Search
Close this search box.

[Cerpen] Plateau

Pernahkah terpikirkan dalam benakmu untuk sedikit saja merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan yang tentu saja tidak hanya secepat air mani yang berlalu. Kebahagiaan yang durasinya bisa dikatakan lama. Kebahagiaan yang menurutku adalah kebahagiaan yang sejati. Aku menyebutnya kebahagiaan plateau.

Suarakita.org Pada suatu pagi di hari Rabu, seperti biasanya Jaka hanya bisa menatap langit-langit kamar tidur. Belum sepuluh menit dirinya terbangun, dia menyadari bahwa sudah saatnya ia untuk pulang. Kamar itu bukan miliknya, melainkan milik seorang pria paruh baya yang bersedia membeli jasanya tadi malam.

Tanpa pikir panjang, Jaka meraih pakaiannya yang berserakan di sekitarnya. Desahan nafas panjang mencirikan bahwa dirinya tidak sebahagia tadi malam. “Lelah sekali pekerjaan ini,” pikirnya. Namun apa yang Jaka miliki sekarang tidak bisa memberinya banyak pilihan. Terutama selembar ijazah miliknya yang ia dapatkan setelah lulus dari sekolah menengah pertama.

Ketika Jaka baru memakai celananya, seseorang yang sejak tadi masih tertidur pulas kini sudah duduk dan berkata, “Kenapa buru-buru sekali?”

“Urusan kita sudah selesai, kan?” tanya Jaka memastikan.

Pria dengan tubuh berisi itu hanya tersenyum dan mengangguk, “Kamu hebat sekali tadi malam.” Entah Jaka menangkap ini sebagai pujian atau hanya tipu daya agar laki-laki kolot ini bisa mendapatkan jasa dari Jaka dengan gratis.

“Aku mungkin akan ada di tempat biasa nanti malam,” kata Jaka. Namun laki-laki yang ternyata masih asing bagi Jaka ini memotong perkataannya, “Aku tahu, tapi sepertinya aku malam ini akan lembur di kantor.”

“Ya itu terserah padamu.” Selesai Jaka dengan bajunya,  saat itulah ia pergi meninggalkan tempat lembab itu.

Langit kota Bogor nampaknya tidak bersahabat pagi ini, terlihat agak hitam dan sedikit berangin. Nampaknya akan ada badai sebentar lagi. Namun Jaka tidak takut, ia lebih takut bila esok ia tak makan ketimbang jatuh sakit gara-gara hujan.

Di ujung jalan tempatnya berjalan saat ini, Jaka melihat seseorang dengan ranselnya yang nampak sibuk sekali. Ditambah dengan satu plastik besar yang berisi kertas-kertas yang Jaka tak tahu apa gunanya mencetak banyak sekali lembaran seperti itu. Dan kertas-kertas itu jatuh bersama sang pemiliknya.

Jaka kemudian berlari segera ingin menolongnya. “Biar saya bantu,” kata Jaka sopan. “Terima kasih,” ujar sang Mahasiswa itu.

Segera saja mereka berdua meraih kertas yang paling dekat dengan mereka masing-masing. Jari-jari mereka saling bertemu, namun nampaknya hal itu tidak membuat mereka canggung. “Sibuk sekali sepertinya?” Jaka membuka obrolan.

“Ya begitulah, hari ini nampaknya akan ada tes dan beberapa deadline untuk tugas. Makanya aku sangat buru-buru.” Ucap pemuda itu sembari sedikit tertawa. “Kamu sendiri? Mahasiswa di…”

“Oh, bukan..” segera saja Jaka membantahnya. “Saya cuma kebetulan lewat saja.”

“Oh gitu, oke, saya harus segera pergi. Maaf tidak bisa mengobrol panjang lebar.”

Jaka melihat pemuda itu berjalan menjauh. Ada sedikit rasa iri dalam dadanya. Sesuatu hal yang Jaka rasa tidak akan pernah Jaka rasakan. Bukan, bukan tentang kuliah. Namun Jaka akhirnya merasa bahwa dirinya tidak memiliki tujuan dalam hidupnya.

