Search
Close this search box.

Echa: Pentingnya Edukasi Bagi Transgender di Aceh

Suarakita.org — Nangroe Aceh Darussalam seringkali disebut dengan seramoe mekkah (kota serambi mekkah), dimana nafas Islam begitu kental mewarnai kehidupan warga kota yang terletak di utara Sumatera ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ada pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang berlaku sejak tahun 2001. Adapun dasar hukum pelaksanaan syari’ah Islam adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, dimana pasal 18 menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah akan melaksanakan syariat Islam yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu.

Sejak syariat Islam dideklarasikan pada tahun 2001 hingga sekarang, pro dan kontra terhadap aturan tersebut terus bermunculan. Rilis Komnas Perempuan tentang Kebijakan Diskriminatif pada akhir Oktober lalu membuat kita miris bahwa dalam satu tahun terakhir (September 2014 – Oktober 2015) sebanyak 31 kebijakan diskriminatif kembali dilahirkan di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satunya Aceh yang menyumbang 8 qanun atau Perda yang diskriminatif tertinggi di samping Jawa Barat dan Jawa Timur.

Rilis Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pemberlakuan Qanun Jinayat dan Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh, adalah salah satu contoh ketidakpatuhan Pemerintah Daerah pada Prinsip-prinsip Konstitusi, karena kedua qanun tersebut meruntuhkan jaminan atas hak asasi manusia (melalui pemberlakuan hukum cambuk sebagai mekanisme penghukuman, dan pengkondisian masyarakat untuk menganut satu keyakinan tertentu). Pemberlakuan kedua qanun ini secara sistematis akan dapat meruntuhkan kebhinekaan bangsa.

Dalam sebuah acara Konferensi nasional Pemulihan, Echa dari Violet Grey menuturkan bahwa selama ini pemerintah (Pemda Aceh-red) seringkali mempersulit teman-teman transender atau waria dalam mengurus ijin usaha salon mereka. “Ujung-ujungnya teman-teman transgender di sana menjadi pasrah, ya sudahlah memang kami seperti ini, jadi harus terima nasib saja”, ungkap Echa.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi Echa dan teman-teman transgender yang lebih sadar untuk merasa perlu memberi edukasi tentang hak-hak mereka — bahwasannya transgender juga mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Bully-bully-an yang mereka terima, menurut Echa, masih seputar pertanyaan jenis kelamin mereka apakah laki-laki atau perempuan. Dan jika ada transgender yang kaya, merekapun ternyata tak lepas pula dari bullying. “Akhirnya sedikit-sedikit kami harus mengeluarkan uang agar usaha kami bisa tetap jalan,” lanjut Echa.

Transgender yang menjadi korban kekerasanpun sulit untuk mendapatkan keadilan di sana. Terkadang, ketika mereka membuat laporan, tidak langsung ditangani dan diterima. Teman-teman yang menjadi korban kekerasan, walau sudah melapor dan menjalani visum tetap saja di-bully. Seperti dengan kalimat: “Kamu sih keluar malam-malam.” Bahkan tak sedikit korban kekerasan yang diperlambat prosesnya (Siti Rubaidah).