Suarakita.org – Sepasang laba-laba tengah menyulam sarang di sudut ruangan yang tidak terlalu luas itu: sebuah bangsal yang begitu sederhana berukuran lima kali enam meter. Disana, dua jendela yang terbuat dari besi baja berbentuk jeruji, dipampang lebar sebagai penjaga. Dinding diatasnya banyak dihiasi jamur akibat merembesnya air hujan yang tak kuasa ditampung plafon saat musim basah beranjak. Cat tembok kian mengelupas seperti kulit ular yang terlepas dari hewannya. Suasana selalu berona lembab. Saat aku berdiri di luarnya, rongga langit seperti diselaputi kesedihan, dan sang surya sendiri meredup. Bumi seolah-olah memekik keras. Atmosfer seperti kehilangan ozon. Bunga-bungapun melayu. Kau tahu, disana-lah seseorang bernama Sofyan Zaini kini bermukim, duduk di atas kasur pesakitan dengan tatapan kosong lalu berbicara sendiri. Ia seperti prabu Abimanyu yang tergolek lemah di tanah, ditopang ribuan anak panah yang menembus raganya. Ia tidak bisa dikatakan mengalami apapun kecuali kekalahan telak atas peperangan batin yang menjugkirbalikkan jiwanya. Kemanusiaannya telah punah, dan aku acap kali merasa kalut kala harus memandangi adegan itu. kesadaranku terguncang, aku tak lagi sanggup berbuat sesuatu bahkan untuk sekedar mencipta kata.
Selama dua puluh delapan tahun perjalanan hidupku, kukenali ia sebagai ayah juara satu yang senantiasa rela memanggul aral kehiduapan. Ayah, yang – kau tahu, dengan sekuat tenaga dan batinnya berteguh hati menggenggam prinsip kesetiaan pada kecintaannya: aku dan adikku. Aku mengerti – betul – aku mengerti, bila cinta memiliki jamak rupa. Dan wujud cinta yang didaulat oleh ayahku kepada kami berdua – hmmmm – ya.. berupa dogma agama. Tunggu, jangan merasa ngeri dahulu – konon, tak sedikit pula orang yang menyetujiunya. Mereka yang mengagungkannya bergerombol. Berkoalisi seperti sekelompok semut yang senantiasa berbaris rapi – namun, tak mengerti akan dibawa kemana gerangan cinta, sang pilar sejati kehidupan. Ketika aku memandangi ayahku, kekalutan yang kualami ini makin membuatku berefleksi kritis jika ada cinta yang salah letak. Cinta yang senantiasa agresif. Cinta yang tak sadar telah merampas kemerdekaan. Cinta yang benar-benar merugikan. Baiklah, kini akan ku ceritakan padamu tentang kisahan cerita yang membuat ayah mengalami sebuah kematian yang jauh lebih dahsyat ketimbang maut itu. Semua terjadi begitu saja. Tanpa restuku. Tanpa ijinku.
***
Aku datang dari keluarga sederhana di daerah pesisir. Sejak kecil aku dididik dengan tradisi agama yang begitu kuat. Ayah, adalah seorang penceramah kondang yang berkotbah dari desa ke desa. Mulanya aku, Zulkifli Zaini, begitu anti dengan yang berkeyakinan berbeda sepertiku: dari tata cara seseorang beragama, apalagi berorientasi seksual. Konon, mereka kuandaikan sebagai liyan yang tak elok jika ikut membicarakan surga. Bagaimana mungkin? Dalam kitab suci yang aku yakini kebenarannya, surga pun haram bagi mereka. Namun, anggapan ini kian beranjak purna saat perkenalanku dengan seseorang dari pulau seberang bernama Ida Bagus Wayan Sutra. Ia adalah pemuda yang lembut dan rendah hati. Tak banyak bicara dogma, tapi meletakkan kebajikan dengan tindakan. Aku betul-betul berkaca banyak darinya. Ia seperti guru sejati: tidak menuntut tapi bersikap. Selama tiga tahun ini aku dan Wayan adalah sahabat karib – dipertemukan saat bekerja di satu kantor berita yang sama. Kami berprofesi sebagai wartawan yang khusus ditempatkan di daerah konflik. Dan diam-diam, aku mengaguminya.
