Search
Close this search box.

Pengaruh Fiksi Romance terhadap Empati & Penerimaan Pembaca

 

Suarakita.org Sabtu, 7 November 2015  seperti biasa SuaraKita  melanjutkan tradisi diskusi yang sering diadakan pada Sabtu sore. Format acara bisa bermacam-macam terkadang kuliah umum, bedah buku, dan nonton film bersama. Namun yang terpenting dari semua itu adalah diskusi dan sharing yang terjadi setelahnya. Pada kesempatan ini SuaraKita membedah skripsi yang dibuat oleh Ayu Puspita Sari Ningsih, Mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia dengan Judul “Hubungan Intensitas Paparan Fiksi Romantis LGBT, Empati Pembaca dan Sikap Pembaca pada Kaum LGBT di Indonesia”. Ayu merupakan salah satu dari tiga orang yang menerima beasiswa penelitian yang diadakan oleh SuaraKita. Hujan deras yang mengguyur  Ibu Kota tidak menyurutkan langkah  Sahabat SuaraKita untuk datang dan mengikuti diskusi sore hari itu. Tidak Kurang dari lima belas orang datang dan mendengarkan pemaparan materi yang disampaikan oleh Ayu tepat pukul 16.00 WIB.

Ayu memulai pemaparannya dengan menjelaskan latar belakang  pembuatan skripsi tersebut. Berdasarkan hasil survei Pew Research Global Attitudes Project mengenai LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) yang dilaksanakan pada tahun 2007, 93% responden menyatakan bahwa kaum homoseksual belum dapat diterima  di masyarakat (Jakarta Globe, 2013; UNDP. USAID, 2014). Ayu yang ternyata salah satu penikmat fiksi romantis LGBT  semenjak tahun 2005 sehingga menguatkan latar belakangnya membuat skripsi tersebut, “ Ya, ini memang hasil dari observasi  personal juga sih”, tegas Ayu. Ayu kemudian memaparkan hasil penelitiannya yang menjelaskan adanya korelasi antara intensitas pembacaan fiksi dengan sikap pembaca yang berubah. Hasil penelitian Fisher (1968)  misalnya sangatlah menarik. Fisher meneliti hubungan antara paparan fiksi dengan perubahan sikap anak terhadap kaum yang mendapat stigma. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwasanya  anak yang terpapar kisah fiksi tentang perjuangan seorang ras Indian akan cenderung lebih toleran terhadap ras tersebut dibanding anak yang tidak membaca kisah tersebut. Selain itu masih berdasarkan hasil penelitian, orang dewasa yang sering  membaca fiksi memilki kepekaan sosial dan empati yang tinggi dibandingkan yang tidak.

Hasil penelitian lainnya yang juga cukup menarik adalah adanya eksperimen terhadap tiga surat permintaan bantuan keuangan yang berasal dari dua orang nyata dan satu fiksi. Yang pertama adalah surat permintaan bantuan financial via surel dari seorang anak yatim piatu di sebuah negara korup. Yang kedua adalah salinan surat permintaan bantuan financial yang ditulis tangan oleh sorang anak yatim piatu di Uganda. Dan yang terakhir adalah cuplikan cerita novel Alexander Mc Call yang berjudul Morality for Beautiful Girls yang menceritakan tentang Bothoteli, anak yatim piatu di Afrika yang juga tengah mencari bantuan financial untuk hidupnya. Hasil ekperimen membuktikan bahwa ternyata partisipan cenderung ingin menolong Bathoteli karena  kisahnya lebih terasa nyata daripada dua jenis surat yang datang dari manusia yang hidup di dunia nyata.