Katakanlah Jaka bisa membeli apapun yang ia mau sejauh ini. Handphone, baju-baju model terbaru, apartemen yang nyaman, bahkan Jaka bisa membiayai adiknya yang masih di sekolah dasar di kampung. Semuanya, kecuali bahagia. Jaka lupa untuk bahagia. Semua kebahagiaan yang ia temui hanyalah sebatas orgasme yang berjalalu sesaat. Malahan terkadang kebahagiaan itu hanya dimiliki oleh pelanggannya. Jaka sama sekali merasakan kosong dalam hatinya. Terkadang Jaka merasa bahwa seharusnya ia juga bisa bahagia. Namun entahlah, hanya Jaka yang mengetahui isi hatinya sendiri.

Perasaan berat dalam hati ini kemudian Jaka rasakan lagi ketika ia sudah mencapai tempat tinggalnya. Sebuah apartemen berukuran cukup besar untuk satu orang. Jaka kembali merasakan kekosongan dalam hatinya. Kosong melompong seperti ruangan apartemennya yang nampak mati, lampunya yang gelap, dan udara yang pengap.

Jaka duduk di sebuah sofa berwarna putih tempatnya biasa menunggu langit menggelap. Lagi-lagi Jaka memberikan pandangan itu, pandangan kosong menuju langit-langit. Sepertinya Jaka harus segera menghentikan kebiasaannya itu sebelum dirinya benar-benar depresi.

Untunglah Jaka menyadari hal tersebut. Terlihat bara api dalam matanya. Meskipun tidak sampai membakar, namun cukup menghangatkan. Segera Jaka menyalakan lampu, membuka semua jendela, dan mengambil handuk untuk kemudian mandi.

Tetesan-tetesan air dari pancuran itu turun bersamaan dengan keringat Jaka. Keringat dari hasil kerja kerasnya sendiri. Keringat yang menghidupinya selama ini. Dan dalam heningnya suara gemercik air, Jaka bergelut dengan imajinasinya sendiri. Membayangkan bagaimana rasanya jika suatu saat dirinya bisa melanjutkan pendidikannya. Bagaimana bila suatu saat dirinya bisa menemukan seseorang yang mungkin akan mengisi kekosongan hatinya itu. Namun lagi-lagi, air dingin yang mengalir di kepalanya itu, menyadarkannya kembali pada kenyataan dan memaksanya untuk bangun.

Selesai membersihkan dirinya, kini saatnya Jaka untuk makan siang. Dilihatnya isi lemari pendingin yang juga ia beli dengan jerih payahnya. “Spaghetti sepertinya enak,” pikirnya.

Saat dirinya mulai menyalakan api pada kompor kemudian merebus air, seseorang mengetuk pintunya. Jaka tentu saja penasaran, karena seingatnya ia tidak pernah memberitahukan tempat tinggalnya kepada siapapun. Kegelisahan yang Jaka rasakan harus terpaksa ia buang jauh-jauh karena mungkin saja itu tetangganya.

Tepat pada ketukan yang kesekian kalinya, Jaka membuka pintu dan melihat  seseorang berdiri di depan pintu. Mahasiswa yang ia temui tadi.

“A… ada yang bisa saya bantu?” tanya Jaka canggung. Tak pernah sebelumnya Jaka merasakan kecanggungan seperti ini. Bahkan tidak pernah sama sekali terjadi pada pelanggan-pelanggannya.

“Ah, ternyata benar ini apartemenmu. Sudah dua puluh menit saya mencari.” Kata pemuda itu dan kembali tertawa. Tawa itupun membuat manis wajah Jaka.

“Ada yang bisa saya bantu?” Jaka mengulangi pertanyaannya.

“Ah maaf sebelumnya mengganggu. Namun sepertinya barangmu terbawa olehku.” Pemuda itu mengeluarkan sebuah dompet hitam yang biasa menemani Jaka kemanapun ia pergi. Entah bagaimana caranya dompet itu bisa ada padanya.