Kala itu, konflik di Poso pecah. Kondisi keamanan nampak limbung tak menentu. Tatanan dan nilai-nilai sosial-komunal begerak jumpalitan dibawah bendera perang. Mereka berkata, sulit rasanya mengidentifikasi siapa kawan, siapa lawan. Sebab, ini bukanlah lagi perang suku. Pertempuran dan persimbahan darah adalah pemandangan setiap hari. Mati di bawah kolong langit Sulawesi Utara ini adalah resiko buat wartawan seperti kami. Saat situasi terejawantah seperti layang-layang yang terlepas dari benangnya, orang-orang yang tengah berebut kebenaran itu tak lagi peduli dengan orang lain. Aku memandangi amuk yang kian mendobrak pertahanan manusiawi. Dan clurit, dihempaskan ke sana kemari bak mainan anak-anak yang tak memiliki bahaya berarti – salah satunya, mendarat persis di bagian perut sebelah kiri. Darahku mengucur deras seperti pancuran irigasi. Aku betul-betul mengalami pendarahan yang hebat. Yang masih kuiingat sejak itu adalah Wayan segera menggendong tubuhku dan berlari menuju rumah sakit terdekat. Namun tak satu pun rumah sakit ia temukan. Mataku mulai sayu, kepala jadi berat, tubuhku semakin lunglai karena hampir kehabisan darah. Tapi syukurlah, pada akhirnya kami menemukan rumah bidan muda yang lumayan berjarak dari reriuhan konflik. Awalnya bidan itu ketakutan membukakan pintu, namun setelah melihat kartu pers yang tersemat di dada Wayan, bidan itu mempersilakan kami masuk dan segera menyuruhnya untuk menaruh badanku yang bersimbah darah di atas kasur. Selang infus ala kadarnya segera dipasang, jahitan di perut kiri mulai dititi. Bidan itu mengisyaratkan agar aku segera mendapatkan tranfusi darah. Biarpun disini darah adalah barang mudah, tetapi bukanlah darah yang dapat dialirkan untuk menyelematkan hidup seseorang. Hidupku pada menit-menit itu seperti arena pertaruhan. Bila dua orang yang ada di sampingku tak memiliki golongan darah yang sama, maka tamatlah aku. Namun, seperti halnya orang berjudi, Wayan mengambil KTP di sakuku dan mencocokkan dengan KTP yang ia punya. Puji alam semesta, ialah manusia satu-satunya di ruangan ini yang ternyata memiliki golongan darah sama sepertiku: AB+, betapa golongan darah yang langka. Sesegera mungkin transfusi dilakukan. Selang tiga jam kemudian aku mulai siuman. Bidan yang baik hati itu menyuguhi kami makanan dan mempersilakan tinggal.
Dua hari setelahnya, kantor, melalui wicara denga Wayan menarik kami dari Poso. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk menelpon rumah dan mengabari bila hendak kembali ke kampung untuk beberapa hari setelah laporan berita kami serahkan pada redaksi. Di samping itu, aku ceritakan pula pada ayah tentang tragedi yang menimpaku. Bukan untuk memberitahu kabar buruknya, namun bagiku, keluargaku patut menghaturkan beribu terimakasih kepada Wayan yang telah banyak menolong. Tetapi kenyataan tak menerima demikian. Ayah dari saluran telepon meledakkan suara marah yang hebat.
“Dosa besar! Benar-benar dosa besar! Kau tahu? Darah yang ada padamu sekarang adalah darah kafir yang mestinya halal untuk disembelih!”
“Tapi ayah jika aku tak menerima transfusi darah aku bisa mati di tempat.” Sahutku halus
Suara adik perempuanku, Zahra, terdengar mengisak dari kanal telepon itu.
Tut..tut..tut..
Telepon mendadak dimatikan sepihak.
