Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org – Hiruk pikuk anti LGBT nyaris tak terdengar di sebuah desa kecil di Kabupaten Bogor. Setidaknya kesan itu yang ditangkap oleh tim redaksi Suara Kita ketika berkunjung di rumah Jane Katleya, seorang transgender dalam kisah Suara Kita kali ini.
Perjalanan dari Jakarta ke Bogor yang menempuh waktu perjalanan sekitar 4 jam dan cukup melelahkan, akhirnya terbayar karena Tim Redaksi Suara Kita bertemu Jane Katleya dan keramahan keluarganya.
Jane Katleya, lahir 44 tahun adalah seorang transgender yang berprofesi sebagai penata rias pengantin dan mempunyai bisnis persewaan alat-alat pesta yang terbilang sukses di desanya. Pilihan profesi sebagai penata rias pengantin yang dipilih, menurutnya karena dia senang dandan dan membuat orang lain menjadi cantik.
Jane Katleya dilahirkan berjenis kelamin laki-laki. Namun, seiring berjalannya waktu sifat dan watak Jane yang feminim mulai menonjol dan dirasakan ganjil oleh ibunya. Seperti masyarakat pada umumnya Ibu kandung Jane pun berharap anak laki-lakinya bersikap maskulin (tegas, gagah dan kuat). Dan selalu mengingatkan Jane sebagai anak laki-laki untuk tidak bersikap kemayu.
Bermula ketika Jane remaja berangkat kerja dan memakai bedak muka. Si ibu keheranan dan mengingatkan bahwa tidak baik laki-laki memakai bedak. Tapi peringatan si Ibu dijawab oleh Jane remaja dengan santai, yakni agar mukanya tidak berminyak katanya. Ketika Jane memanjangkan rambutnya, si Ibupun berkata tak baik laki-laki berambut panjang. Jane menunjukkan perubahan sifatnya yang feminim secara bertahap dan tidak frontal. Sehingga tidak mengagetkan pihak keluarga terutama ibunya.
“Mungkin karena sejak remaja saya adalah tulang punggung keluarga, maka Ibu tidak terlalu marah dengan penampilan dan perubahan saya,” seloroh Jane.
Berbeda dengan Ibu yang mengikuti perubahan sikap dan watak Jane yang feminim, adik perempuan Jane yang bernama Nunung menyatakan bahwa seingatnya Jane sudah waria sejak kecil.
“Saya mengetahui kak Jane sudah seperti itu. Jadi tidak merasa aneh dan kaget dengan keberadaan kak Jane,” tutur Nunung dalam bahasa Sunda.
Hal ini dikarenakan Nunung adalah adik satu ibu beda bapak dengan Jane Katleya dan usianya terpaut jauh hampir 9 tahun. Demikianlah Nunung yang merupakan adik sekaligus asisten rias Jane dalam bisnis Tata Rias Penganten menganggap bahwa selama ini kebutuhan keluarganya banyak dibantu oleh Jane Katleya.
“Kak Jane orangnya baik, jadi orang-orang di sini juga tidak masalah. Berbeda kalau kak Jane orangnya pemarah dan suka berbuat aneh-aneh mungkin Kak Jane tidak diterima oleh orang sini,” lanjut Nunung.
Nunung mengenal Jane sejak kecil sudah demikian adanya (seorang waria), tetapi tetap saja dia dihantui rasa penasaran. Sehingga suatu saat dia bertanya kepada guru ngajinya. Nunung pun merasa tenang ketika mendengar jawaban guru ngajinya bahwa kaum waria sudah ada sejak dahulu kala. Sehingga atas dasar keberadaan merekalah maka para ulama menetapkan tata cara beribadah seperti solat, wudlu dan ibadah lainnya bagi para waria. Sementara pertanyaan apakah ibadah meraka (kaum waria) diterima atau tidak oleh Allah SWT. Menurut guru ngaji Nunung, yang berhak menilai diterima atau tidak amal ibadah seseorang termasuk kaum waria hanyalah Allah SWT saja.
Walaupun sukses berkarier, namun naluri keibuan Jane Katleya tetap kuat. Dia mengadopsi seorang anak yang ibunya meninggal ketika si jabang bayi dilahirkan. Si cantik dan mungil yang menggelayut dalam gendongan Jane ketika Tim Redaksi berkunjung tersebut bernama Nazwa Katleya. Sebagaimana masa kecilnya, Jane-pun mengajarkan Nazwa untuk belajar ngaji setiap sore hari kepada Bu Yoyoh.
“Jane, dulu ngaji membaca Alquran dan Fikih. Walaupun tidak sampai Khatam 30 Juz, tetapi dia pinter ngajinya dan sudah sampai beberapa Juz. Setiap Rabu malam dulu saya juga mengajarkan Fikih yakni bagaimana cara Sholat, Wudlu, dan praktek-praktek ibadah sederhana, dan Jane juga ikut belajar.” Kenang Ibu Yoyoh.
Dalam hal membantu sesama, Ibu Yoyoh menceritakan bahwa Jane bersedekah dua kali atau lebih dalam setahun. Terutama di bulan Muharram yang merupakan bulan baik untuk bersedekah kepada anak yatim piatu dan para janda, Jane Katleya seringkali berbagi dengan mereka.
Ketika ditanya pendapatnya tentang keberadaan Jane Katleya yang waria, ibu Yoyoh menjawab, “Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya, dan tugas manusia adalah menjalankan kewajibannya sebagai manusia. Sedangkan soal diterima tidaknya amal ibadah seseorang itu urusan Tuhan. Sehingga tidak ada seorangpun manusia yang berhak menilainya.”
Jane Katleya tersenyum mengenang bahwa dulu dia kecilnya ngaji dan sholat bersarung sebelum memakai mukena seperti sekarang. Jane akhirnya berkeputusan memakai jilbab dan sejak saat itulah dia menanggalkan sarungnya ketika sholat.
Jane Katleya dan Nunung mengenang kisah tak terlupakan bersama ibu mereka. Ceritanya, Sang Ibu pengen sekali melihat Gunung Tangkuban Perahu. Berangkatlah Jane, Nunung dan Ibunya ke Gunung Tangkuban Perahu menyewa sebuah mobil. Jika perjalanan melalui tol, akan sampai ke Tangkuban Perahu sore hari. Sayangnya si sopir mengambil jalan dari desa ke desa. Walhasil, mereka sampai ke tujuan sudah malam dan gelap. Pulanglah mereka dengan kecewa karena tak berhasil meluluskan keinginan Ibu.