Search
Close this search box.

[Resensi] Centhini, Kekasih yang Tersembunyi

Oleh: Siti Rubaidah

Judul buku        : Centhini, Kekasih yang Tersembunyi

Karya                  : Elizabeth D. Inandiak

Penerbit             : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit    : 2015

Tebal Buku       : 407 Halaman

 

Suarakita.org — Sebuah buku yang sangat kontroversial. Syair yang merupakan tembang-tembang Jawa dalam buku ini dikenali dari guratan-guratan syahwat sebagaimana berikut:

“Dan begitulah mereka duduk, satu dan lainnya, dengan si lelaki dalam kedudukan sedikit miring di antara kedua kakinya. Mereka memamah sirih sepenuhnya sambil goyang bersetubuh, menutup mata menyelaraskan diri dengan turunnya lingga buta ke jurang liang sanggama.” (Halaman 135)

Naskah maha karya Jawa itu diberi nama Suluk Tembangraras. Dalam kisah pewayangan, suluk adalah ‘suara meninggi’, sebuah istilah yang mengacu pada sastra gaib Jawa kurun Islam. Adapun Tembangraras adalah istri si tokoh utama. Namun orang umum lebih suka menyebut naskah ini dengan Serat Centhini. Centhini adalah nama abdi Tembangraras, sehingga terkesan ganjil dan melecehkan mahakarya tersebut jika disebut nama seorang abdi.

Di sisi lain, hal ini rupanya menandakan adanya suatu keakraban, kedekatan yang menyentuh antara para pembaca dengan mahakarya Jawa ini. Pun bisa dimaknai sebagai upaya teraling dan makar yang dengan sengaja mengangkat wong cilik menjadi tokoh sohor.

Serat Centhini menembangkan pengembaraan Amongraga, pangeran muda yang terpaksa kabur meninggalkan Kerajaan Giri, setalah kerajaan Islam itu diserbu oleh Sultan Agung pada awal abad ke-17. Dalam perjalanan spriritualnya, Amongraga bertemu berbagai macam-macam manusia: pedagang keliling, para penembang, penggamel, ledek, warok, gemblak, sastrawan, sufi, pelacur, petapa Budha-Siwa, pandai besi, dukun, guru kanuragan, kecu, segala orang bebas, pelarian, paria yang di luar kekuasaan, menenun serta mengutak-atik jaring khayal syahwat dan roh Tanah Jawa.

Beranjak dari syahwat yang ragawi –Amongraga dan Tembangraras melewatkan malam-malam pengantinnya selama empat puluh malam– menjadi jinak satu terhadap lainnya dalam ketelanjangan tubuh mereka, dan menyingkap cadar roh mereka dengan ketegangan syahwat serta batin.

“Ketika malam ketigapuluh delapan tiba, di haluan ranjang, Tambangraras telanjang bersembah: Oh, Apiku, di tengah salatku, kudengar hening. Apakah bening itu? Oh, Sariku! Hening adalah guru yang menarik diri beserta Kitabnya, karena meski dialah yang memulai tembangnya, engkau sendirilah yang harus menyelesaikannya.” (Halaman 262)

Tahun 1814, di Keraton Surakarta, Pengeran Anom Hamengkunegara III memerintahkan ketiga pujangga Keraton untuk menyusun Serat Centhini, yang berisi cerita-cerita lama tentang ilmu-ilmu alam dan gaib Jawa. Baru setelah empat puluh tahun sejak penyusunannya, yaitu tahun 1850, Susuhunan ketujuh Surakarta menghadiahkan naskah maha karya Jawa ini kepada Ratu Belanda apa adanya, jilid lima hingga sembilan, padahal jilid sembilanlah yang paling nakal dan konon disusun sendiri oleh Sang Pangeran.

Buku Centhini, Kekasih yang Tersembunyi merupakan terjemah dari bahasa Perancis oleh Laddy Lesmana bersama E.D. Inandiak dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, tahun 2015. Buku ini menggambarkan pengembaraan edan luar biasa, terdiri dari empat ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, dua ratus ribu bait lebih yang naskah aslinya sudah tiada lagi. Naskah asli maha karya sastra Jawa ini telah sekarat bersama meninggalnya Pangeran Anom Hamengkubuwono III, di tahun ketiga pemerintahannya sebagai Susuhunan Paku Buwono kelima.

Dalam usaha menerjemahkan Serat Centhini dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Paris, Inandiak terbentur kesulitan. Karena bagi sebagian ahli Jawa Serat Centhini dianggap suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedangkan bagi pakar yang lain Serat Centhini dianggap terlalu kotor. Sampai akhirnya dia bertemu Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid Dr. Zoetmulder yang dengan senang hati menerjemahkannya dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.

Buku kesembilan yang paling terkenal diantara kedua belas jilid lainnya hampir semua berisi tentang syahwat. Tetapi sebagai pembelaan, buku kesembilan ini juga berisi ajaran rohani yang cemerlang , seperti ajaran tentang topeng di tembang ke 128 yang menceritakan kisah Joko Bluwo. Juju Masunah dalam Sawitri, Penari Topeng Losari (Tarawang, Yogyakarta 2000) menceritakan bahwa tahun 1996 pernah mengundang Sawitri untuk membawakan satu tari topeng untuk ulang tahun putrinya. Saat itu Sawitri berusia 70 tahun lebih, tetapi anehnya ketika tubuh perempuannya yang sudah tua berubah begitu tersentuh topeng, menjadi seorang pria belia yang gagah.

