Search
Close this search box.

[Opini] Pilkada dan Pangarusutamaan Masalah LGBT

Oleh: Siti Rubaidah*

Suarakita.org — Di penghujung tahun 2015 ini bangsa Indonesia akan menyelenggarakan hajatan besar, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Tepatnya tanggal 9 Desember 2015, sebanyak 273 Kabupaten/Kota dan 9 Provinsi akan menyelenggarakannya. Penyelenggaraan pilkada secara serentak ini bermaksud untuk mengakomodir keinginan masyarakat yang menghendaki pelaksanaan pemilu (pemilihan umum) yang efisien dan hemat dari sisi pendanaan.

Dasar hukum penyelenggaraan pilkada serentak adalah Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pasal 201 ayat 1 yang menyatakan bahwa pemungutan suara serentak dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama di tahun ini.

Bicara tentang pilkada, yang terlintas di benak kita adalah upaya memobilisasi suara masyarakat untuk memberi dukungan politik bagi salah satu kandidat yang diusung oleh partai politik atau jalur perorangan/independen. Segala daya upaya dilakukan oleh partai politik, tim sukses bahkan kelompok masyarakat yang menyebut dirinya relawan untuk mengerahkan dukungan suara sebanyak-banyaknya dari berbagai elemen masyarakat. Umumnya, kelompok masyarakat mayoritaslah yang menjadi perebutan semua kandidat. Karena kelompok mayoritas jelas mempunyai potensi dalam hal kuantitas atau jumlah suara. Pemeluk agama Islam, keturunan Jawa, penduduk asli atau lokal setempat bisa kita kategorikan dalam kelompok masyarakat yang seringkali diperebutkan dalam pilkada.

Perempuan secara kuantitas memang banyak jumlahnya, dikatakan bahwa separuh dari penduduk Indonesia adalah perempuan. Sehingga kelompok ini juga seringkali menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang diperebutkan. Akan tetapi, karena budaya patriarkhi yang masih kuat, perempuan dikategorikan sebagai masyarakat yang marginal. Sebagai upaya penguatan terhadap posisi perempuan yang masih marginal dan terbelakang maka diberikanlah affirmative action, dengan memberi jatah 30% keterwakilan perempuan dalam legislatif. Pangarusutamaan gender dan perempuan yang diperjuangkan oleh banyak pihak kini mulai memperlihatkan hasil. Sehingga perempuan yang merupakan kelompok termarginal kini mulai banyak yang menduduki posisi strategis sebagai pembuat kebijakan. Bahkan, tercatat sebanyak 58 calon kepala daerah adalah perempuan dan 64 calon wakil kepala daerah perempuan akan bertarung dalam pilkada serentak nanti.

 

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi kaum LGBT dalam politik?

Pertanyaan ini tentunya menarik untuk segera kita kupas bersama. Beberapa waktu yang lalu penulis bertanya kepada salah seorang teman, “Adakah data yang pasti tentang jumlah LGBT di Indonesia?” Jawabannya, memang agak sulit mencari data pastinya, tetapi berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kesehatan tahun 2006 setidaknya disebutkan jumlah gay saat itu 760 ribuan orang, sementara jumlah waria sekitar 28 ribu orang. Dede Oetomo salah satu aktivis LGBT mengatakan tidak ada jumlah yang pasti, karena tidak pernah bisa dihitung disebabkan mereka masih menutup diri dan bersembunyi. Hal ini disebabkan hukum di Indonesia masih belum bisa menerima keberadaan mereka.

Dilihat dari jumlahnya, maka LGBT termasuk kelompok minoritas. Penerimaan masyarakat terhadap keberadaan kaum LGBT yang masih rendah juga menyebabkan peranan politik LGBT sangat rendah. Masyarakat masih melihat LGBT adalah sebuah ketidakwajaran dan kesalahan sehingga paradigma tersebut juga mempengaruhi pandangan para kandidat maupun partai politik. Mereka tidak melihat pentingnya peran politik kaum LGBT termasuk melakukan penggalangan suara dari kaum LGBT ini. Maka sangat lumrah, jika ‘jarang’ ada kandidat atau partai politik yang mencari dukungan politik dari kelompok minoritas ini.

Kata ‘jarang’ bukan berarti tidak ada, dalam praktek perpolitikan dan penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, penulis beberapa kali menemukannya. Pertama, penulis menemukan sebuah ‘Kontes Waria’ yang diselenggarakan oleh Forum Pemberdayaan Perempuan Magelang (FPPM) dalam rangka mengusung Bibit Waluyo dan Rustriningsih sebagai calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Tengah. Saat itu semboyan ‘Perempuan pilih perempuan’ diusung oleh FPPM untuk memobilisasi pemilih perempuan yang jumlahnya mayoritas. Sedangkan waria atau transgender yang berdasar orientasi seksual dan identitas gendernya lebih nyaman diidentikkan dengan perempuan menjadi suara tambahan yang menjadi sasaran.

