Oleh: Aris Kurniawan*
Suarakita.org – Padaku Tirpan meneruskan ceritanya yang terputus kemarin. Tengah malam itu, katanya, ia terbangun lagi. Matanya terasa perih. Ia melihat rontokan rambutnya di bantal. Ingatannya melayang lagi pada Roni. Keringat membanjiri tubuhnya hingga piyamanya lembab. Di luar hanya ada angin mengelus-elus daunan dan suara binatang malam. Suara kendaraan hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan mengirimkan keperihan. Di langit yang telah lenyap bulan meleleh. Embun berterjunan menaklukan pengembaraan debu. Melalui celah jendela ia melihat kelebat bayangan. Lebih tiga minggu ini tidurnya tak pernah lelap. Bayangan itu menguntitnya. Ia bisa tiba-tiba muncul di tengah ruang rapat dan membuatnya tergagap-gagap, atau di keramaian mal saat Tirpan mencari hiburan dengan memborong segala macam barang yang tidak perlu.
Dari kebiasaan ini di gudangnya numpuk segala macam mainan, mulai dari mobil-mobilan dan aneka hiasan dinding. Kebiasaan yang ditularkan Roni saat mereka masih kuliah. Dan siang tadi, waktu Tirpan pulang dengan blazer hitamnya, bayangan itu menyeringai. Ia berusaha mengejarnya dengan irama jantung bagai derap kereta. Diinjaknya pedal gas kuat-kuat, menyalip mobil-mobil lain di tengah lalu lintas yang sedang padat. Seperti adegan di film-film, katanya, tanpa bermaksud mendramatisir ceritanya supaya aku senang. Aku juga tak melihat ambisi supaya aku percaya.
Sopirnya yang bernyali kecil tak berdaya mengikuti kemauannya, disuruh turun dan pulang lebih dulu. Bayangan itu terus berkelebatan secara tidak terduga serupa kilatan pedang pendekar yang tengah ber-duel. Lagi-lagi Tirpan menyebutkan perumpamaan yang berlebihan. Katanya, ia tak pernah mempercayai hantu. Ia hanya penasaran. Kadang bayangan itu berwujud sosok orang yang pernah dikenalnya. Bayangan itu masuk ke hotel. Tirpan mengejarnya, naik turun tangga. Tapi ia selalu kehilangan jejaknya.
Ia selalu merasa cepat lelah. Kupikir barangkali paru-parunya seperti hendak pecah, lututnya terasa patah, punggungnya bagai remuk. Akhirnya Tirpan menghenyakkan tubuhnya di atas sofa. Tingkahnya memaksa orang-orang sejenak memperhatikan, juga pelayan yang dilambainya dan tergopoh-gopoh menghampirinya. Tirpan memesan jus alpukat dan air dingin.
Tirpan menyalakan lampu, menyetel musik, dan membangunkan pembantunya. Bukan untuk mengusir takut, melainkan mengalihkan perhatian otaknya yang lelah. Ia tidak merasa takut dengan bayangan itu. Justru ingin menangkapnya. Dikuaknya lebar-lebar jendela dan pintu. Tirpan menelentangkan tubuhnya di sofa tengah ruangan dengan kaki menjuntai ke lantai berkarpet bulu yang lembut. Tapak kakinya yang putih, mulus menikmati elusan karpet bulu. Alunan musik membelainya, seraya menghirup wedang jahe ia mencoba menerka-nerka pertanda apa bayangan itu.
Angin dari luar menyerbu masuk dengan leluasa seperti kawanan prajurit yang mengupas kulit. Tirpan menggeliat, merapatkan piyama merah jambunya. Piyama yang mirip pemberian Roni saat Tirpan merayakan ulang tahunnya ke 21. Roni memberi piyama itu sebagai hadiah. Biar kamu mengingatku saat kamu mau tidur, kata Roni. Piyama itu entah sudah ke mana. Entah kebetulan atau tidak, ia membeli piyama merah jambu itu. Piyama itu kadang mendatangkan perasaan sentimentil. Entah kenapa pula Tirpan menikmati perasaan itu. Barangkali karena memberinya sensasi petualangan.