***
Atas nama profesionalitas, walau harus memakan waktu tujuh hari dengan rasa perut kiri yang menyayat seperti belati, laporan pada redaksi akhirnya selesai. Siang itu aku segera mengambil bus menuju kampungku yang terletak di pesisir. Tiba di pinggiran kota sudah pukul satu dini hari. Malam gelap gulita dan langit hanya menampakkan kemerlip bintang-bintang. Tetapi tanah yang ku injak sedikit becek – bisa jadi hujan mengguyur sore tadi. Hening sekali. Aku tidak melihat seorang pun di jalan kecuali empat lelaki di gardu ronda. Dan suasana semakin lengang ketika aku mulai melangkahkan kaki pada pematang panjang yang lurus menuju kampung bersama bau marina yang menyeruak.
Aku hanya berkawan suara langkah kaki serta lampu senter kecil di tangan kanan. Mendekati rumah, samar-samar mulai ku dengar suara: apa? Perempuan menangis? Aku maju beberapa langkah lalu berhenti memasang telinga. Suara jelas datang dari adik perempuanku, Zahra, yang kini mengisak di kamarnya. Ialah adik satu-satunya yang ku miliki dan satu-satunya perempuan di rumah kami setelah ibu meninggal karena pendarahan hebat saat melahirkannya. Segera ku raih kepalanya lalu menenangkannya. Ku tanya dimana ayah berada. Ia bercerita sambil mengisak bila ayah semenjak tadi siang telah dipindahkan ke rumah sakit jiwa sebab ia sudah tak sanggup merawat. Zahra menambahkan bila selama beberapa hari sebelum ayah dipindahkan, ia mengalami guncangan jiwa yang cukup hebat. Meronta-rota dan meratap tak jelas. Aku terkaget. Menelan ludah dalam-dalam. Dada berdebar tiba-tiba. Apa yang terjadi? Sembari mengisak Zahra meneruskan perihal kabar tujuh hari yang lalu. Tentang darah yang mengalir dalam tubuhku. Darah yang telah berhasil menyelamatkan nyawaku. Darah seseorang yang konon dikatainya kafir. Wahai alam semesta, aku telah merelakan ibu untuk kau jadikan dewi di sana. Jika kini kau mengambil ayah, keselarasan mana lagi yang kau inginkan? Langsung ku pejamkan mata yang sudah tak kuat menahan peluhnya.
Pagi pukul tujuh, segera kusandang ransel dan mengambil bus menuju rumah sakit jiwa di kota. Di dalam ruangan berukuran lima kali enam meter itu kulihat sosok yang semenjak lahir kukenali. Yang demikian adanya ia pernah mempunyai makna teramat suci dalam kehidupanku – yang acap kali dalam masa yang panjang kuanggap ia sebagai rupa kesetiaan cinta – namun kini salah meletakkannya. Terasa semua jaringan syaraf dalam tubuhku melemah. Apa yang ku lihat oleh mata amat sulit kucerna menjadi pemahaman dan kesadaran. Sukar bukan main menerima kenyataan ini. Lagi-lagi aku mengalami kesulitan pada diriku sendiri. Di sini, diluar ruangan bangsal seluas lima kali enam meter, bumi seolah-olah memekik keras. Atmosfer seperti kehilangan ozon. Kau tahu, disana-lah seseorang bernama Sofyan Zaini kini bermukim, duduk di atas kasur pesakitan dengan tatapan kosong lalu berbicara sendiri. Ia seperti prabu Abimanyu yang tergolek lemah di tanah, ditopang ribuan anak panah yang menembus raganya. Ia tidak bisa dikatakan mengalami apapun kecuali kekalahan telak atas peprangan batin yang menjadi-jadi. Kemanusiaannya telah punah. Ayah, tinggalah sosok dan nyawa.
Tapi, sebagaimana cinta. Mengampuni adalah harga mati. Lalu siapa yang kuampuni? Dalang semesta yang membikin skenario ini? Tidak.. tidak. Aku mengampuni kehancuran yang disebabkan oleh cinta yang salah letak.