Suarakita.org– Perang melawan HIV/AIDS di Papua (khususnya di Timika) sebagai Propinsi dengan penyebaran dan kematian tertinggi akibat HIV/AIDS di Indonesia sebetulnya sudah dilancarkan sejak lama — namun sejauh ini masih belum melahirkan hasil yang signifikan. Pemerintah pusat dan daerah pada dasarnya telah menyadari hal tersebut, akan tetapi, terdapat sebuah hambatan serius yang menghalangi tindakan efektif melawan HIV/AIDS di Papua — dimana hambatan tersebut terkait dengan cara pandang yang berkembang dewasa ini.
Hilmar Farid sebagai salah satu pembicara di Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 (15/10) menjelaskan bahwa hambatan yang membuat kebijakan penuntasan HIV/AIDS di Papua tersendat adalah faktor keamanan dan moralitas. “Konflik yang ada di Papua ini terlalu lama didekati dengan perspektif keamanan, dan perlu ada pendekatan lain yang mempertimbangkan segi sosial budaya untuk mencari solusi jangka panjang. Konflik di Papua memang konflik politik, tetapi produk dari konflik itu tanpa kita sadari jauh masuk ke dalam bidang-bidang kehidupan sosial termasuk pada penyebaran HIV/AIDS” ungkapnya.
Hambatan lain yang tidak kalah penting adalah terkait prasangka kultural dari pemangku kebijakan yang mengasosiasikan antara tingginya HIV/AIDS di Papua dengan perilaku seksual dan tingkat pendidikan masyarakat Papua yang rendah. Ironinya, solusi yang ditawarkan justru menitikberatkan pada pendekatan moralitas yang sudah usang dan tidak lagi relevan jika digunakan sebagai solusi jangka panjang. Kelemahan solusi moral ini menurut Hilmar Farid terletak pada posisi tawarnya yang superior dan mereduksi konteks itu sendiri. Patut disadari jika sebetulnya ada kekuasaan yang beroperasi di atas penyebaran virus berbahaya tersebut: yakni pada kegiatan seksual yang tidak aman (unsafe sexual intercourse), dimana tugas kita adalah membongkar kekuasaan yang bersembunyi dibalik kegiatan seks yang tidak aman itu sendiri.
Kegiatan seksual yang unsafe tidak lagi bisa dipahami dengan sudut pandang moral. Hal ini jarang didiskusikan ketika berbicara mengenai penanggulangan HIV/AIDS. Padahal salah satu cara untuk menangani prevalensi HIV/AIDS di Indonesia yang begitu tinggi ialah dengan mereduksi ketimpangan dalam relasi kuasa (terkait imej gender, etnik, kelas dan lain-lain) guna mengidentifikasi solusi yang lebih langgeng.
Hilmar Farid menyarankan dua langkah yang mesti diambil dalam penanganan HIV/AIDS di Papua yakni dengan menantang paradigma moral dan memupuk kepedulian. Dalam paradigma moral HIV/AIDS seringkali dianggap bukan masalah kesehatan. Padahal seharusnya masalah HIV/AIDS ditempatkan sebagai masalah kesehatan sehingga akan melahirkan solusi yang efektif, bukan solusi yang moralis.
Yang terakhir adalah kategori care (kepedulian atau kasih sayang). “Kategori ini penting tapi seringkali dilupakan, saya kira kalau seandainya konsep seperti ini dikembangkan lebih jauh dan mendasar maka akan mempermudah kita untuk memahami persoalan ekonomi politik khususnya menyangkut endemik HIV/AIDS, dengan keyakinan bahwa perjuangan melawan HIV/AIDS di Papua adalah perjuangan melawan ketidaktahuan yang berkelindan dengan prasangka dan rasisme tersembunyi” tutupnya. (Wida Puspitosari)