Search
Close this search box.

[Kisah] Syam, Menghapus Stigma Lewat Berita

Oleh: Ardian R. Hunta

Suarakita.org – Sejak pendapat Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek) M. Nasir terkait isu LGBTIQ dipublikasikan oleh Antara News tanggal 23 Januari 2016, berbagai media cetak dan online turut mengambil bagian dalam memberitakan isu yang sama terkait LGBTIQ. Sayangnya, tidak sedikit media yang malah memberikan stigma dan stereotype buruk kepada LGBTIQ di dalam beritanya. Hal ini tentu menimbulkan berbagai reaksi pada publik.

Kemudahan dalam mengakses situs berita online turut memberikan pengaruh kepada masyarakat dalam mendapatkan informasi. Oleh karena itu, media termasuk didalamnya situs berita online seharusnya mengedukasi pembacanya. Dan wartawanlah yang bisa mengambil peran penting.

Itulah yang coba dibangun oleh Syam Terrajana, seorang anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Pimred Degorontalo.co sebuah situs berita online yang mengangkat berbagai permasalahan atau berbagai fakta-fakta menarik di Provinsi Gorontalo disajikan dengan cara yang sangat informatif.

“Kami terbiasa diskusi dan saling bertukar pikiran, mengupdate isu,” jelas Syam Terrajana. Itulah budaya diskusi yang selalu dibangun oleh Syam bersama kawan-kawan jurnalis lain yang tergabung dalam AJI. “Saya pertama kali menjadi jurnalis pada tahun 2006 silam. Sebelumnya saya aktif dalam bidang teater dan sastra.”

“Saya sudah bertemu dengan LGBTIQ semenjak kecil, salah satunya adalah kerabat di keluarga kami. Sedangkan untuk kegiatan organisasinya, saya pertama kali bertemu dengan kelompok LGBTIQ di Gorontalo ini. Sekitar dua sampai tiga tahun kebelakang.” tuturnya.

Syam juga ikut menyayangkan pernyataan Menristek dan beberapa pejabat negara lainnya yang dapat memicu perlakuan diskriminatif terhadap LGBTIQ.

“Saya tidak akan menjudgenya, saya lebih percaya dialog, diskusi dan saling sharing. Orang menjadi homophobic juga karena banyak hal, kebanyakan yang saya dapati adalah karena pengalaman tak mengenakkan dengan orang orang yang diduga gay, mereka lantas mengeneralisir semuanya, juga karena faktor dogma agama.” Jelas Syam ketika ditanya tentang seorang jurnalis yang homophobic.

Stigma dan diskriminasi yang sering dialami LGBTIQ di Indonesia sangat banyak faktor penyebabnya, salah satunya adalah media yang tidak jarang memberikan stereotype negative dan tentunya jurnalis yang mengedepankan kebenciannya dalam membuat suatu berita, oleh karena itu Syam dan kawan-kawan jurnalis mempunyai rencana yaitu membuat program kajian jurnalistik. “Kami berencana bikin program kajian jurnalistik untuk melibatkan dan menaikkan kapasitas sesama wartawan, termasuk di dalamnya membahas isu isu LGBT, ini tentu perlu waktu yang tak singkat.”

Tentunya ini dapat menjadi salah satu sarana dalam mengurangi tingkat stigma dan diskrimansi yang sering dialami oleh LGBTIQ.

Syam mempunyai pandangan tersendiri mengenai profesi seorang Jurnalis. “Menjadi jurnalis, saya pikir adalah kesempatan dan peluang besar untuk belajar segala sesuatu tentang manusia dan kehidupannya, karena inti dari jurnalisme tak lain berkisar pada persoalan manusia dan kemanusiaan, tugas jurnalis adalah mengurainya, mendudukkan perkara dan sebagainya. Bukan kebetulan jika AJI menjadi tempat berdiskusi yang baik mengenai segala hal, termasuk isu-isu LGBTIQ, kawan kawan yang bergabung dengan AJI, saya kira punya kegelisahan yang sama soal bagaimana seharusnya jurnalis bersikap, diskusi-diskusi itu tentu menambah wawasan dan perspektif kami.”

Seperti dalam lagu It Does Get Better yang dipopulerkan oleh The L Project, walaupun untuk saat ini masih banyak stigma dan diskriminasi yang dialami oleh LGBTIQ di Indonesia, namun jangan menyerah untuk tetap berjuang melawan itu semua, bisa dimulai dengan berjejaring dan menambah wawasan dengan orang-orang dari berbagai profesi yang mempunyai tujuan menghilangkan stigma dan diskriminasi apapun alasan yang melatarbelakanginya. Dan suatu saat nanti keadaan akan menjadi lebih baik dari sekarang.