Tak lama berselang, penulis juga mendengar penuturan seorang Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Sereida Juanita Tambunan yang menyatakan bahwa ketika masa Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) tahun 2014 lalu, dirinya aktif menggalang dukungan suara dari kaum transgender atau waria dengan melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan dan pencegahan HIV/AIDS. Keberpihakannya mendukung kelompok minoritas diwujudkan tidak hanya dengan menggalang dukungan dari kelompok LGBT saja tetapi juga diwujudkan dengan sikapnya yang tegas mendukung Lurah Susan ketika mendapat penolakan keras dari sebagian masyarakat Kelurahan Lenteng Agung karena dia perempuan dan beragama bukan Islam.

 

Bagaimana sikap politik kaum LGBT sendiri?

Sebuah dialog komunitas LGBT nasional yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali pada bulan Juni 2013 dan dihadiri oleh 49 lembaga menyusun sebuah laporan yang diberi judul: “Hidup Sebagai LGBT di Indonesia, Laporan Nasional Indonesia” melaporkan: kaum LGBT setuju bahwa gerakan LGBT perlu lebih bersifat politis. Namun mereka juga mengakui bahwa sebagian besar organisasi LGBT belum terbiasa melibatkan diri dengan para politisi dan partai politik terpilih dalam upaya mempengaruhi perundang-undangan dan kebijakan pemerintah.

Menurut beberapa peserta yang lebih berpengalaman di bidang politik, barangkali lebih memungkinkan untuk memajukan hak-hak LGBT dengan cara mengarusutamakan permasalahan LGBT dalam wacana politik sedemikian rupa sehingga masyarakat akan memilih kandidat yang mendukung keragaman dalam segala aspeknya, termasuk orientasi seksual dan identitas gender, dan bukan sekedar mencalonkan kandidat LGBT saja. Aktivis LGBT perlu mendapatkan peningkatan kapasitas dan edukasi di bidang politik.

Penggalangan kelompok minoritas, termasuk kaum LGBT dari para kandidat atau partai politik dalam momentum pemilihan umum ini tentunya merupakan atmosfir baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Keberpihakan kandidat atau partai politik terhadap LGBT, buruh migran, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan kelompok minoritas lainnya seperti Jemaat Ahmadiyah, kaum Syiah di Sampang Madura dan yang lainnya merupakan modal besar bagi terbangunnya keberagaman dan toleransi dalam mewujudkan semangat Bhineka Tunggal Ikha di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sri Budi Eko Wardani dalam sebuah evaluasinya terhadap proses pemilu di Indonesia menyatakan bahwa selama ini partai politik hanya menganggap pemilu sebagai lumbung suara yang diisi dengan penawaran uang, barang dan janji-janji. Hubungan antara pemilih, apa yang dirasakannya, kemudian memilih siapa dan bagaimana setelah itu terjadi, belum terkuatkan. Partai politik maupun kandidat yang diusungnya tidak lagi memikirkan kebijakan apa yang merupakan realisasi janji mereka saat kampanye berlangsung.

Demokrasi adalah demonopolisasi. Sehingga di dalamnya harus menjamin kebebasan. Tetapi faktanya sekarang demokrasi politik kita belum menjamin kesetaraan dan kebebasan. Hasil dari proses demokrasi kita selama ini hanya bisa diakses kalangan elite saja dan belum ada mobilitas sosial-politik dari kelas bawah untuk menjadi orang atau bagian yang mempengaruhi kebijakan.

Ke depan, partai politik seharusnya memberikan porsi terhadap kelompok minoritas tidak hanya dalam hal mencari dukungan suara saja tetapi juga memberikan kesempatan politik kepada kelompok minoritas, bahkan memastikan bagaimana perwakilan mereka terpilih. Dalam prakteknya, kesempatan untuk masuk dalam kancah politik sudah mulai diambil oleh kelompok minoritas maupun kaum LGBT. Tetapi sayang, sampai sekarang hasil pilleg maupun pilkada belum mencerminkan keterwakilan ragam warga negara. Hasil pemilihan masih berupa sirkulasi elit di kalangan tertentu saja dan tak pernah terbuka.

Kembali pada tema semula, bahwa Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 semestinya menjadi momentum penting dalam proses kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Dimana terjadi persinggungan antara kandidat dan partai politik sebagai pemangku kebijakan dengan seluruh masyarakat. Pilkada sebagai bagian dari proses demokrasi dapat dimanfaatkan dalam rangka mengarusutamakan permasalahan LGBT yang selama ini terabaikan.

Momen politik ini merupakan ruang untuk mengarusutamakan permasalahan hak asasi manusia dan orientasi seksual serta identitas gender di dalam lembaga-lembaga negara di tingkat daerah dan lokal (termasuk gubernur, bupati, kepala daerah dan kepala desa) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRD/DPR-RI). Sehingga pasca hiruk pikuk Pilkada, sang kandidat terpilih maupun partai politik mau merealisasikan janji kampanyenya dengan membuat kebijakan yang mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat termasuk kelompok minoritas dalam segala aspeknya.

Dengan demikian, demokrasi yang menjadi sendi-sendi dalam mengatur kebebasan dan kesetaraan bisa dinikmati oleh semua pihak, tidak hanya bagi kelompok mayoritas, kaum ellit atau pihak berpengaruh saja. Tetapi kaum minoritas, termasuk kaum LGBT sebagai warga negara Indonesia juga bisa menikmati hasilnya. Semoga!

 

*Penulis adalah pengamat masalah sosial dan aktif dan kontributor Suarakita.org