Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org – Peluhku berjatuhan. Sudah berkali-kali aku menghapusnya dengan lenganku, namun cairan garam itu terus saja mengalir.
“Aku belum boleh berhenti, masih pagi.” Batinku mengatakan. Ini sudah pukul tiga sore, pagi di sana hanyalah perumpamaan.
Lukisan ini harus selesai tepat waktu, malam ini adalah malam Natal dan pelangganku sudah rewel mengapa lukisannya belum juga rampung. Lukisan tentang kelahiran bayi mungil bernama Yesus dan gambar latar belakang sebuah peternakan. Ya, aku tahu, gambar ini banyak sekali duplikatnya, dan kini aku sedang membuatnya lagi.
Wajahku nampak mengeras karena sepertinya ada cat yang mengering disana. Aku tak sempat lagi untuk membersihkannya. Biarlah warnanya menyatu dengan kulitku yang kusam. Yang terpenting lukisanku terlihat sempurna. Lukisanku harus sempurna.
Kusadari beberapa kali telepon genggamku terus bergetar tanda ada sebuah panggilan masuk. Mungkin itu Rini. Aku masih belum berselera untuk mengobrol dengannya. Jadi aku memohon padanya, dalam diamku, untuk berhenti meneleponku. Kemarin adalah masa lalu, begitu juga dirinya. Aku adalah seorang seniman, jiwaku adalah untuk masa depan yang penuh dengan imajinasi. Bukan terkurung dalam pelukan jiwa kelam sang waktu di masa lalu. Jadi, Rini, biarkan aku sendiri.
Seketika perutku berbunyi. Aku baru teringat kapan terakhir kali aku makan. Sepertinya itu kemarin siang. Namun tanganku tak bisa berhenti. Lekukan wajah seekor kuda dalam lukisan ini masih belum sempurna. Dan aku teringat pelanggan lukisan ini yang sudah muak menunggu. Jadi kuteruskan saja melukis. Toh aku yakin ibu sudah mempersiapkan banyak makanan di dapur.
Selesai dengan wajah sang kuda, aku putuskan untuk berhenti sejenak. Aku pandang lukisan ini dengan cermat. Karena tak mungkin aku melukis seekor kuda dengan wajah keledai. Jadi aku harus pastikan bahwa hewan ini benar-benar seekor kuda berwarna coklat.
“Yup, sempurna.” Bibirku mengatakan.
Tinggal satu hal yang kurang dari lukisan ini. Cinta. Aku tidak menemukan adanya cinta dalam lukisan ini. Semuanya nampak menyendiri. Semuanya nampak tidak menyatu dengan sekitarnya. Apa karena aku melukisnya dengan amarah dan kebencian? Aku juga tidak merasakan adanya kebahagiaan hari raya Natal. Yang aku rasakan adalah kegelisahan dan kemuraman. Dan aku menangis seketika itu.
Kuhapus dengan cepat air mata itu. Aku tak seharusnya menangisi ini. Aku adalah perempuan yang kuat. Aku adalah Joan of Arc.
Namun tetap saja aku bingung, lukisan ini tak nampak hidup. Lukisan ini gagal. Seperti lukisan-lukisanku yang sebelumnya. Lukisan-lukisan sampah yang langsung kulempar ke ujung ruangan. Dan sepertinya aku akan melempar lukisan ini juga lalu mengatakan kepada pelangganku itu bahwa aku tidak sanggup lagi melukis lukisan untuknya. Karena aku tak memiliki cinta untuknya. Atau setidaknya itu yang aku inginkan.
Sialnya, aku tak bisa. Sudah pasti aku akan kehilangan pelangganku itu. Pelanggan yang setia membeli lukisanku dengan harga yang tinggi. Lantas apa bedanya? Mengapa kali ini aku tidak bisa melukis dengan benar? Atau aku udah kehilangan bakatku sekarang?
Telepon genggamku kembali bergetar di meja sebrang. Aku muak. Aku tak tahan lagi. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh perempuan satu ini?
“Hallo? Kalau kau ingin membahas permasalahan malam lalu, maaf aku tak bisa. Aku sedang sibuk menyelesaikan lukisanku.” Kataku dan hendak menutup telepon itu.
“Tidak! Tunggu…” Suara Rini menghentikan jemariku yang marah. Kudengar dia menangis.
Aku tarik nafasku dalam-dalam. Kuberanikan diriku untuk bertanya. “Kau baik-baik saja?”
Rini masih saja menangis. Dan aku mulai membenci ini semua. Dramatisasi yang selalu Rini lakukan ini membuatku bosan. Seharusnya aku mematikan telepon ini sejak tadi. Kemudian kudengar Rini sudah bersiap untuk bicara. Dia menarik air lendir di hidungnya itu.
“Aku minta maaf.” Katanya.
Ah sudah kuduga dia akan mengatakan itu. “Sudah itu saja? Kalau begitu aku harus kembali bekerja.” Aku matikan handphone-ku pada akhirnya.
Selesai dari sana, aku tertegun kembali pada lukisanku. Aku hanya menghembuskan nafas panjang dan tak melakukan apapun. Lukisan ini bagaimanapun tak bisa kuselesaikan hari ini. Dan sudah pasti aku akan kembali mengecewakan pelanggganku. Tapi Rini… dia tak bisa keluar dari kepalaku. Apakah sang waktu penguasa masa lalu bisa sekuat ini? Aku tak percaya. Seharusnya aku bisa mengalahkannya dengan mudah. Aku bukanlah perempuan yang mudah jatuh cinta, apalagi setelah merasakan patah hati. Terutama setelah dikecewakan oleh mantan kekasihku yang sebelumnya sudah bersamaku selama sepuluh tahun kebelakang.
