Search
Close this search box.

[Cerpen] Our Voice

Oleh: Himas Nur*

Suarakita.org – 20:21

Kebebasan

Tiga tahun sudah lembaga ini berdiri. Dan belum ada yang berubah hingga kini. Dunia masih tetap sama. Menjadi seragam ialah kemutlakan. Ya, rasa-rasanya seperti itu. Dan memang seperti itu yang menjadi semestinya.

Namaku lelaki. Setidaknya itu yang dihadiahkan orang-orang padaku. Nama ialah doa. Menjadi tangguh dan pemberani. Gagah dan superior. Segalanya begitu melekat, erat sejak mataku menghirup dunia. Dunia yang membiakkan pendoa-(tak ubahnya)-pendosa.

Tak ada yang ingin dilahirkan sebagai seorang sundal. Namun sungguh kelewat tajam. Sunyi menjadi kian yang tak berkesudahan. Dan jejalan menjelma harapan yang digantung diatas langit. Seketika orang-orang begitu pandai memanen bibir. Menetaskan kata ,yang sejatinya begitu suci, dan menganakpinak kebencian, pada segala yang semestinya tak. Katakata berkeliaran mencari arti. Namun seringai menghadang apa saja yang tak menyeragam, hingga kini.

Makin kusadari bahwa bebal kelewat hingga. Kepala-kepala penuh sesak dengan kitab-kitab yang tak ditelusur muaranya. Maka cacian dan makian yang keluar, merupa surga yang  ditanam sendiri. Membuat lubang sedemikian besar di dada. Ingatan pada tuhan, rupanya buat alpa pada sesama.

Aku menulis. Dan segalanya menjadi lebih baik setelahnya. Bagai cermin yang merefleksikan kebenaran. Utuh menjadikanku. Aksara menuntunku. Aku menemu ruang dalam diriku. Sembunyi di sudutsudut paling nisbi. Ruang yang kuisi dengan beragam ekspresi. Yang sebelumnya tak kuketahui namanya satusatu. Ruang yang kini kuamini dengan sempurna.

Maka sudah aku cukupi dengan segera. Jadilah tanya njelma merpati yang mengangkasa. Aku bebas. Kuyakinkan ini sebagai identitas.

Adalah rumah yang kugenggam selama tiga tahun ini. Tempatku meneduh dari satu dan pelbagai lainnya. Rasa-rasanya bukanlah darah yang menenun ikatan. Sebab segala yang (dulu) kukenal lebih memilih menjadi pendoa. Dan aku yang memilih terlahir sebagai sundal. Sebab kata ialah milik manusia saja. Sementara rasa ialah milik sesiapa saja.

Aku jadi makin sering menulis. Aku menulis untuk rumah dimana pintunya terbuka bagi siapa saja yang memiliki pemikiran terbuka. Aksaraku ialah cermin yang memantulkan refleksi diri yang memandangnya. Dunia bagi setiap mata yang dipandang sebelah.

Kini tiga tahun sudah, sejak aku bertemu dia. Seorang yang mempertemukanku dengan ruang dalam diriku. Dia merupa cermin yang darinya segala keyakinan kutemu. Gaun biru langit pemberiannya menjadi petanda. Inilah diriku yang seutuhnya.

21:22

Keyakinan 

Tiga tahun sudah lembaga ini berdiri. Ah. Waktu memang kelewat terlalu. Meninggalkan jejalan yang masih bekas dilumur jejak. Berlalu pada keheningan dan kedamaian yang melulu. Lantas tiba-tiba saja kita memutih dan menua.

Namaku perempuan. Begitu orang-orang menamaiku. Tepat sejak bidan rumah sakit menemukan lubang berbau musim penghujan pada ruang di sela kedua kaki mungilku. Konon, disitulah tempat surga bermuara. Sumur penghidupan.

Bersama kakak, ayah, dan paman, mendewasa aku kemudian. Ah, ya. Tentu saja aku dilahirkan dari rahim seseorang juga. Dia lebih seperti sejarah, bila tak layak disebut sebagai mitos. Ingatan manusia siapa yang bisa menahan. Seiring waktu yang berjalan maju ke depan, kenangan mengeropos jauh ke belakang.

Yang kuingat dari sosok berwujud ibu tinggallah laut dan rasa asinnya. Kala itu lima tahun menggenap di usiaku. Hari dimana ulangtahunku dirayakan untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya. Makin kesini, baru aku makin menyadari. Itulah salam perpisahan darinya. Ah. Namun aku tak yakin benar, ini lebih seperti berimajinasi ketimbang mengenang ingatan.

