarakita.org – Coming out of the closet, atau biasa disebut figure of speech yang diutarakan oleh kelompok lesbian, gay, biseksual, panseksual, transgender dan aseksual (LGBTQ+) sebagai ungkapan keterbukaan atas orientasi seksual atau identitas gender dewasa ini menjadi diskursus yang ramai diperbincangkan. Sering dikerangkakan dan diperdebatkan sebagai isu privasi, coming out of the closet dinarasikan dan dialami secara variatif sebagai perjalanan psikologis seseorang; sebuah decision making; strategi atau rencana; pembebasan dan emansipasi.
Kendati demikian, hal penting yang patut kita garis-bawahi mengenai perbedaan konsep coming out sebenarnya mengacu pada usangnya definisi mainstream yang merujuk pada tujuan sosial seseorang yang didasarkan pada identitas seksual semata. Pertama-tama, seseorang melakukan coming out untuk dirinya sendiri yang ditandai sebagai terbangunnya perkembangan identitas, beberapa mengaku tidak berkenan untuk memberitahu orang lain mengenai orientasi seksualnya, karena pada tahap ini mereka hanya ingin mengenali dirinya. Jenis coming out ini dijabarkan sebagai cara seseorang memperlajari sesuatu yang baru menyoal identitasnya. Kedua, seseorang melakukan coming out atas dasar hak asasi dan memilih pada siapa saja mereka ingin terbuka perihal orientasi sesksualnya. Decision making ini akan terus berdinamika di sepanjang jenjang hidupnya, khususnya ketika seseorang memulai pekerjaan atau menemukan teman-teman baru – karena seseorang akan senantiasa mempertimbangkan konsekuensi terberat atas tindakan coming out-nya, misal: kehilangan pekerjaan, labelisasi atau kehilangan dukungan emosional. Hal tersebut sudah semestinya dijadikan alasan asasi yang patut dihormati ketimbang meliyankan mereka. Jenis coming out ini mengacu pada keputusan sosial seseorang untuk memberitahu identitasnya pada orang yang mereka kenali saja. Ketiga, seseorang memilih mendeklarasikan secara terbuka orientasi seksualnya pada kelompok lain sebagai tindakan aktivisme politis. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai upaya penegasan diri atau kelompok internalnya, namun lebih sebagai penanda agar identitasnya nampak di permukaan guna mengedukasi publik yang memiliki tujuan sama. Jenis coming out ini merupakan usaha advokasi untuk agenda kesamaan hak dan sensitivitas kultural.
Penjabaran atas coming out di atas pada akhirnya mengantarkan redaksi Suara Kita pada sosok Key (22) yang berdaulat sebagai mahasiswa tingkat akhir di sebuah kampus di kota Malang. Key mulai mengidentifikasi dirinya sebagai gay sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mula-mula ketertarikannya pada sesama lelaki muncul ketika ia mulai tidak nyaman menjalin hubungan dengan perempuan. Ketidaknyamanan inilah yang kemudian memantik dirinya untuk mengenali diri dan preferensi seksualnya. Ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama, perjalanan cinta dengan pasangan sejenisnya semakin memberikan ruang pada Key untuk memahami ekspresi seksual dan kebertubuhan.
Pengetahuan akan kompleksitas seksualitas dan perjumpaan dengan sesama kelompok LGBTQ+ di ranah kampus (walau masih tertutup) kian menjadikan Key sebagai pribadi yang berwawasan luas, ber-ide cemerlang dan mempertimbangkan banyak dimensi, termasuk kapan dan pada siapa saja ia melakukan coming out. Sebagaimana diskursus mengenai coming out yang telah disadur di atas, dalam kacatama Key, ditemukan pada jenis yang kedua. Walau coming out akhir-akhir ini dipandang sebagai instrumen untuk menunjukkan intensi seseorang atas ekpresi gender dan orientasi seksual, Key berpendapat jika sebelum seseorang melakukan coming out, baiknya memupuk pengetahuan terlebih dahulu, sekalipun dengan cara yang sederhana. Pertimbangan ini tidak semata-mata ia dasarkan pada problematika eksklusifitas dan kapasitas seseorang untuk melakukannya – namun lebih pada cara kita dalam melihat iklim sosial sebagai fakta atau realita. Melakukan coming out di tengah masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh heteronormativitas bukanlah perkara mudah – dan ini adalah realita. Pada redaksi Suara Kita, Key sendiri mengaku jika ia telah melakukan coming out, baik secara langsung maupun tidak langsung pada teman-teman terdekat (di kampus maupun media sosial), tetapi masih tertutup pada keluarga.
