Search
Close this search box.

Sekilas LGBT di Bumi Ottoman

Oleh: Teuku Ramzy Farrazy*

Suarakita.org – Pernah membayangkan kehidupan LGBT di Turki? Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 28 Oktober – 10 November 2015, saya menyempatkan diri melancong ke Turki dalam rangka mengikuti short course yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Istanbul (PPI Istanbul). Dalam kesempatan tersebut, saya menelusuri kehidupan LGBT di kota Istanbul yang merupakan kota terbesar di bumi Ottoman.

Turki dikenal sebagai sebuah Negara berpenduduk mayoritas Muslim –sekitar 97% dari 70 juta penduduk– yang secara politik menganut paham sekularisme. Di mana kehidupan bernegara merupakan hal yang terpisah dari kehidupan religius. Meskipun begitu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dari Partai AKP adalah figure yang dikenal cukup gigih dalam memperjuangkan hak – hak umat Islam.

Bagaimana dengan kelompok minoritas LGBT? Erdogan dikenal toleran terhadap LGBT di Turki. Pernyataan Partai AKP tentang perlunya perlindungan hukum terhadap kelompok LGBT merupakan komitmen dari partai yang dikenal cukup konservatif dan kurang liberal. Meskipun begitu, Erdogan belum mengagendakan sebuah langkah kongkrit dalam hal peningkatan hak-hak LGBT paska terpilihnya. Selain AKP, ada dua partai politik lagi yang mendukung hak LGBT, yaitu CHP (The Republican People’s Party) dan BDP (The Peace and Democracy). Tuntutan mereka pun jelas: memasukkan hak LGBT ke dalam klausul kesetaraan dalam konteks hak–hak warganegara..

Bagaimana dengan masyarakatnya? Masyarakat Turki pada umumnya terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu etnis Turk dan Kurdi. Terdapat pula sejumlah minoritas seperti Armenia, Azeri, Arab, Yunani, Uzbek, Kirgis, Tatars, Kazakhs dan Yahudi. Turki juga menerima sekitar dua juta pengungsi Suriah. Paska tumbangnya Kesultanan Ottoman pada 1922, Turki sempat tercabik dalam beberapa konflik. Namun, watak orang Turki yang ramah, terbuka dan bersahabat, cukup berpengaruh terhadap penerimaan mereka kepada LGBT.

KONDA, sebuah Organisasi LGBT terkemuka di Turki menyelenggarkan suatu survey yang menilai seberapa besar penerimaan masyarakat Turki terhadap LGBT. Hasilnya cukup bagus, yaitu sebelas persen masyarakat Turki menyatakan mendukung hak – hak LGBT. Sebelas persen menurut saya adalah suatu angka yang tergolong fantastis untuk ukuran Negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dibandingkan dengan Indonesia misalnya.

Bagaimana dengan Pride? Bicara mengenai LGBT tentunya tidaklah lengkap jika tidak membahas mengenai Pride. Istanbul dikenal memiliki Pride yang cukup heboh. Pada Juli 2015, saking hebohnya, Pride yang diselenggarakan juga mengundang watercanon dari kepolisian, Mungkin satu –satunya Pride yang pernah saya dengar di Negara mayoritas Muslim.

Namun terkait hak, saya mempertanyakan nasib akun Grindr saya yang tidak bisa diakses sama sekali selama di Turki. Cukup menyebalkan, memang. Maka saya memutuskan untuk mengunduh Badoo. Hasilnya? Ramai sekali pengguna dating apps di Turki. Banyak di antara akun tersebut yang menawarkan jasa pijat plus atau escort. Profil penggunanya juga cukup beragam, beberapa yang mengobrol dengan saya lewat chat ada yang bekerja sebagai pedagang, professional dan akademisi.

Di Istanbul sendiri, terdapat satu area yang secara tradisional sudah popular sebagai cruising spot khususnya bagi Gay, yaitu Taksim Square. Taksim letaknya tidak jauh dari penginapan saya di distrik Beyoglu. Kira–kira hanya berjalan kaki lima belas menit. Namun lima belas menit ini terasa begitu melelahkan karena jalanan di distrik ini banyak sekali yang menanjak, seperti di Puncak saja. Taksim square pada dasarnya merupakan alun–alun yang besar, dan memiliki sebuah monument Attaturk (pendiri Republik Turki) di tengah–tengahnya. Area ini tersambung dengan Istiklal Caddesi (Independence Street) yang merupakan jalanan kuno  khusus tram dan pejalan kaki yang memiliki banyak restoran, café, hotel, toko emas, toko manisan (Turkish delights) dan juga kompleks rumah ibadah serta konsulat Negara–negara sahabat. Tidak lengkap rasanya kalau ke Istanbul tanpa mengunjungi Taksim. Apalagi bagi Gay. Taksim di malam hari menjadi sedikit lebih panas meskipun suhu Istanbul hanya 10 derajat, karena sangat ramai sekali Gay yang nongkrong di sana!