Entah pada tahun ke berapa, hubungan mereka memburuk, Tirpan melarikan diri ke kota kecil untuk menghindari kejaran Roni yang tak mau melepasnya. Roni mengatakan lebih baik membunuhnya ketimbang ia dimiliki orang lain. Ia paham perasaan Roni yang telah memberikan hampir semua yang ia perlukan, kecuali perempuan. Kegemarannya mengoleksi film-film klasik, lagu-lagu klasik dan barang-barang serba klasik terpenuhi. Tinggal di apartement yang ia sulap menjadi bersuasana Yunani klasik. Botol-botol antik, cangkir-cangkir tembaga yang unik terpajang rapi di bar pribadinya yang terawat baik. Pembantunya mencuci benda-benda itu setiap minggu dengan merendamnya menggunakan larutan tertentu. Ini cangkir Galileo, kata si penjual cangkir. Hmm, si penemu teori heliosentris itu hidup ribuan abad yang lalu.
Roni hanya sesekali datang ke sana. Bila kencan Roni memilih di hotel atau villa. Hampir pada setiap kencan Roni suka merintih, mendedahkan air mata ke atas dadanya yang berbulu. Tirpan mendengar ratapan Roni tentang papa yang disebutnya babi penghisap darah mama. Tirpan tak tahu merasa sedih atau tidak, tahu-tahu matanya pedih dan melelehkan air. Roni pernah mengajaknya ke sebuah pesta nudis. Satu pengalaman yang membuatnya merinding dan sedikit linglung. Tidak mudah masuk ke pesta purba serupa itu. Ketika dia harus menanggalkan seluruh penutup tubuhnya dan membaur dengan puluhan orang yang juga telanjang bulat seperti bayi, ia seperti terserang masuk angin dan mau muntah.
Tirpan ingat, sepulang dari situ diajaknya ia pulang ke rumah Roni. Tirpan mendapati muka Roni tegang dan pucat, bibirnya bergetar. Malam itu mamanya dilarikan ke rumah sakit karena livernya bengkak. Nyawa mama lepas malam itu juga. Paginya mayatnya dibawa pulang. Tirpan bahkan ikut mengantar jenazahnya ke pemakaman. Dari balik kaca mata Tirpan melihat Roni berkali-kali pingsan. Bersama beberapa saudaranya Tirpan membopong dan menenangkanya di kamar. Saat sadar Roni berucap, Tirpan kini hanya kamu yang bisa menggantikan mama.
Tirpan tak sempat menyelesaikan skripsinya. Ia masuk pesantren untuk menyembunyikan dan melenyapkan diri. Ia tak pernah bisa mencintai Roni. Karena wajah Roni mengingatkan pada ayahnya yang ia benci. Tirpan merasa menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang percuma. Pagi-pagi seusai pesta tahun baru, dalam kondisi lemas dan sedikit pening karena kurang tidur dan terlalu banyak minum, Tirpan mengepak pakaiannya dalam kopor. Benda-benda klasik yang harganya puluhan juta ia tinggalkan. Syukurlah, gerimis cukup menolongnya dari rasa galau yang sejak beberapa hari lalu membebaninya.
Tirpan tidak tahu, pertemuannya dengan Roni adalah sesuatu yang menguntungkan atau membebaninya. Tetapi menyesal bukan saja makin menyiksa perasaan dan mengacaukan kesehatannya. Waktu itu gerimis juga. Dijumpainya Roni di perpustakaan kampus. Ia memperhatikan buku tentang seksualitas dan gender yang tengah dibaca Tirpan. Kamu tertarik dengan tema itu, tanya Roni. Tirpan memilih meja dekat jendela supaya dapat menghirup udara segar dan hangat matahari. Roni membawakan minuman kaleng. Minumlah, katanya. Tirpan menyambut baik tawarannya, juga ketika Roni mengajaknya ke nonton bioskop 21. Tirpan tergeragap mendapati Roni menggenggam tangannya saat di layar tampak adegan perkelahian.