Tiap hari kurasai ada yang makin menggemuruh dalam tubuhku. Bagai lintasan arena balap, lekukan tubuhku semakin tajam saja. Kurasai dadaku juga makin menggelembung. Kusadari aku berbeda. Aku bukanlah kakak, ayah, dan paman. Aku adalah orang yang meminjamkan rahimnya untuk mengeluarkanku. Aku adalah orang yang selama ini kuanggap sebagai mitos.

Sampai suatu siang membukakan tirainya padaku. Menuntunku pada tabir jawaban yang rasanya terik sungguh. Kala itu hari minggu. Semuanya sedang bersantai saat tiba-tiba paman mendatangiku. Segalanya terjadi begitu cepat. Kakak melihat dan tak kuasa menahannya. Tubuhku ditindih untuk kedua kalinya. Sampai saat itu, aku masih bisa bertahan.

Rupanya aku hidup dengan kenaifan. Tak kusangka bahwa kebenaran haruslah menyakitkan. Maka perih semakin menjadi, ketika yang kusebut sebagai ayah, turut menikmatiku. Mengoyakku beragam hingga. Tepat di dalam sini. Tepat di rongga dada ini. Sekali, dua kali, tiga kali….

Ya, menjadi perempuan adalah perjuangan. Maka kumezbahkan diriku menjadi seutuhnya perempuan. Biarlah aku menjadi Maria. Perempuan suci yang mengandung masa depan. Seperti yang ibuku lakukan. Ya, ibuku.

Kini tiga tahun sudah sejak perempuan mungilku menjelma reinkarnasi hidupku. Tiga tahun pula sejak aku bertemu dia. Seorang yang membukakan mata bahwa aku tak sendiri, kisahku bukanlah satu-satunya. Seorang yang menyilakan rumah bagi segala keadilan menyuara. Seorang dimana segalaku berpulang padanya. Percayaku dan juga hatiku. Seorang yang meyakinkanku bahwa cinta ialah milik siapa saja. Seorang yang benar-benar berjalan bersamaku. Seorang perempuan.

22:23

Kemenangan

Tiga tahun sudah lembaga ini berdiri. Tiga tahun pula diri saya makin menegak berdiri. Benar bila kemenangan lahir setelah melihat kekuatan yang kau miliki. Dan yang pertama ialah kau harus masuk ke dalam. Cobalah berkenalan dan mengenali dirimu sendiri.

Nama saya lelaki. Dan saya memang sepenuhnya seorang lelaki. Menjadi merdeka ialah kewajiban setiap manusia. Bukan hak, bukan pula pemberian. Merdeka ialah kemutlakan. Namun kian hari, saya sadari bahwa kemerdekaan rupanya tak sungguh-sungguh berpihak pada kami.

Saat itu jam istirahat. Saya hendak ke kantin setelah lelah bermain basket. Dan saya melihatnya, berjalan melawan arah. Untuk kesekian kalinya, dada ini begitu riuh menggemuruh. Ada yang berdesir pelan sampai ke ufuk sukma, tiap Bang Andre bertatap pandang dengan saya. Sejak saat itulah saya menemukan kemenangan.

Tentu saja, ada yang tak senang bila orang lain memeroleh kemenangan. Pun dengan teman-teman, guru, dan tetangga. Namun, tidakkah mereka bukanlah orang lain bagi saya? Sungguh saya tak habis pikir. Bukan ucapan selamat, doa, terlebih hadiah karena saya memeroleh kemenangan. Namun justru umpatan, makian, hujatan dan rangkaian kebencian yang saya dapat atas hasil kemenangan saya. Bahkan papi sekalipun. Sementara mami hanya bisa menangis. Mereka kecewa. Mereka malu. Saya tahu itu. Maka saya memutuskan untuk merayakan kemenangan saya sendiri.

Menjadi terasing dan terbuang. Berlabel laknat dan pemberontak. Kami semacam entah yang terberai. Sampai saya menemukan rumah dimana pintunya selalu terbuka untuk siapa saja. Tiga tahun sudah, sejak saya merawat rumah ini beserta apa yang ada didalamnya, termasuk kemenangan saya. Tiga tahun sudah, sejak saya bertemu dia. Seorang yang menyilakan saya untuk selalu merawat rumah ini. Seorang yang meyakinkan saya, bahwa Tuhan itu nyata.