Kembali pada fiksi romantis LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender), hasil penelitian juga menunjukkan hal yang sama, bahwasanya para pembaca fiksi romantis LGBT lama kelamaan dapat menerima keberadaan LGBT. Ayu yang awalnya pada tahun 2005 hobi membaca fiksi romantis LGBT lama kelamaan dapat menerima keberadaan LGBT dan mengaku sebagai supporter penuh terhadap gerakan LGBT pada tahun 2010. Ada banyak genre fiksi LGBT, namun yang digemari di Indonesia adalah jenis fiksi romantis. Ayu kemudian menjelaskan tiga bentuk fiksi romantis, antara lain Fanfiksi, Manga Yaoi/Yuri dan Novel. Fanfiksi adalah kisah buatan penggemar yang berdasar pada suatu karya/media yang sudah ada terlebih dahulu.  Sedangkan Manga Yaoi/Yuri , Yaoi adalah istilah untuk komik buatan Jepang yang khusus menceritakan tentang kisah cinta laki-laki homoseksual, sementara Yuri menceritakan tentang kisah cinta perempuan homoseksual.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian adalah dengan membagikan kuesioner sebanyak banyaknya. Dari 272 partisipan , 184 set data dinyatakan layak untuk diolah. Penelitian dilakukan selama bulan April 2015 dengan partisipannya adalah pembaca ekslusif yang hanya menggemari bacaan tersebut minimal  selama satu tahun dan berumur 18 Tahun. Dari Hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara intensitas paparan fiksi romantis LGBT dengan empati pembaca. Meskipun demikian gabungan intensitas membaca dan empati pembaca dapat memprediksi sekitar 7% sikap partisipan terhadap kaum LGBT, dengan hanya intensitas paparan fiksi yang secara signifikan memprediksi tingkat heteroseksisme.

Setelah selasai pemaparan sesi tanya jawab pun dimulai. Wida mahasiswi Universitas Indonesia mempertanyakan bagaimana cara atau metode pendekatan yang dilakukan untuk masuk ke  dalam komunitas-komunitas  tersebut dalam rangka   mencari data . Ayu menjawab bahwa dia adalah bagian dari komunitas tersebut, maka tidak susah baginya untuk masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut, “Karena saya juga pembaca, kadang saya juga bisa masuk ke dalam komunitas tersebut”, jelas Ayu. Yudi (SuaraKita ) mempertanyakan arti “empati” yang dimaksud dalam skripsi tersebut. Menurut Ayu, empati yang dimaksud dalam penelitian tersebut adalah bagaimana pembaca dapat merasakan hal yang dialami  oleh kelompok yang ada dalam cerita tersebut. Ayu menambahkan misalnya, bagaimana masalah-masalah yang dihadapi oleh LGBT terhadap masyarakat sekitarnya, penerimaan keluarga dan masalah- masalah lain  sehingga pembaca dapat berempati dengan ikut merasakannya. Eddy (SuaraKita) menanyakan sejauh mana pengaruh membaca fiksi romantis terhadap penerimaannya secara personal  kepada LGBT. Menurut Ayu, dia merupakan pembaca yang sama seperti pembaca lain, awalnya hobi membaca fanfiksi Yaoi dan Yuri. Pada tahap ini Ayu mulai mengenal dan berempati terhadap LGBT, namun setelah mulai membaca novel M/M dan F/F Romance yang memang banyak memasukkan isu-isu yang kerap dialami oleh LGBT dan memilki dinamika hubungan yang lebih sesuai dengan pasangan homoseksual di barat , Ayu pun mulai memahami isu-isu LGBT dan benar- benar memutuskan menjadi supporter penuh bagi gerakan LGBT.

Terakhir, Ayu mengajukan hipotesis bahwa perlu  diadakan  penelitian lebih lanjut terhadap responden yang ikut berpartisipasi dan datanya dianggap sah untuk diolah. Karena menurut Ayu setelah penelitian ini ada beberapa responden yang kemudian bercerita / coming out mengenai orientasi seksual mereka lewat surel kepada Ayu. Diakhir diskusi Ayu sedikit mempromosikan novel yang ia buat bersama sahabatnya. Novel tersebut berjudul “PENCARIAN; TRILOGI KERIS TIGA NAGA yang dalam proses pembuatannya menghabiskan waktu selama tiga tahun. Karena trilogi, maka rencananya novel yang menurut Ayu bergendre M/M dan F/F Romance ini akan dibuat dalam bentuk tiga buah buku bersama sahabatnya. Tidak terasa waktu terus berlalu dan hujan pun berhenti seiring dengan berakhirnya diskusi pada sore hari itu. (Eddy)