Oleh: Sugianto*
Suarakita.org – Palung sungai yang beraliran deras di dekat rumahnya di jadikan tempat percobaan bunuh diri seorang pemuda yang berusia 29 tahun. Sebut saja namanya Rivaldo. Pria yang berasal dari sebuah Kabupaten di Sumatera Utara ini merasa hidupnya tidak berarti lagi waktu upaya bunuh diri dilakukan. Beruntung, malaikat maut belum mau merenggut nyawanya ketika pemuda ini melompat mengakhiri hidupnya. Upaya bunuh diri itu gagal dan nyawanya terselamatkan.
Sebelum upaya bunuh diri dilakukan, setiap malam Rivaldo menangis. Selama lebih kurang 3 tahun dia meratapi jalan hidupnya yang dirasa aneh karena menyukai sesama jenis. Sementara dogma agama yang dianutnya tidak membenarkan seorang laki-laki mencintai laki-laki. Rivaldo merasa frustasi dan terbetik jalan pintas mengakhiri hidup.
Dia terpaksa harus mencari jalan keluarnya sendiri menghadapi beban hidup yang dirasa tabu untuk diceritakan kepada siapapun. Prestasi pendidikannya merosot tajam, padahal sejak kalas 1 SD dia termasuk siswa yang berprestasi (Baik olah raga, pendidikan agama, kesenian dll) dan di sekolahnya dia termasuk ranking 3 besar. Anak ketujuh dari 7 (tujuh) bersaudara ini termasuk rajin beribadah hingga SMP, belajar agama setiap sore tidak pernah dia tinggalkan.
Tapi karena frustasi, narkoba menjadi pelariannya setelah upaya bunuh diri gagal. Rivaldo terjerumus dalam jeratan narkoba bertahun-tahun. Emosinya semakin tidak terkontrol dan melawan siapa saja yang mencoba menasehatinya. Tetapi Rivaldo remaja masih terhindar dari kehidupan sex, meski keinginan untuk melakukan hubungan dengan laki-laki yang dia sukai merongrong libido pemuda yang produktif itu.
Memasuki bangku kuliah, Rivaldo aktif dalam organisasi mahasisawa ekstra kampus yang berlabelkan agama. Hal ini dilakukan agar Rivaldo bisa menghindar hasrat menyukai sesama jenis, namun semakin ditentang justru dorongan menyukai sesama jenis semakin kuat. Rivaldo tidak menemukan jalan keluar dari persoalan yang menyita pikirannya, sehingga dia memberanikan diri mencari tahu tentang kehidupan gay melalui buku-buku secara diam-diam.
Lambat-laun Laki-laki yang dilahirkan tahun 1986 ini mulai kompromi dengan dirinya yang menyukai sesama sejenis. Kesadaran itu mulai dipupuk dan tekad memperkuat diri guna menghadapi persoalan kedepan. Menginjak semester 6 dalam perkuliahan, dia menemukan teman senasib yang sama-sama menyukai sesama jenis. Kepercayaan dirinya semakin bertambah, dan ada keinginan untuk saling menguatkan.
Tabir hidup Rivaldo lambat laun mulai dikuak untuk melepaskan beban kemunafikan yang dia pendam bertahun-tahun. Bertahun-tahun ketabuan yang dibungkusnya rapat-rapat dia jebol di kehidupan keluarganya. Keberanian-nya membuka diri pada keluarga adalah sebuah langkah maju dalam melepas kebisuan hidupnya. Melalui kakak perempuan nomor 5 (sebut saja namanya Mirna), Rivaldo membuat pengakuan jika dirinya adalah seorang “Gay”. Reaksi kaget, marah, tidak percaya Mirna pada Rivaldo tak bisa dihindarkan. Justru reaksi Mirna yang membuat Rivaldo bersemangat meyakinkan kakaknya dengan menceritakan pergulatan batinnya sejak upaya bunuh dirinya gagal.
Sang kakak terperangah, kemarahan mereda dan mulai mencoba memahami apa yang dialami adik bungsunya. Meski ekspresi shock belum hilang dari raut muka Mirna. Pelukan sayang sang kakak memecah tangisan ke-dua-nya dengan pergulatan batin masing-masing.
Namun, Rivaldo belum berani menceritakan dirinya sebagai seorang gay karena takut menyakiti hati ibunya yang kuat beragama. Beberapa kali ibunya bertanya kapan Rivaldo menikah, dan selalu dijawab bahwa dirinya tidak akan menikah.
Lapangan Kerja untuk LGBT
Bermula dari perasaan dilecehkan saat melihat rekan-rekan transgender (Waria) yang terpaksa menjadi PSK di jalanan dijadikan bahan tertawaan, dilecehkan secara seksual, dan berbagai pelecehan lainnya. Perasaan Rivaldo tersayat-sayat tatkala melihat pelecehan-demi pelecehan. Dia merasa bahwa yang dilecehkan itu adalah dirinya sendiri.
Selepas kuliah Rivaldo sempat bekerja dalam perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa keuangan yang cukup terkenal di Indonesia. Saat dirinya bekerja di perusahaan tersebut, Rivaldo membuka jatidirinya sebagai Gay kepada rekan-rekan kerja di kantornya. Anggapan miring rekan-rekannya ditanggapi dengan becanda, tetapi cukup membuat orang yang merendahkannya tidak berani semena-mena lagi.
“Memang kamu ganteng dan saya memang gay, tetapi mohon maaf kamu bukan termasuk dalam tipe cowok yang menjadi tipe aku.” Jawabnya pada setiap laki-laki yang mencoba merendahkannya.
Keterbukaan Rivaldo tidak mengganggu karirnya diperusahaan. Pengalaman aktif di dalam gerakan mahasiswa juga cukup membantu bidang kerjanya. Gaji dan status karirnya di perusahaan terus meningkat. Namun kegelisahan Rivaldo belum mendapatkan jawaban disaat membayangkan rekan-rekannya yang transgender tidak bisa mendapatkan kesempatan kerja seperti dirinya yang gay dan bisa berpakaian layaknya laki-laki. Mereka terpaksa harus menjajakan diri dijalanan demi sekedar bertahan hidup.
Ditengah puncak karirnya Rivaldo justru mengundurkan diri, setelah dirasa cukup uang, dia berbisnis jual beli mobil, namun usaha itu tidak lama dirintisnya. Dengan banyaknya koneksi perkawanan dari berbagai negara, Rivaldo-pun berbisnis ekspor kulit berbagai binatang secara legal. Dia menargetkan 2 tahun ke depan tidak lagi mengimpor bahan mentah keluar. Ke depan dia akan mengolah sendiri bahan kulit binatang tersebut dan merekrut teman-teman senasibnya sebagai tenaga kerja. Tentunya merekapun harus dibekali pelatihan yang memadai. Itulah mimpi Rivaldo yang ingin segera diwujudkan.
Dia berharap semua pihak tidak melakukan diskriminasi terhadap LGBT, sehingga mereka tidak terjerumus dalam kehidupan prostitusi hanya sekedar untuk bertahan hidup akibat lapangan pekerjaan tidak memberikan kesempatan kepada mereka.
*Penulis adalah aktifis gerakan rakyat di Sumatera Utara.