Oleh: Wisesa Wirayuda
Suarakita.org – Jawa Barat memang bukanlah tempat yang ramah untuk Transgender. Itulah kesimpulan saya setelah saya mendengarkan kisah dari seorang Transgender di Cimahi. Namanya Berby Gita, di kota kelahirannya 39 tahun yang lalu ini justru dia menerima kekerasan-kekerasan hanya karena seorang Transgender.
“Pengalaman saya cukup berat.” Begitulah kisah ini dimulai. “Dulu saya seorang pekerja seks, karena untuk mencari sesuap nasi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Saya juga sering mendapatkan kekerasan dari para homophobia, seperti dipukul, dibuang, dilempar, diusir.”
Di tahun 2004 lalu, Berby dan teman-temannya pernah mengalami kekerasan oleh petugas keamanan bahkan dilecehkan di ruang terbuka, “Kami dilecehkan oleh aparat karena kewariaan kami. Sampai kami ditodong pakai pistol dan dimasukan kedalam mobil, lalu kami ditelanjangi. Setelah itu kami diturunkan dengan paksa dalam keadaan telanjang kemudian disuruh mengejar mobil tersebut dan mengambil satu persatu baju kami dalam keadaan hujan deras.”
Kejadian pahit seperti ini terulang lagi di tahun 2012 lalu, Berby dipaksa untuk pergi dari tempat tinggalnya. “Saya diusir dari lingkungan warga karena ketidaksukaan satu orang terhadap keberadaan waria yang kemudian mempengaruhi pihak Kelurahan. Mirisnya pihak Kelurahan justru mengganggap itu sebagai keberhasilan karena sudah meminimalisir ‘penyakit masyarakit’.”
Namun seperti motto hidupnya yaitu “Berpikir positif dan terus belajar”, Berby juga memiliki banyak prestasi yang ia raih. Dimulai dari Juara Volly baik itu di daerah maupun Nasional, juara lipsing se-Jawa Barat, pernah masuk kategori Miss Favorit dan Miss Seksi pada ajang pemilihan top model waria di Kota Cimahi, terlibat membangun Srikandi Perintis menjadi organisasi yang sah dan memiliki akta notaris, terpilih menjadi fasilitator Intervensi Perubahan Perilaku dari tingkat LSM sampai Nasional dan terlibat jaringan di Ikatan Praktisi Intervensi Perubahan Perilaku Indonesia dan mendapatkan sertifikasi Kementrian Kesehatan, menjadi ketua Srikandi Perintis, dan masih banyak lagi.
“Saya berusaha bertahan. Saya mencoba melakukan hal positif yang saya bisa dari olah raga dan tari pada saat itu. Tetapi itu saja belum cukup kuat untuk menggugah hati para homophobia (dan Transphobia –red.). Sedangkan aparat yang kami ketahui sebagai pelindung bagi masyarakat selalu menyalahkan saya karena kewariaan saya. Sampai akhirnya saya tidak percaya adanya perlindungan bagi kelompok waria.”
Menurut Berby, sangat penting mengedukasi masyarakat tentang SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body). “Sangat penting, karena menyangkut hak dan eksistensi. Sehingga waria bisa lebih berdaya serta menghilangkan stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa melihat potensi dan bukan kekurangannya. ”
Pesan Berby kepada teman-teman Transgender yang lain, “Teruslah lakukan apa yang menurut kalian terbaik. Setiap manusia memiliki potensi yang besar dan waria memiliki itu. Serta terus berfikir positif, semangat dan lakukan yang terbaik.”