Search
Close this search box.

Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015: Narkoba, Seksualitas dan Politik

Suarakita.org – Kamis (15/10), bertempat di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) kembali mengadakan Koentjaraningrat Memorial Lectures atau Kuliah Umum Mengenang Koentjaraningrat ke-12 dengan tajuk Narkoba, Seksualitas dan Politik. Kuliah umum ini dihadiri oleh puluhan partisipan dari berbagai latar belakang. Hadir dalam kuliah umum tersebut beberapa mahasiswa dan jajaran kepolisian, ilmuan sosial hingga keperawatan. Seminar dibuka dengan sekapur sirih dari Ketua Forum Kajian Antropologi Indonesia, Mulyawan Karim. Pembicara kuliah umum ini terdiri dari Prof. Dr. Laurentius Dyson (Universitas Airlangga) sebagai pembicara kunci, Ignatius Praptoraharjo, Ph.D (Pusat Penelitian HIV dan AIDS, Unika Atma Jaya), Sari Damar Ratri, M.Sc (Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia), Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan) dan Hilmar Farid, Ph.D (Sejarawan Indonesia).

Kuliah umum ini mencoba merefleksikan ranah narkoba dan seksualitas dalam berbagai bingkai. Pertama, narkoba dan seksualitas merupakan persoalan yang akan selalu melekat pada masyarakat Indonesia – dimana narkoba dan seksualitas secara epistimologis memang merujuk pada isu yang berbeda sama sekali. Kedua, jika keduanya ditanggapi sebagai persoalan politik, baik di tingkat lokal maupun internasional, maka akan terbentuk sebuah tautan yang menggambarkan simpulnya.

Dr. Laurentius Dyson mengungkapkan bahwa narkoba dan seksualitas dalam konteks kontemporer merupakan dua hal yang saling terpadu. “Pada zaman yang lampau kita pernah mendengar kata-kata seperti Harta, Tahta dan Wanita, dan di masa kini kita bisa tambahkan Narkoba. Apalagi di media massa pernah pula kita baca tentang tertangkapnya para anggota legislatif yang tertangkap tangan sedang mengkonsumsi narkoba bersama wanita penghibur,” papar Laurentius.

Di lain sisi, tinjauan lifecourse pada pengguna narkoba tidak hanya berhenti pada bagaimana kecenderungan kecanduan seseorang dapat direduksi, namun perlu compensatory approach yang menitik beratkan faktor lingkungan. Merujuk pada buku Cloud dan Granfield, Ignatius Praptoraharjo menerangkan bahwa “Kebijakan perawatan narkoba perlu melihat dimana posisi pengguna narkoba ini dalam perjalanan penggunaan narkobanya, memahami kebutuhan dan pendangannya tentang kecanduan itu sendiri, membangun kapasitas personal dan sosialnya serta mampu mengidentfikasi potensi kekuatan-kekuatan pemulihan lain bagi pencandu.”

Dalam kacamata seksualitas, penggunaan narkoba sering diafiliasikan dengan penyebaran virus HIV/AIDS. Pada tahun 2006, Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan yang menjadi panduan implementasi program Harm Reduction bagi persoalan narkoba khususnya penggunaan narkoba suntik. Menurut Sari Damar Ratri, Harm Reduction memang dianggap sebagai pendekatan universal yang mumpuni dalam menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS pada pengguna narkoba suntik. Namun program ini merenggut peluang para pengguna narkoba suntik untuk kembali bekerja. Program ini menempatkan pecandu pada posisi rentan tanpa hubungan yang berkualitas bersama keluarga, sahabat dan terlebih lagi memposisikan pecandu dalam keterpurukan akibat konsumsi masal terhadap zat yang beragam.

Kasus yang terjadi di Indonesia menunjukkan betapa kebijakan melawan narkoba dan HIV/AIDS cenderung mereduksi relasi kuasa yang sebetulnya menjadi pokok perhatian kita. Dewi mengatakan bahwa ketimpangan relasi kuasa menyebabkan perjalanan virus berbahaya ini telah menjangkau diri perempuan terutama ibu rumah tangga (IRT). Posisi tawar perempuan yang subordinat menghalangi akses pengetahuan kesehatan reproduksi dalam diri mereka. Akibatnya, banyak perempuan (terutama IRT) yang terjangkit virus ini tanpa tahu harus berbuat apa.

Skala penyebaran virus HIV/AIDS di Papua, tepatnya di Timika, ternyata menempati posisi pertama di atas Jakarta. Dalam presentasinya, Hilmar Farid mengatakan bahwa peperangan terhadap HIV/AIDS menemui sejumlah hambatan karena adanya prasangka kultural dan politik. Anggapan Papua sebagai daerah rawan konflik, dengan pendidikan yang rendah seringkali membuat penanganan menjadi kurang efektif.

Di akhir acara, kuliah umum ditutup oleh Hestu Prahara yang menggarisbawahi bahwa peperangan melawan narkoba dan subordinasi seksualitas adalah kewajiban kita semua  sebagai gerakan politik. (Wida Puspitosari)