23:24

Kebahagiaan

Tiga tahun yang lalu sejak aku bertemu dengan beberapa kawan. Mereka, dengan latar kisah yang berbeda-beda, mengajariku tentang kebahagiaan. Bersama mereka, kemudian aku membangun impian. Orang-orang menyebutnya sebagai lembaga, namun kami lebih nyaman menamainya rumah. Didalamnya kami isi aneka hingga. Kebebasan, keyakinan, kemenangan, dan kebahagiaan tentu saja.

Kami menulis. Kami melukis. Kami membuat film. Kami mendesain pakaian. Kami mengamen. Kami berorasi. Kami melakukan apa saja seperti yang orang-orang juga lakukan. Kami melakukan apa saja untuk kematian diskriminasi. Kami melakukan apa saja demi sebuah pengharapan; keadilan.

Ah, ya. Perkenalkan, namaku manusia. Sebab aku dilahirkan dari rahim kebebasan. Bagiku perempuan dan lelaki adalah sama saja. Reduksi yang diterima oleh budaya stigma dan stereotip, membuat keduanya terpisah pada moda dikotomi aktif dan pasif. Toh lagipula identitas seksual sangat sempit bila terlegitimasi menjadi sebatas dua macam saja. Pada lelaki kekuasaan diberikan.

Pada perempuan properti dititipkan. Pada minoritas seksual, kejijikan dan segala pelengkap dosa disematkan. Uh.

Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Kisah hidupkupun berjalan seperti orang-orang pada umumnya. Tak ada yang istimewa, tidak sampai aku bertemu mereka, dan aku melihat dunia. Dunia yang penuh dengan kebencian. Aku melihat bahwa semua orang memakai topeng. Beragam topeng dengan beragam merek. Berjalan lurus, teratur, serta sangat hati-hati. Linier dan sistematis. Aku melihat dunia, dan aku melihat kehampaan yang sesungguhnya.

Kita semua lahir dalam keadaan bebas dan setara. Bullshit!. Segala tentang negeri ini ialah kenaifan dan kemunafikan. Ah, ya ya ya, negeri ini. Negeri dimana harga diri mampu bersanding mesra dengan hipokrisi. Negeri dimana pejabat dan penjahat adalah sama saja. Negeri dimana mayor dan minor ialah dua kutub yang selamanya tak dapat disatukan. Ya, negeri dimana toleransi menjadi barang kadaluwarsa.

Demikianlah,  keadilan sosial rupa-rupanya  dicetak dan dipublikasikan dengan menggunakan seksualitas sebagai alat kontrol. Seksualitas yang sifatnya given, terberi dan asasi disamakan dengan kelakuan sundal dan tercela. Ketidakadilan dalam kebebasan dipasung dengan kategori gagap “normal versus abnormal”.

Pada abnormalitas fisik, seperti difabilitas, kejijikan tak begitu menjadi alat penyerang. Tetapi terhadap seksualitas, penanda kejijikan dan laku dosa memperparah stigma, stereotip dan ketidakadilan.

Namun rumah kami berbeda. Kami melihat melalui dada sebelah kiri, setidaknya itu usaha kami hingga kini. Kami bersuara. Untuk segala ras, etnik, budaya, asal-usul, umur, jenis kelamin, kelahiran, status pernikahan, agama, kepercayaan, bahasa, difabilitas, gender, identitas, serta orientasi seksual.

Bagi kami, kesetaraan antarmanusia, mau tidak mau, harus dimulai dari kesetaraan seksual. Dan  kesetaraan seksual merupakan salah satu penanda utama dalam spirit kebebasan yang adil dan memerdekakan. Ya, pada akhirnya, lagi-lagi yang kami punya ialah harapan. Namun bagi kami, itu lebih dari cukup.

00:01

Kebermulaan

Untuk sepersekian detik, hening menjadi raja. Lilin padam kemudian. Bersamaan dengan doa yang dilarung malam. Perayaan menjelma panjang umur nan sakral. Segalanya merupa bahwa yang berpetanda; setidaknya semua akan baik-baik saja.

Tiga tahun sudah, sejak Our Voice ialah rumah bagi segala kehidupan-penghidupan.

 

*Himas Nur lahir di Semarang, 2 Desember 1995. Menulis puisi, esai, dan skenario film pendek. Penyumbang suara dan lirik dalam grup musik-puisi Tekstu[r]al. Bianglala, Komidi Putar, dan Negeri Dongeng [2013] ialah antologi puisi tunggal perdananya.

Bagikan