Search
Close this search box.

[Kisah] “Warung Gaul” bagi Kaum LGBT

Oleh: Sugianto*

 

Suarakita.org – Perjalanan ke sebuah kota di Provinsi Sumatera Utara menjadi sangat  menarik manakala ada informasi  tentang adanya sebuah warung tempat berkumpulnya kaum LGBT. Dan perburuan untuk mencari beritapun kami laksanakan. Tepatnya, pada tanggal 28 Oktober 2015 kami tertarik untuk mampir dan menikmati suasana warung tersebut.

Akses menuju lokasi warung mudah dijangkau, kendaraan umum beroperasi selama 24 jam melewati jalan  tak jauh dari warung tersebut. Dengan sebuah angkutan kota, kami turun di sebuah simpang jalan kemudian menyeberang jalan. Persis berada di tikungan, kami sudah menemukan warung yang dimaksud. Sekitar jam 21.00 (jam 9 malam)  sampai ditempat tersebut.

Sebuah warung nasi goreng  dengan brand “Warung Gaul” (bukan nama sebenarnya-red) sudah ramai dikunjungi pengunjung yang rata-rata adalah kaum LGBT. Lokasinya tidak besar memang, sebuah rumah toko (Ruko) berukuran 2 kali 4 meter ini digunakan sebagai tempat memasak serta menyajikan  pesanan pengunjung dengan trotoar depan warung dijadikan tempat duduk tamu dengan menggunakan kursi plastik.

Rafi pemilik “warung gaul” menuturkan, bahwa dia membuka warung tidak semata bertujuan bisnis. Kebutuhan akan adanya tempat berkumpul dan saling bertukar pikiran serta berbagi cerita antara kaum LGBT menjadi sebuah kebutuhan yang dirasakan penting bagi Rafi dan yang teman-temannya.

“Dulu ada beberapa warung tempat berkumpul, tetapi  beberapa warung tersebut sudah tutup dengan berbagai alasan. Dengan tutupnya warung tempat kami (LGBT-red) biasa berkumpul maka tidak ada tempat berkumpul lagi. Karena  saya sudah tidak lagi bekerja disana dan tidak ada kegiatan maka kemudian ada ide untuk buka warung ini.” Ungkap Rafi.

Ungkapan Rafi diamini oleh Andie (salah seorang pengunjung) yang sedang meminum juz di sana. Andie adalah salah satu langganan “warung gaul” yang jauh-jauh datang dari tempat tinggalnya dengan menempuh perjalanan lebih kurang 15 Km, demi menikmati menu di “warung gaul” sekaligus bertemu dengan kawan-kawannya sesama LGBT.

Dengan adanya “warung gaul” dirinya merasa ada tempat  bercerita yang tidak bisa dia ceritakan ditempat lain.  Sebagai kelompok minoritas yang sering didiskriminasi dan masih dianggap menyimpang oleh masyarakat, dirinya tidak berani membuka diri. Maka ketika ada tempat berkumpul dan berkomunikasi seperti di “warung gaul”, maka mereka bisa menunjukkan jati dirinya.

“Kadang kita banyak masalah ditempat kerja, masalah hubungan dengan pacar dan masalah-masalah lainnya. Kami tidak ada tempat bercerita, makanya disini kami bisa kumpul dan saling bercerita tanpa harus menjadi orang lain. Kami tidak takut kalau cerita dengan sama-sama komunitas LGBT tanpa harus malu atau takut masalah kami tersebar di keluarga atau ditempat kerja misalnya. Sepulang dari sini pikiran jadi berkurang beban itu.” Ungkap Andie.

Lain lagi dengan Bayu (juga salah satu pengunjung). Bayu merasa tidak memiliki kawan berbagi, kawan-kawan LGBT yang dimiliki adalah kawan di media sosial. Perkawanan dimedia sosial dirasa tidak memberikan rasa nyaman bagi laki-laki umur 19 tahun ini.  Kawan-kawan di media sosial yang ditemuinya saat berkomunikasi pembicaraan yang disampaikan tidak terlepas hanya pembicaraan tentang “sex”, sehingga dia sering risih ketika terlibat percakapan yang ada.

Saat tanpa sengaja dia mampir di “warung gaul” beberapa bulan yang lalu, dia merasa mendapatkan kawan yang tidak bicara hanya sebatas sex, tetapi persoalan-persoalan LGBT yang positif dia dapatkan di warung tersebut. Selain itu dirinya merasa mendapatkan banyak kawan dari berbagai latar belakang kehidupan dengan tulus.

Meski tidak se-istimewa kafe-kafe yang tengah menjadi tren kalangan anak muda di kota metropolis, namun tamu-tamu yang berkunjung di “warung gaul” terlihat betah duduk-duduk  di warung tersebut sambil menikmati menu yang dipesan sambil berbincang satu sama lain antar pengunjung. Warung  dibuka mulai dari jam 5 sore dan tutup sekitar jam 2 dini hari. Mudah-mudahan warung ini bisa menjadi tempat alternatif dan memberikan edukasi tentang keberagaman yang ada.

 

 

*Penulis adalah seorang aktifis tani di Sumatera Utara