‘’…pria yang menarikan sang Panji sebenarnya adalah putri tunggal KI Kadang… Retno Ginubah namanya. Katanya setiap hendak menari ia puasa empat puluh hari, memohon kepada Allah, kepada para malaikat, kepada nabi-nabi dan Walisongo agar dijauhkan dari Budug Basu, lingga yang mengincar di belukar sukmanya, dan dari Dewi Sri yang tiap pagi menyediakan semangkuk nasi untuknya dengan maksud membatalkan puasanya.’’ (Halaman 314)

Tembang 136, Tembangraras dan Centhini pergi dengan mengenakan pakaian laki-laki untuk mencari Amongraga. Dandan jenis kelamin lain dan pembalikan merupakan ciri yang sering muncul dalam Serat Centhini. Kita menemukan fenomena transvesti yakni suatu peran yang bersifat “sementara” menjadi pria belia yang gagah. Padahal dia adalah seorang penari cross gender yang dalam kesehariannya tetap berpenampilan perempuan.

Selain fenomena tranvesti dan cross gender, di buku ini juga menceritakan keragaman orientasi seksual masing-masing tokohnya. Ada kaum heteroseksual yang diwakili oleh tokoh utama Amongraga dan Tembangraras, ada kaum biseksual yang diwakili oleh tokoh Cebolang dan Sawitri, serta kaum homoseksual yang tergambar pada perilaku seks warok dan gemblaknya dalam budaya Reog Ponorogo.

Tembang 152, yang merupakan tembang terakhir dari Serat Centhini terjadi penjungkirbalikan kisah, si tokoh yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan kembara dan tapa, di akhir cerita menitis sebagai sosok yang sama sekali lain. Begitulah setelah 4.000 halaman kembara dan tapa, Amongraga menitis kembali menjadi raja yang hina dan haus darah! Hampir-hampir sebuah akhir yang sia-sia!

Dia adalah Pangeran Aria Mataram, yang paska penobatannya dia perintahkan petani laki-laki dan perempuan untuk kerja paksa membangun keraton baru dan menggali parit yang dalam, sehingga mata manusia tak bisa melihat tepinya. Ia menyuruh membunuh Pamannya Pengeran Pekik dan membantai semua ahli fikih Mataram, istri dan anak-anaknya.

Akan tetapi salah satu tafsir yang bisa kita pegang adalah: Amongraga telah membakar semua nafsu yang mengikatnya kecuali satu, yakni kepahitan menyaksikan ayahnya ditaklukkan Sultan Agung. Bila kita renungkan, nafsu-nafsu yang membelenggu yang tidak dapat kita bakar habis selama kehidupan kita akan menitis kembali. Dalam reinkarnasi kehidupan selanjutnya maka kepahitan Amongraga semata yang menitis kembali. Perasaan itu memenuhi semua ruang jiwanya dan menjadi raksasa mengerikan. Dapatkah kepahitan itu hilang sendiri dalam diri raksasanya serta membebaskannya dari samsara roda kehidupan? Atau sebaliknya, kepahitan akan menyeret manusianya ke titisan yang paling rendah sehingga harus memulai lagi semuanya dari nol.

Namun, Serat Centhini pada masanya ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara nitis pada penyair bagai suatu wahyu yang datang terlebih dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam menemani si pujangga memasuki kata-kata. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang menciptakan makna suluk dan keindahannya. Di dalam syair-syair cabul, kekotoran dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Perpaduan antara lumpur dan emas itulah yang membentuk watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur ke dalam kubangan comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.

Onghokham, seorang sejarawan Indonesia menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, e’est Rabelais!”( Centhini adalah Rabelai!). Francois Rabelais lahir tahun 1494, menjadi rahib ordo Fransiskan, kemudian pindah menjadi Benediktian, dan menangggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi penyair gelandangan dan dokter. Buku-buku Rabelai tidak mengenal antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat jelata, yang halus dan kasar. Demikian pula Serat Centhini yang menggambarkan kentut juga dijadikan sebagai sesuatu yang bersifat pembebasan.

Sedangkan Gus Dur menyatakan, Serat Centhini bukan milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren, terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab berjudul: Pamongrogo dan Pamongroso. Setahun sekali, radia setempat menyiarkan pembacaan Pamomongrogo dan Pamomongroso ini semalam suntuk.

Adapun pembelajaran yang bisa kita ambil dari buku ini adalah: kita tidak boleh memandang rendah seseorang hanya karena latar belakang sosialnya. Si Centhini yang hanya seorang abdi, ternyata mampu memasuki kehidupan sufi. Sementara si Amongraga yang hampir di masa hidupnya tak sedikitpun tergiur kehidupan dunia dan memilih hidup yang hakiki, ternyata dalam reinkarnasinya justru menjadi raksasa yang angkara murka. Demikian pula Cebolang yang sempat terbius dengan dunia kembara syahwat di akhir hidupnya belajar mendapatkan ilmu kebahagiaan sejati dan rasa hormat Ayah yang sempat ditinggalkannya.

Dalam buku ini kita bisa menemukan dialog antar umat beragama, di mana di beberapa babak terdapat dialog dan persinggungan agama-agama Hindu, Islam, Budha-Shiwa dan ajaran kebatinan Gatholoco yang menjadi kepercayaan asli Jawa. Terakhir, lewat buku Centhini, Kekasih yang Tersembunyi, Elizabeth D. Inandiak, mencoba menghidupkan kembali suara-suara lirih Serat Centhini yang telah aus bersama memudarnya bahasa Jawa.