Search
Close this search box.

“Bulu Mata” Wajah Waria Indonesia

Suarakita.org – “Apa itu Demokrasi?” kata Ayu Diasti Rahmawati koordinator PACER UGM yang sedang menyelenggarakan Bedah Film “Bulu Mata” yang berkisah tentang keadaan waria di Aceh.

Film yang berdurasi lebih dari 30 menit tersebut mengisahkan bagaimana Waria Aceh menghadapi Qonun Jinayat sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah Daerah yang merepresentasikan Aceh sebagai serambi Mekah untuk menerapkan Syariat Islam.

Kegiatan yang terselenggara berkat kerjasama antara Pesantren Waria yang di pimpin Ibu Shinta, Perkumpulan Suara Kita dan PACER UGM dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Hubungan International Universitas Gajah Mada pada kamis 20 Nopember 2015 berkaitan dengan Hari Transgender yang lebih dikenal dengan Transgender Day of Remembrance.

Dalam diskusi, dibongkar bagaimana Waria di Indonesia masih dianggap sebagai masyarakat kelas ketiga oleh Negara, bahkan 60% waria tidak memiliki data kependudukan. Untuk membuat KTP dibutuhkan surat pindah, sementara kebanyakan waria ‘lari’ dari daerah karena diusir dari rumahnya.

Memang saat ini ada perubahan pola pergerakan LGBT di Indonesia. Dulu pergerakan LGBT hanya ada pada tataran pergerakan sosial, kini telah timbul kesadaran Waria sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Ada pergerakan politis yang tidak hanya cukup pada penerimaan masyarakat pada program ‘Waria Pulang Kampung’ semata namun mengarah ke tuntutan hak berpolitik.  Hal ini dapat dimaknai bukan sekadar mencoblos saat pemilu namun juga hak-hak dasar untuk mengakses layanan termasuk KTP sebagai tanda bahwa negara mengakui seseorang sebagai warga negara.

Bu Sinta mengungkapkan, “Bagaimana sulitnya hidup sebagai Waria di Indonesia, kalau saja ditanyakan apa yang kami inginkan, apakah negara mampu mengakui kami sebagai gender ketiga?”

Mas Azis mantan Koordinator PKBI Jogjakarta juga menambahkan bahwa ada beberapa konsep pengakuan negara terhadap transgender, seperti di India ada gender ketiga sedangkan di beberapa negara Eropa dalam penyebutan jenis kelamin ditulis “XX” sebagai refleksi dari “beyond Sexual” bisa transgender, intersex atau yang lainnya.

Terhadap pertanyaan , “Apakah itu Demokrasi?” Ayu Diasti melanjutkan “Demokrasi adalah Rakyat sebagai kekuatan Negara. Lalu rakyat yang mana? Ketika sebagian masyarakat bisa menikmati segala akses sedangkan sebagian kecil  bahkan tidak dapat mendapatkan akses, lalu apakah negara ini berhak disebut sebagai negara demokrasi? Ketika kekerasan masih terjadi, apakah layak buat negara disebut negara demokrasi? Mari kita renungkan bersama-sama.” (Oriel Calosa)