Search
Close this search box.

[Cerpen] Bis Sekolah

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org–Pada suatu hari, Ben mendapati dirinya takut untuk pergi ke sekolah barunya. Padahal baru hitungan hari Ben bersekolah disana, namun dia sudah tidak merasa betah lagi. Yang paling membuatnya takut di pagi ini bukanlah tugas dari gurunya yang belum dia kerjakan atau menghadapi hari yang panjang dan membosankan di sekolah. Yang menakutinya pagi ini adalah sesuatu yang jauh sebelum Ben benar-benar berada di sekolahnya. Ia takut untuk naik bis sekolah.

Sang ibu tentu tidak tahu apa yang terjadi pada anak laki-lakinya tersebut di dalam bis sekolahnya. Yang ia tau adalah sang ayah telah meninggalkankan mereka berdua sehingga sang ibu harus bersusah payah membiayai anaknya itu untuk sekolah. Maka dari itu, sang ibu berusaha ntuk mengantar anaknya ke pinggir jalan dimana bis biasa berhenti. Sang ibu benar-benar tidak merasakan apa yang dirasakan Ben.

Jantung Ben benar-benar seperti akan pecah. Apalagi ketika ia membayangkan seseorang yang berhasil membuatnya merasa sakit di giginya beberapa hari lalu. Seseorang yang selalu menyisakan tempat duduk dimana teman-teman yang lain sudah menunggunya. Mereka sudah mempersiapkan perjalanan terburuk yang pernah Ben lakukan. Perjalanan berdurasi tiga puluh menit yang terasa seperti selamanya.

“Bu, aku takut.”

“Ibu mengerti, tapi percayalah, kau akan baik-baik saja. Bersenang-senanglah, ini hari yang cerah” sang ibu berkata sembari terus saja memainkan telepon genggamnya.

“Tapi bu…” tepat sebelum sang ibu menjawab, mereka berdua segera saja mendengar sebuah kelakson besar yang memecahkan langit, dan juga membuat jantung Ben berdetak kencang. Semakin dekat bis besar bertuliskan nama sekolah menengah pertama di kotaku itu, semakin kencang pula detak jantung Ben.

“Semoga harimu menyenangkan!” teriak sang ibu ketika Ben memasuki pintu bis otomatis itu.

Ditatapnya wajah-wajah yang sedari tadi dibayangkan oleh Ben. Yang dipikirkannya adalah, ia tak mau duduk di dekat mereka yang gemar menjahili. Ada sebuah tempat duduk kosong, namun seorang gadis kecil langsung menaruh tasnya disana.

“Ely akan duduk disini” katanya. Dan Ben mengalah saja. Dia terus berjalan menyusuri koridor sempit itu.

Bis mulai berjalan, Ben belum juga mendapatkan tempat duduknya. Setiap tempat duduk kosong yang ia lalui, pastilah selalu ada pemiliknya. Entah Ely, Rose, Gil, atau siapapun yang bahkan Ben tak kenal.

Di baris ke dua dari depan tersisalah satu tempat duduk. Seperti yang sudah dibayangkan oleh Ben tadi, bahwa tempat duduk itu dikelilingi oleh anak-anak nakal yang siap menggaggunya. Namun ia juga tak mungkin terus-terusan berdiri. Maka berjalanlah ia perlahan menuju tempat duduk itu.

“Tunggu! Jangan duduk dulu!” perintah salah satu anak. Kemudian anak itu mengeluarkan secarik kertas yang sudah disiapkannya entah dari kapan, lengkap dengan isolasi yang sudah menempel di bagian atas. Kemudian anak itu menempelkan kertas di tempat duduk yang akan diduduki Ben. Kertas itu bertuliskan, “Baginda Raja Ratu”

“Silakan!” kata yang lainnya menambahkan.

Beruntung Ben masih bisa menahan ini, rupanya ia jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan. Anak-anak nakal itu kini tertawa melihat Ben menduduki kursi. Ben hanya menundukkan kepalanya. Dia bahkan tidak berani melihat wajah mereka, takut jika itu bermakna pemberontakan.

“Hey! Apakah sang Ratu ingin pijatan di pundaknya?” tanya seseorang disusul dengan tawaan yang lain. Ben menggeleng bermaksud untuk menolak.

“Lihat! Dia menggeleng, sepertinya dia benar-benar sedang pegal. Biar kupanggilkan Nick.”

Oh tidak! Jangan Nick! Jangan anak gemuk yang bisa mengangkat Ben dengan satu tangan itu. Keringat dingin mulai muncul di engkuk Ben. Dia mulai merasa tak nyaman. “Sepertinya aku akan pindah saja. Terima kasih.” Kata Ben sopan.

Ben berdiri dari duduknya, namun seseorang menariknya kembali ke kursinya. Nick sudah menggenggam tangan Ben, sudah tidak mungkin lagi Ben bisa terlepas darinya.

“Beri tahu aku dimana bagian pundakmu yang sakit, Ratu?”

Panggilan ‘Ratu’ itu sungguh mengganggu Ben. Dia tidak mengerti mengapa dia mendapatkan panggilan itu. Namun anak-anak itu terus saja memanggilnya dengan sebutan itu.

“Mengapa kalian menyebutku Ratu?” tanya Ben. Ia sendiri tidak sadar mengapa dia bisa bertanya seperti itu.

“Kau tidak suka? Mau aku ganti dengan Tuan Putri saja?” tanya anak yang lain.