“Pada teman-teman terdekat sebenarnya saya sudah coming out. Cara paling sederhananya ialah melalui mengunggah tautan-tautan yang bersangkut paut dengan isu LGBTQ+ pada laman media sosial saya. Contohnya ketika Amerika melegalisasikan pernikahan sejenis dan bullying terhadap kelompok LGBTQ+ akhir-akhir ini – dimana saya mengikut sertakan juga pandangan saya terhadapnya. Namun pada orang tua sendiri saya masih belum bisa coming out karena alasan stigma pendosa dan tabu. Kita tahu hidup di Indonesia sebagai gay tidaklah mudah. Saya harus mempertimbangkan banyak hal untuk dapat terbuka pada keluarga dan tentunya orang banyak,” tutur Key dalam bahasa Inggris agar pembicaraan dengan redaksi Suara Kita tidak dapat ditangkap oleh anggota keluarga di kediamannya.
Ketika redaksi Suara Kita menanyakan alasan yang membuat Key harus mempertimbangkan dimensi kompleks dalam melakukan coming out pada keluarga dan orang banyak, ia menegaskan dengan jujur jika dirinya sama sekali belum memiliki sumber daya, baik material maupun non material yang mapan.
“Di Indonesia, kesepakatan umum tentang tanda biologis yang dicerminkan melalui kelamin laki-laki dan perempuan telah membawa dua dimensi ini pada ketimpangan peran yang sekarang berdampak pada situasi yang tidak adil bagi kelompok LGBTQ+. Tentu saja hal ini merambah pada bagaimana cara keluarga saya dan kebanyakan orang memandang queer. Suatu saat nanti saya akan terbuka dengan orientasi seksual saya pada keluarga dan orang banyak ketika saya sudah berhasil menjadi ‘orang’. Bisa jadi setelah saya mendapatkan pekerjaan dan modal yang mapan. Untuk saat ini saya akan masih banyak menimba pengetahuan melalui media apa saja. Jika kita mau, apalagi sekarang sudah jaman digital, di YouTube banyak sekali pengetahuan-pengetahuan tentang isu queer yang disebar secara gratis, termasuk pertimbangan-pertimbangan kompleks untuk coming out. Kita dapat menimbanya sembari mengumpulkan sumber daya dan memantaskan diri secara sosial dan ekonomi agar kelak ketika coming out di depan keluarga dan orang banyak, dialektika dapat diminimalisir. Sulit memang, tapi inilah kenyataan yang ada di masyarakat kita.”
Sore itu, ditemani hujan rintik-rintik, wawancara redaksi Suara Kita bersama Key ditutup dengan data wawancara yang sungguh menginspirasi. Coming out memanglah perihal hak asasi, namun bagi Key, kebanggaannya sebagai salah seorang yang termasuk dalam kelompok LGBTQ+ tidak dapat semata-mata diumbar begitu saja. Ia memandang realitas sosial, heteronormativitas adalah realita sosial. Memupuk pengetahuan sebelum coming out bukanlah langkah yang benar maupun salah – tetapi langkah yang penting. Dengan demikian Key adalah potret anak muda yang dapat memberikan kita gagasan seksualitas yang kompleks, melihat dimensi yang bersembunyi dibalik dimensi. Merayau batas-batas tapi tak begitu saja lepas. Mari kita hargai.