Dan dengan mudahnya ia meminta maaf.
Rasanya aku ingin berteriak sekeras mugkin sekarang, mengeluarkan amarahku sekaligus. Namun aku tidak bisa. Aku ternyata lebih lemah dari yang aku kira.
“Tolong, keluarlah dari kepalaku.” Kataku. Tanpa kusadari aku kembali menangis. Air mata yang turun bersatu dengan cat yang sudah mengering. Bersatu menjadi air merah, semerah darah. Aku sangat ketakutan sekarang. Kata maaf dari Rini memang tidak bisa membayar semuanya, tetapi mendengarnya menangis seperti itu, selalu membunuhku setiap saat.
Sembari terus berair mata. Aku raih kuas sialan itu, aku lemparkan kearah kanvas dengan gambar yang hampir jadi. Kulempar semuanya. Kucampur semua amarahku ini dengan seluruh warna yang aku temukan. Hitam, biru, kuning, coklat, putih. Semua warna itu kini bersatu menjadi sebuah lukisan amarah yang aku sudah tak peduli lagi.
Seseorang mengetuk pintu ruang lukisku ini. Sepertinya itu ibu. Aku dengar dia berteriak-teriak menyuruhku untuk berhenti, dan ia ingin aku membuka pintunya. Seketika saja aku terjatuh dari tumpuanku dan terduduk di lantai. Menatap kosong pada lukisan amarah yang semenjak tadi aku sedang buat. Sejenis lukisan abstrak yang sangat mewakili perasaanku saat ini. Persetan dengan pelanggan, aku sudah tak peduli lagi. Aku hancur. Dan semua ini karena Rini yang memulainya.
Ibuku sepertinya sudah tidak teriak-teriak lagi setelah mendengarku tidak berisik. Namun ia tetap menginginkan aku untuk membuka pintunya. Tanpa pikir panjang, aku segera berdiri dan kemudian berjalan menuju pintu. Begitu kubuka pintu ini, aku melihat sosok ibuku yang terkaget melihat anaknya hancur tak karuan. Tangisanku yang terdiam tadi kini kembali mencuat. Aku peluk tubuh ibu dan kukotori dirinya dengan cat di tubuhku.
“Kau perlu mandi, ayo, sebentar lagi kita bersiap makan malam. Biarkan Rini dengan pemikirannya. Ini malam Natal, tak seharusnya kamu bersedih.” Ibu memang mengetahui seluk beluk hubunganku dengan Rini.
Air dingin itu meluncur indah dari pancuran, mengenai langsung kepalaku dan menyapu bersih sisa-sisa cat yang masih menempel di wajahku. Kepalaku menatap ke bawah dan kuperhatikan air yang mengalir menjadi seperti pelangi. Hanya saja pelangi kesedihan. Namun dalam kesedihan itu aku masih bisa tersenyum karena sepertinya aku masih menyayangi Rini. Gadis yang mengecewakanku itu.
“Rini…” bibirku bergerak dengan sendirinya.
Kuputuskan untuk meneleponnya nanti, giliranku yang meminta maaf padanya.
“Dea, cepat, nanti masuk angin. Perutmu kosong dari kemarin kan?” kata ibu sedikit berteriak.
***
Aku pilih baju terbaikku, yang tentu saja bukan rok. Aku perhatikan diriku di cermin. Kantung mataku sepertinya agak menghitam. Ini karena aku kurang tidur belakangan ini. Dari menatap wajahku di cermin, aku alihkan pandangan mataku menuju telepon pintar yang tergeletak di meja. Aku akan menelepon Rini.
Kutunggu beberapa detik, namun tidak ada jawaban. Ya sudah, mungkin dia juga sedang sibuk dengan keluarganya. Ini malam Natal, kenapa juga dia harus bersedih, kan?
Aku letakkan kembali handphone itu dan kemudian berjalan menuju meja makan, dimana ibu sudah menyiapkan banyak sekali makanan. Didekat pohon natal setinggi satu meter, dan lampu yang sedikit redup. Suasana hangat yang selalu menemani kami sekeluarga, atau setidaknya kami berdua karena ayah sudah pergi terlebih dahulu ke pangkuan yang Maha Kuasa.
Langkahku tidaklah cepat, namun aku merasa ada sesuatu yang menarikku untuk segera menuju meja makan. Dan kulihat disana, ibu tidak sendirian.
Rini ada di sana.
Dia langsung menatapku lalu berdiri dari tempat duduknya, dan kemudian dia berjalan cepat kearahku untuk memelukku. Kurasakan dadanya berdegup kencang. Aku angkat tanganku dan membalas pelukannya.
Kulihat ibu yang sejak tadi sibuk mempersiapkan meja, kini sedang memperhatikanku. Ibu benar, ini yang aku butuhkan. Pelukan hangat dari orang-orang yang aku cintai di hari Natal. Kemudian ibu menunjuk ke arah lukisan di dinding. Itu lukisan amarahku, yang kini sudah berganti judul menjadi “Cinta di Malam Natal”. Warna-warna yang berantakan itu mewakili apa itu cinta sebenarnya. Mahkluk yang sangat rumit untuk dijelaskan.
“Selamat Natal, Rin.” Kataku akhirnya.
*Penulis adalah kontributor Suara Kita di Bandung