Aku ngeri melihat darah, Tirpan, gumam Roni. Ucapan Roni menyusupkan kesadaran pada Tirpan tenang Roni. Tetapi Tirpan kehilangan akal bagaimana melupakan makan malam dengan sirloin steak dan minum anggur putih tanpa Roni. Tepatnya Tirpan tidak punya keberanian.
***
Ceritanya tentang hari-hari pertama di pesantren adalah hari-hari yang menyusutkan berat badannya yang semula gempal. Aturan yang serba membatasi kesenangan itulah biang keroknya. Ia merasa bagai masuk penjara. Hukuman bagi yang tidak nurut aturan sangatlah mengerikan. Yang paling ringan dicambuk punggung dan betisnya dengan kayu asem. Ia bagai hendak dicabut nyawanya saat menerima hukuman celaka ini. Seperti kebanyakan santri baru, ia pingsan sesaat setelah cambuk mendera punggung atau betisnya.
Lecutan cambuk tentu membekas pada punggung dan betis. Diguyur air comberan merupakan teror lainnya. Bangun subuh adalah siksaan yang paling menyakitkan. Ia harus mandi subuh secara massal dengan ribuan santri dalam bak lebar dengan air sedingin es. Tidur berderet-deret beralas tikar seperti pepesan ikan. Ini memang gambaran yang keterlaluan. Kedengarannya serupa kamp penyiksaan. Harus tidur sebelum pukul sepuluh setelah mengikuti pelajaran yang membuat kepalanya pening dan matanya sakit. Ia membayangkan kulitnya kelam dan mengeriput dengan janggut memanjang seperti tampang teroris yang fotonya ditempel di tembok-tembok. Meski begitu Tirpan tak yakin Roni tidak mengenalinya.
Tentang masa kecilnya yang ia ceritakan kemarin malam mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk terus mengikuti kisahnya. Ayahnya yang seorang tentara letnan dua menjadi kebanggaan kakak-kakaknya. Tirpan sendiri yang benci. Ia sudah berusaha setengah mati menyembunyikan perasaan ini. Tapi tak urung diketahui ayah. Maka habislah Tirpan diganjar dengan pelbagai hukuman. Pada bagian ini ada yang kurang masuk akal: Ayahnya memasukkannya ke penjara dan di sana ia diperkosa.
Alunan suara Ermy Kullit yang lembut mengelus telinga mendadak berhenti di ruangan itu. Tirpan menggeliat mencari-cari remote control seperti mencari-cari wajah Roni dalam lipatan ingatannya. Roni yang kini jatuh miskin. Kabar itu didengarnya saat ia keluar dari pesantren. Sudah berapa lamakah itu?
Kehidupan pesantren sudah ditinggalkannya belasan tahu lalu. Ia memasuki babak baru hidupnya sebagai orang kantoran. Riwayat yang menyeretnya menjadi pekerja kantoran tidak ia tuturkan, tentu saja. Sebab aku sudah tahu. Yaitu berkat pertolonganku. Dan aku tak akan membuka rahasia pada siapapun, termasuk kau, bahwa bayangan yang senantiasa berkelebat menguntitnya adalah aku yang sedang menunggu saat yang tepat membalaskan dendam keluarga. Gara-gara Tirpan perusahaan ayah bangkrut. Keuangan perusahaan kebobolan oleh tagihan kredit bank yang lakukan Roni demi memenuhi gaya hidup hedonis bersama laki-laki sialan ini. Sabarlah, Tirpan, sebentar lagi aku akan mencabut nyawamu. Telah kucampur larutan racun yang mampu menghancurkan kerja ginjalnya sehingga ia akan merasakan penderitaan yang hebat selama beberapa waktu sebelum nyawanya dijemput malaikat dari neraka, dalam kopi yang dihirupnya.
Gondangdia 2015
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005,) Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).