Ben mendengar Nick tertawa keras sekali tepat di sebelahnya. Nick menyergap pundak Ben dan mulai menggenggamnya erat. Ben tentu kesakitan, ini bukanlah sebuah pijatan refleksi seperti yang dijanjikan mereka, ini sebuah cengkraman mengerikan dari seseorang yang tubuhnya dua kali lipat darinya.

Ben memberontak kesakitan. Tubuhnya bergerak kesana kemari. Kakinya tak jarang menendang kursi di depannya. Dan anak-anak yang lain hanya menertawai serta menyanjung Nick yang kuat itu.

“Yup, kurasa baginda Ratu sudah enakan” kata Nick.

Ben menahan rasa sakit itu sendirian. Ben tak tahu lagi harus apa. Namun dia mencoba untuk menahan tangisannya. Ia tak mau diolok-olok karena menangis. Ben diam seribu bahasa di tempat duduknya. Dan perjalanan baru berjalan sekitar lima belas menit.

Tuntas dari siksaan Nick, Ben mengira semuanya telah selesai. Namun ternyata tidak. Seseorang kembali menghampiri dan menatapnya begitu saja tanpa berkata-kata. Dia membuat Ben begitu tidak nyaman. Anak itu terus menatap Ben, sedangkan Ben mencoba untuk tidak melirik kepadanya. Namun Ben gagal, dia selalu melirik kepada anak itu. Anak itu kemudian menertawai Ben, kemudian pergi begitu saja. Namanya David.

 

5 tahun kemudian

Ben menarik kopernya dengan cepat. Kamar 305, Ben sedang mencari kamar 305. Namun yang Ben lihat hanyalah nomor 319, kemudian 318, dan seterusnya seolah ia sedang berhitung mundur. Sampai akhirnya ia melihat sebuah kamar dengan pintu yang terbuka. Ada angka 305 di pintu tersebut.

Ben secara perlahan menghampiri pintu itu dan mengetuknya pelan. “Masuk!” teriak seseorang di dalamnya.

“Kau pasti Ben?” tanyanya sembari sibuk membereskan barang-barangnya.

“Ya, kau benar” Ben tertawa kecil. “Dan sepertinya ini benar-benar kamar asramaku” lanjutnya.

“Ya, kau akan menghabiskan empat tahun hidupmu disini” katanya.

“Dan kau?”

“Ah ya maaf…” laki-laki itu memutarkan badannya dan kemudian diam seribu bahasa.

“Ben?” tanyanya ragu.

“Ya ini aku, dan namamu?” Ben merasa gugup seketika.

“Ini aku! David! Kau pasti sudah lupa.” David tertawa ringan dan menyambut jabatan tangan Ben.

“David? Maaf, aku benar-benar tidak ingat.”

“Baiklah, sebelum aku mengingatkanmu, aku ingin meminta maaf. Aku David yang waktu itu sering mengganggumu ketika semasa sekolah dulu.”

“Tidak mungkin! Kau terlihat berbeda! Kau tinggi sekali sekarang!” Ben tertawa seperti dia belum pernah tertawa sebelumnya.

“Maafkan aku, aku benar-benar masih anak-anak saat itu. Bully benar-benar sangat buruk. Aku benar-benar minta maaf.”

“Aku mengerti. Kita memang masih anak-anak saat itu” Ben hanya tersenyum mengingat itu semua.

“Aku jadi teringat, bagaimana kabar Nick?” Ben tak sengaja menanyakan Nick yang dulu sempat mencengkram pundaknya itu.

“Kau tak akan percaya sekarang dia di sekolah militer!”

“Yang benar saja…”

“Dia begitu nakal saat SMA dulu, sehingga ayahnya kewalahan dan memasukkannya ke sebuah sekolah militer” David tertawa setelah mengatakan itu semua.

Ben kemudian menghembuskan napas panjang, dan itu membuat keadaan menjadi semakin canggung. Ben berusaha sekeras mungkin mengingat kembali pengalamannya yang selama ini berusaha untuk tidak dia ingat-ingat.

“Kau masih ingat tidak?” tanya David.

“Apa?”

“Tunggu sebentar.” David berjalan menuju tumpukan barangnya dan membawa sebuah kotak kaleng dari sana.

“Aku menyimpannya selama ini. Entahlah menurutku ini karya seniku yang paling luar biasa.” Kemudian ia memberikan kotak kaleng itu kepada Ben.

Ben segera membuka kotak kaleng itu. Ia melihat tumpukan kertas di dalamnya. Namun matanya langsung berfokus kepada kertas yang paling atas. Kertas bertuliskan, “Sang baginda Raja Ratu.”

“Jadi, kau yang membuat ini?” tanya Ben pada David.

“Aku tahu, itu sangat buruk, aku mohon maaf lagi padamu.”

“Tidak, tidak perlu. Ini mengingatkanku pada masa-masa itu. Masa-masa dimana aku dipaksa untuk berani menghadapi hari. Bagiku sebuah perjuangan.” Ben tertawa setelahnya.

David memandangi Ben seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Namun kali ini berkata, “Kalau begitu, selama empat tahun ini akan menjadi masa-masa yang menyenangkan untukmu. Aku janji.” David tersenyum pada Ben, begitu manis.

Dan untuk pertama kalinya, Ben merasa bahwa dia tidak menyesal dia pernah duduk di bis sekolahnya itu.

 

*Penulis adalah kontributor Suara Kita Bandung

Bagikan