Search
Close this search box.

[Cerpen] Joyeux Anniversaire

Dari jendela apartemen, ada sepasang mata yang sedang membaca puisi yang tersembunyi dalam aliran darahnya.

Matanya ikut berdarah, namun manusia tak bisa melihat darahnya

Oleh: Wida Puspitosari

Suarakita.org – Paris malam ini seperti kota yang nyaris kelelahan. Fantasi tentang tubuh-tubuh yang haus akan penaklukan tubuh-tubuh lain laiknya putau yang menggoda untuk dihisap. Lalu, satu ruangan berukuran tiga kali empat di apartemen ini mendadak jadi bejana yang siap menampung sperma, lendir sekaligus kesedihan yang otentik. Laku-laku manusia yang mengaku menanggung akalnya sendiri ada yang ditemukan lumpuh dihajar sepi. Siapa aku, kau dan mereka? Kita adalah dua anak semesta yang memerankan lakon roman picisan. Tanganmu ringan jika sudah menyentuh bagian tubuhku, lidahmu senantiasa kencang berucap avale mes coquilles grosse pute! Kau seperti kerasukan. Ah tidak. Delirium. Aku membayangkanmu terserang delirium.

Hari ini Jumat, 13 Januari 1967. Paris sudah menginjak jam 10 malam. Pantatku terduduk nyaman di sofa yang terletak di lobi. Di sini kulihat banyak orang bertemu, berjabat tangan diikuti anggukan, senyum-senyuman. Bertukar pikiran, melobi di lobi, melepas malam, melupa. Mereka datang merayakan apa arti berpunya. Punya perkataan. Punya perhitungan. Punya simpanan. Punya perusahaan. Mereka datang dan pergi dengan rombongan, yang sendiri. Asing, musykil, fana, seperti hidup manusia. Aku tak menyadari, penjaga lobi rupanya melempar pandangannya sesekali padaku. Bisa jadi ia mengiraku yang sejak tadi memicingkan mata adalah orang gila. Dan kali ini ia mendekati.

“Ada yang bisa saya bantu, Mademoiselle?” tanyanya.

Merci. Je vais bien” jawabku.

Imajinasiku kembali meliuk-liuk menelusuri sekat otak kekasihku, Frederic, yang berdaulat sebagai dokter di Asylum de Bicêtre. Aku sering mendapatinya melepaskan tawa renyah yang dibumbui kata-kata merendahkan sesaat setelah membuatku menangis. Seorang sahabat indigo bernama Viviene pernah bilang padaku jika Frederic memiliki kelainan jiwa. Tahu dari mana? kataku. Dari sikapnya yang acap kali menjelma bakteria jenis pseudomonas coccovenenas. Patut dijauhi, katanya. Nah, tapi bagaimana mungkin seorang dokter penyakit jiwa memiliki kelainan jiwa? Aku mengira jika kawanku satu ini hanya mengada – sebab aku merasai jika ia juga menunjukkan gelagat menginginkanku.

Sudah hampir satu jam lamanya aku menanti, esok hari ulang tahunku. Frederic sepertinya tak akan datang. Masyarakat Prancis sedang dihalau kemurungan hasil produksi aristokrasi. Anggapan mengenai bertambahnya pasien rumah sakit jiwa karena keadaan negara yang tengah krisis begini sedikit banyak menghiburku. Lalu, ku putuskan diri untuk meninggalkan lobi dan menyusuri jalanan Paris yang makin kelelahan menopang kemasygulan warga kota. Angin musim gugur berdesir kencang. Dingin. Seperti hati yang terlanjur beku karena dihujani penganiayaan. Ku lihat seorang lonte sedang bekerja setengah mati menghangatkan diri dengan bajunya yang terbuka. Memegang sebotol cocktail. Mengunci duka lara dalam-dalam. Seorang lonte lain bergincu tebal dengan berani tengah memojokkan pelanggannya di bawah pohon dengan sebilah pisau. Memalak bayaran lebih. Ah, manusia. Bagimu tubuhmu dan bagimu kuasamu.

Rue de Douai pukul 11 malam. Aku termangu di atas kursi taman yang menopangku. Inilah aku, insan yang ditelantarkan oleh logika sendiri, nalarku tak bisa membimbing, hantu-hantu mulai berkelabatan di mata, upaya distraksiku gagal, emosiku membutakan segalanya, atau jangan-jangan diriku sendiri yang terserang delirium. Fantasiku kembali pada Frederic. Aku begitu mencintainya. Mencintai seorang yang ‘ringan tangan’ pada perempuan. Aku masih mengingat ketika ia mengancam akan mengikat tangan dan kakiku di diantara sudut ranjang jika tak memenuhi permintaannya: sadomasochism sex. Alhasil, aku melawan – mulutku terkena tendangan kaki. Aku terhenyak sejauh tiga ubin. Dan sial! Aku tiba-tiba teringat Viviene. Namun rasanya sepi. Air mata mengalir. Sungguh air mata yang sia-sia, sebenarnya.

Musim gugur kembali menyemai duri dalam kepalaku.

 

Pada selembar daun yang jatuh di malam ini:

kuingat katamu padaku

aku menghukum yang paling ku cinta – perempuanku

untuk sekadar tahu, begitu ingin tahu

sampai di mana lemahmu, sampai kapan kekuatanmu

aku menyadari jika kau adalah cerminku,

lalu ku banting, jadi beling.

 

Frederic tidak mungkin datang. Tidak mungkin. Tidaklah mengapa.

Pukul 11.35. Aku kian menikmati kesendirian yang nyaman. Ketentraman yang begitu narsistik. Hanya tertinggal sebotol bir di dalam ransel. Lalu ku tenggak begitu saja. Hidup adalah metafor, tak perlu dibikin rumit, batinku. Tapi, jika semua metafor, bagaimana dengan yang nyata? Bagaimana yang kian menyata? Mestikah aku bersaput kabut halus metafora, jika nyata inginku bersetubuh dengannya. Sebuah tanya yang sekejap saja. Nafasku mulai lepas satu persatu. Jalanan dikeroyok sepi.

Pukul 11.55  sepasang tangan tiba-tiba menutup mataku dari belakang. Dalam situasi kota yang genting kriminalitas begini sungguh bukanlah keberanian yang remeh temeh duduk sendiri di taman. Rasa ngilu mulai menyerang keberanianku.

Phalaenopsis sanderiana, ma chérie”

Aku mengetahui suara itu. Suara yang ku kenali sejak bertahun lalu. Suara yang menemaniku merapal puisi aliran darahku. Suara yang benar-benar parau. Entah berapa kuat tangan itu kian meremas sepuluh jarinya pada sepasang mataku. Seakan dari sebuah kemabukan, kesurupan yang manis. Beberapa saat setelahnya, gerak tangannya perlahan terhenti dan melepas. Aku tak kuasa berpaling padanya yang memanggilku. Ia berbisik halus.

“Joyeux anniversaire”

Sembari mengeluarkan pistol ia menodongkannya di kepalaku.

Hah? Viviene!

 

 

 

 

Bagikan