Pria Gay Istanbul berkarakteristik unik. Meskipun muslim, mereka sangat fashionable, banyak di antara mereka yang berkarakteristik bear, dengan badan tegap besar serta brewok yang hitam lebat menggoda. Saya sebagai salah satu pecinta bear, tentu amat terpuaskan hanya dengan pemandangan ini. Berabad–abad menjadi kota yang terpapar budaya dari berbagai bangsa – Yunani, Romawi, Persia, Arab, Russia, Mongol, Levantine – menjadikan wajah pria–pria Istanbul sangat eksotis. Malam itu saya memutuskan untuk nongkrong di Taksim Square seorang diri.

Sembari mencari cay (teh) dan Simit (roti wijen khas Turki), tiba–tiba seorang pemuda menghampiri. Yang tidak saya sangka, ia secara terang–terangan menanyakan apakah saya Gay. Awalnya saya sempat ragu. Ternyata dia juga Gay, maka kami mengobrol di sana. Pria ini ternyata berasal dari Kirgistan, Negara Asia Tengah pecahan Uni Soviet. Sebut saja namanya Serkan. Serkan menawarkan jasa escort kepada saya, namun saya dengan halus menolaknya. Maka kami hanya sebatas berbincang–bincang saja. Kemampuan berbahasa Inggrisnya cukup baik, dibandingkan dengan kebanyakan orang Turki lain.

Bagi turis Gay yang mengunjungi Istanbul, sangat tidak disarankan untuk cruising sendirian seperti yang saya lakukan, karena memang sudah banyak kasus penipuan yang terjadi, bahkan pemerasan. Ada beberapa kasus dimana turis asing dirayu oleh escort dan diajak bercinta di flat nya. Namun biaya yang harus dikeluarkan ternyata juga mencakup flat tersebut, padahal kesepakatan awalnya hanya tarif escortnya saja. Apalagi escort–escort ini memang tampan sekali, semakin sedap dilihat dengan jaket kulit mereka. Pada siang hari, banyak di antara mereka yang secara terbuka menyapa turis yang terlihat sendirian atau tampak sedang bingung hendak kemana, lalu menawarkan jasa panduan atau tour guide dan berujung pada jasa escort. Hal ini nampaknya tidak hanya berlaku kepada turis Gay saja, tetapi juga kepada turis hetero.

Setelah beberapa hari, akhirnya saya bertemu dengan Engin di konferensi, seorang dosen salah satu Universitas di sana. Titik temu kami yaitu di Simit Sarayi, sebuah kafe perancas (franchise) asli Turki yang menjual berbagai kue dan manisan seperti Sutlac, Turkish cheese cake, Kazandibi dan lainnya. Engin hari itu mengajak saya untuk berkeliling Istanbul. Ternyata macet sekali jalanan Istanbul pada jam pulang kantor. Kami menuju ke sisi Asia untuk melihat salah satu red light district di sana (kota Istanbul terbagi dalam dua bagian: Eropa dan Asia) yaitu distrik Uskudar, dan bercerita banyak mengenai LGBT di Turki dan Indonesia.

Engin menanyakan apakah saya Muslim. “Yes, I am”, saya jelaskan sedikit mengenai kehidupan Islam di Indonesia. Engin mengungkapkan bahwa menjadi Gay di Turki adalah hal yang berbeda dengan menjadi Muslim. “Ketika kita membicarakan seks, saya sangat menyukai orang–orang Asia. Thai, Melayu, Indonesia, Korea. Mereka semua sangat seksi!” Namun ketika tiba waktu azan, ia melakukan salat. “Sekarang masih waktu Ashar, kan? Saya masih memiliki wudhu”. Engin adalah potret gay urban Turki yang terpelajar dan nasionalis. Saya melihat titik temu antara muslim dan LGBT sekaligus dalam dirinya.

Engin membawa saya ke Uskudar, bertemu dengan Semi, temannya. Cukup menegangkan sebenarnya, karena pengamatan yang saya lakukan ini sampai blusukan ke red light district setempat. Semi memiliki seorang kenalan yang bekerja sebagai mucikari, yang mendatangkan imigran illegal asal Uzbekistan untuk bekerja di Uskudar sebagai pekerja seks komersial (PSK). Kami bertandang ke rumahnya, dan di sana ada seorang PSK Uzbekistan yang sedang berbincang dengan seorang calon tamunya yang berusia sekitar 50 –an. ”You know? She is a sharmuthah.” Canda Semi kepada saya. Sharmuthah adalah istilah untuk PSK. Semi adalah seorang Kurdi, maka ia mengerti sedikit Bahasa Arab informal. Saya pun juga berbagi cerita mengenai bagaimana kehidupan pekerja seks di Indonesia. Tak lama kemudian, perempuan Uzbek tersebut meminta izin untuk masuk ke kamar bersama tamunya. Kami pun bergegas pergi, Engin mengantar kami kembali ke bagian Eropa.