“Bagaimana bisa? Maksudku… terima kasih, maaf sudah merepotkan.”

Pemuda itu kembali tertawa. Mungkin pikirnya, Jaka tidak perlu mengatakan itu karena Jaka sudah membantunya tadi. “Sepertinya terjatuh tadi, dan aku temukan di antara kertas-kertasku. Maafkan aku melihat-lihat isinya, aku mencari alamatmu. dan kutemukan alamat apartemen ini.”

“Tak apa, aku yang memang ceroboh.” Jaka kemudian tersenyum dan mengambil apa yang menjadi miliknya.

Keadaan menjadi hening seketika. Topik pembicaraan mereka sudah habis. Mungkin inilah saatnya pemuda itu untuk undur diri dan Jaka kembali memasak makan siangnya. Namun ternyata tidak. Jaka masih saja tersenyum, dan pemuda itu juga masih tersenyum. Mereka berdua mengetahui akan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sudah Jaka sadari sejak tadi.

“Mau mampir? Saya sedang buat spaghetti.” Ajak Jaka semakin canggung.

“Apa tidak apa-apa?” tanyanya. “Aku bahkan belum tahu siapa namamu.” Pemuda itu menunjukkan giginya yang rapih dalam senyuman.

“Ah benar, maaf saya Jaka.” Pemuda itu kemudian menjulurkan tangannya sembari berkata, “Panggil saja Kiki.”

Dari cara Kiki berkata, Jaka harus menghapus anggapan bahwa Kiki kemari karena mencari seks. Dari cara Kiki berjalan, Jaka merasakan bahwa pemuda ini bukan mencari jasanya. Dari cara Kiki berlaku, Jaka merasakan mungkin Pemuda ini seumuran dengannya. Pemuda dengan senyum mempesona nan hangat yang dengan cepat bisa mengisi kekosongan hati Jaka.

“Bagaimana kuliahmu?” tanya Jaka membuka obrolan sembari mengantarkan sepiring penuh spaghetti. Pemuda itu merespon hangat pertanyaan-pertanyaan Jaka, dan begitu pula sebaliknya. Kiki mengatakan bahwa sebenarnya dia tida sedang sibuk, tetapi dirinya memanglah grogi ketika bertemu dengan Jaka di pinggir jalan tadi.

Malam semakin larut. Dan pemuda bernama Kiki itu masih saja mengobrol dengan Jaka. Dugaan Jaka ternyata benar bahwa Kiki memang berbeda. Kiki adalah sebuah cahaya yang siap mengisi kekosongan pada Jaka. Bahkan ketika Jaka bercerita tentang pekerjaannya sebagai pekerja seks. Tidak ada kata-kata merendahkan yang keluar dari mulutnya. Kiki yang juga seorang penyair, sangat mengerti dengan apa yang Jaka hadapi.

Ketika Jaka tak sadar bahwa dirinya sedang mengamati Kiki, Pemuda itu kemudian bertanya pada Jaka, “Pernahkah terpikirkan dalam benakmu untuk sedikit saja merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan yang tentu saja tidak hanya secepat air mani yang berlalu. Kebahagiaan yang durasinya bisa dikatakan lama. Kebahagiaan yang menurutku adalah kebahagiaan yang sejati. Aku menyebutnya kebahagiaan Plateau*.”

“Plateau?” Tanya Jaka.

“Ya. Rasa bahagia yang tak berujung. Kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sedang mencinta. Dan sepertinya aku merasakannya saat ini.” Kiki tersenyum untuk ke sekian kalinya kepada Jaka.

Pada malam itu, Jaka akhirnya merasakan bahwa cintanya sudah direbut oleh pemuda ini. Dan dia bersiap untuk malam panjang yang Kiki sebut dengan kebahagiaan Plateu. Malam untuk mereka yang sedang mencinta.

 

*Plateau adalah salah satu fase ketika bercinta. Fase dimana kelima indra kita ikut merasakan orgasme. Plateau juga bisa juga dikatakan fase tertinggi di dalam proses bercinta dan diakhiri dengan ejakulasi.

Bagikan