Oleh: Siti Rubaidah
Komunitas Waria di Aceh sebenarnya mengetahui jika ada peringatan Transgender Day of Remembrance (TDoR) yang diperingati setiap tanggal 20 November — namun mereka tidak bisa merayakannya secara terbuka oleh sebab situasi yang tidak mendukung. Mereka biasa merayakannya dengan membuat diskusi bersama secara swadaya dengan mengundang komunitas waria yang lain seperti Violet Grey. Dalam acara ini, komunitas waria di Aceh memperingati teman-teman waria yang sudah meninggal dan menginisiasi sebuah gerakan untuk mengubah situasi yang tidak mendukung bagi kelompok waria.
“Keberadaan teman-teman waria belum mendapat dukungan karena di Aceh menerapkan Syariat Islam. Kaum waria diharuskan menghargai masyarakat mayoritas, walaupun kami juga beragama Islam dan merupakan penduduk asli Aceh tetapi ruang gerak kami masih sempit. Akhirnya peringatan transgender day masih dilaksanakan secara tertutup dan hanya di komunitas waria saja,” tutur Citra, Ketua Tarena, sebuah komunitas yang beranggotakan waria di Aceh.
Kekerasan terhadap waria mungkin tidak terjadi di Aceh saja, tetapi akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap kelompok waria di Aceh justru sedang booming. Banyak penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak tidak bertanggung jawab. Mereka ditangkap semena-mena dan tanpa alasan yang jelas baik ketika mereka bekerja maupun sedang berkumpul.
“Bahkan ada penangkapan ketika kami lagi tidur atau sedang bekerja tanpa perintah penangkapan yang jelas,” jelas Citra, “Seringkali kita ditangkap seolah-olah kita berbuat salah dan kriminal. Tidak ada penjelasan mengapa kami ditangkap, dan ujung-ujungnya kami menerima bullying. Ada kasus di mana waria ditangkap ditangkap oleh salah satu ormas yang saya tidak bisa disebutkan namanya, di tahan sampai 6 hari, dan baru bisa keluar setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
Harapan Citra dan teman-teman di komunitas waria yang lainnya adalah bagaimana masyarakat melihat kaum waria lebih sebagai warga negara yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya oleh pemerintah seperti halnya warga masyarakat lainnya yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.
“Harapan saya ada ruang bagi waria untuk mengekspresikan diri di masyarakat seperti untuk memperingati Transgender Day. Kita bisa melihat bagaimana perempuan bisa mengkampanyekan hak-haknya secara terbuka dan terang-terangan, tetapi ketika waria berjuang menyuarakan hak-haknya malah masyarakat melihat identitas warianya dan sudah langsung dianggap salah. Bukan mendengarkan apa yang dilakukan dan apa perjuangannya. Bagaimana mengubah mindset masyarakat yang melihat bahwa waria juga seperti halnya warga negara lain yang perlu dilindungi dan dipenuhi hak-haknya.” Kata Citra menutup pembicaraan.