Beberapa waktu sebelum saya kembali ke Indonesia, saya sempat mencoba merasakan sensasi Turkish bath atau lebih dikenal dengan sebutan Hammam, tradisi mandi yang berawal dari kebudayaan Ottoman. Mandi adalah hal yang penting sekali bagi orang Turki. Dan dalam budaya Hammam, kita dapat menemukan sedikit kehidupan Gay. Hammam adalah pemandian umum yang terdiri dari beberapa lokasi pemandian. Pemandian ini biasanya untuk menenangkan diri dari letih dan stress setelah seharian bekerja. Pada Hammam yang modern, kita juga dapat menemukan sauna, gym dan Jacuzzi di dalamnya. Hammam biasa memfasilitasi tamu dengan layanan pijat ekstra di tempat pemandian (terkadang mereka juga memandikan para tamu!) Banyak sekali gay yang menjadikan Hammam sebagai tempat untuk berkumpul, bersosialisasi dan terkadang melepas hasrat. Ada Hammam yang memang diperuntukkan khusus bagi gay di Istanbul. Banyak juga yang konsepnya family–friendly. Terkadang saya mempertanyakan konsep family friendly. Lha, memangnya Gay tidak boleh punya keluarga juga?

Salah satu batu sandungan bagi Turki dalam usahanya menjadi anggota penuh Uni Eropa (UE)  yaitu masalah penerimaan terhadap LGBT. Parlemen Eropa sudah secara jelas menyatakan bahwa pengakuan hak LGBT adalah bagian dari syarat aksesi keanggotaan. Turki masih akan dan harus secara tegas membuktikan bahwa negara tersebut telah secara penuh mengikuti nilai–nilai yang diakui secara bersama di Eropa, termasuk ide tentang kesetaraan. Di sini kita melihat cukup kuatnya queer politics bermain di tingkat regional. Terlepas dari betapa sekulernya Turki, diperlukan suatu agenda riil dari pemerintahan Erdogan, dan berbasis dari akar rumput; tidak elitis. Kemajuan–kemajuan yang telah dicapai Turki dalam hal hak LGBT, masih memerlukan proses panjang untuk merangkul beberapa elemen masyarakat lain seperti etnis Kurdi dan kelompok Islamis. Meskipun begitu, optimisme tetaplah ada bagi LGBT di bumi Ottoman.

Apa dampaknya jika Turki mengakui hak–hak LGBT? Menurut saya, dengan diakuinya hak LGBT di Turki, secara langsung dapat mengurangi Islamofobia yang sedang merebak di daratan Eropa. Eropa memandang Islam sebagai agama dengan nilai yang belum SOGI – friendly. Hal tersebut juga menjelaskan mengapa Turki seolah ditantang oleh UE untuk dapat mengintegrasikan secara penuh nilai–nilai Eropa tersebut. Namun hal tersebut tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat dimana prioritas pemerintahan Erdogan adalah perekonomian dan masalah terorisme (baca: ISIS). Dampak lain dari diakuinya hak LGBT di Turki yaitu sebuah efek domino; akan diakuinya juga hak–hak LGBT di negeri berpenduduk dominan Islam lainnya terutama yang merupakan sahabat–sahabat Turki seperti Azerbaijan, Uzbekistan, Kazakhstan, Albania dan Kosovo. Bukan mustahil juga bila Indonesia dan Malaysia akan terpengaruh dengan kebijakan tersebut, mengingat saat ini Turki dari segi ekonomi dan militer adalah Negara yang dianggap sebagai pemimpin bagi negara–negara Islam. Bukan Saudi Arabia atau Iran.

Turki telah hadir dalam pentas politik dunia sebagai negeri pewaris Ottoman yang kuat, sedang bergerak maju dan masuk ke dalam jajaran G–20. Negeri yang terletak di antara dua benua, dan budayanya merupakan percampuran dari berbagai peradaban, sedang mencoba mengukir jalan dimana negara, agama, dan hak–hak sipil dapat berjalan beriringan dalam satu komando. Di malam sebelum saya berangkat ke bandara Attaturk Istanbul, saya menikmati semangkuk profiterole coklat di Taksim Square sembari memerhatikan orang–orang yang berlalu–lalang. Beberapa pria tampak mendekati turis–turis yang sedang sendirian, menawarkan berbagai rupa jasa, termasuk escort. Gule–Gule (good bye)!

 

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Nasional. Hp: 081285489243 / twitter @teukuramzyfzy / instagram @schmidtram