Search
Close this search box.

[Cerpen] Dalam Bingkai Masa

Oleh: Kalamita*

Namanya sering terdengar di berbagai kalangan, dari dalam hingga luar negeri. Seperti halnya pada acara malam ini, nama Tan kembali disebut sebagai satu-satunya penata rias wajah yang telah mewarnai wajah para pengisi acara di momen akbar tahun ini. Sebuah acara bergengsi yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Tidak hanya itu, Tan pun turut mendesain kostum yang dipakai oleh para penyanyi beserta penerima penghargaan pada malam ini, dan sebagai simbol dari keseluruhan tren busana yang akan digunakan di era berikutnya telah dipromosikan oleh para pembawa acara malam ini yang menggunakan desain busana Tan.

Keberadaan Tan tentunya tidak dapat dipungkiri lagi. Melalui sentuhan jemari kreativitasnya, malam ini akan menjadi fenomenal dalam puncak karir yang telah Ia geluti selama dua puluh tahun. Ya, malam ini akan menjadi satu momen tersendiri bagi dirinya. Sebuah momen penghargaan atas karir yang telah Ia rintis dari tumpukan terbawah, yang tidak semua orang mengetahuinya selain almarhumah Ibunya dan seorang waria yang dipanggil oleh Tan dengan sebutan Tante.

***

Puluhan tahun silam, pada masa kegelapan yang kedua, tepat di sebuah taman dimana tubuh yang mendua terpajang demi menjadi suatu etalase pemuas seksualitas para transgender, satu tempat yang dikenal dengan nama Taman Lawang dan berlokasi di kawasan Jakarta Pusat. Tan memulai dengan menawarkan tubuhnya sebagai satu-satunya mata penghidupan untuk kelangsungan hidup Ibunya dan dirinya. Tan tinggal berdua saja dengan Ibunya sejak Bapaknya pergi meninggalkan sang Ibu untuk wanita lain yang tidak lain adalah seorang waria. Tan kecil tidak pernah merasakan sebuah kasih sayang dari seorang Bapak, selain hanya sebagai sebuah pemandangan yang harus dilihatnya sebagai iming-iming hidup bahagia dari kebanyakan anak-anak yang telah dikenalnya.

Masa itu pun akhirnya menjadi masa kegelapan yang pertama bagi Tan untuk menyadari perjuangan hidup dimulai sejak manusia dilahirkan di dunia. Belum lagi satu realita ketidaknyamanan yang dirasakan dirinya. Tan merasa terlahir dalam tubuh yang salah. Ia merasa, tubuhnya yang memiliki penis adalah kesalahan lahir yang harus ditanggungnya. Penis bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan dari tubuhnya selain vagina. Dominasi keperempuanannya telah dirasakan sejak Ia masih kanak-kanak. Ketertarikan pada sesuatu yang indah, bersih dan tertata, serta kelembutan hatinya yang hanya Ia lihat bahwa kesemuanya adalah milik perempuan ternyata bersemayam dalam dirinya. Diri wanita dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang harus diterima Tan, khususnya dalam berhadapan dengan lingkungan sosial. Sedangkan Tan sendiri dibesarkan di lingkungan yang cukup ekstrim, di sebuah kawasan padat, di Kwitang, Jakarta Pusat. Sebuah lokasi yang juga tidak mampu menjamin sehat secara fisik maupun psikis sebagai sebuah lingkungan tumbuh kembang seorang anak.

***

Temaram lampu jalan serta bangunan rumah tua penduduk yang masih menjadi suatu kemegahan budaya retro tersulap menjadi satu kelengkapan sebuah pesta malam di sepanjang trotoar Taman Lawang. Tampak wajah-wajah dengan polesan make up yang menyala serta lilitan kain minimalis menjadi simbol pemikat para pemuas nafsu syahwat, dan tidak ketinggalan rayuan manis dan manja dari bibir-bibir penuh harapan akan sebuah perbaikan hidup. Jalan di wilayah itu menjadi padat merayap. Tampak di antaranya mengantri untuk sebuah transaksi, namun ada juga yang berhenti hanya sekedar menikmati tubuh yang terpajang setengah bugil. Sebuah pemandangan yang menggiurkan bagi yang menonton mereka, tapi getirlah bagi mereka yang berbaris memasang aksi di sepanjang jalur itu. Sebuah kegetiran yang hanya dapat dirasakan bagi sesama waria. Tidak jarang pula, mereka harus mendapatkan kekerasan dari aparat, bahkan sering juga mereka berlari tunggang langgang hanya untuk menyelamatkan diri dari kriminalisasi para aparat.

Malam itu Tan tidak terlalu berharap pada keajaiban selain kepasrahan dalam sedih. Sudah beberapa hari Ibunya sakit dan Ia tidak mampu membelikan obat. Apalagi mengajak Ibunya untuk periksa ke dokter. Ngilu hatinya melihat seorang Ibu yang telah berjuang untuk hidupnya harus menerima segala kenyataan akan pahitnya hidup. Ya, malam itu, malam yang tidak pernah disangka oleh Tan. Sebuah malam yang akan membawa dirinya pada satu masa depan yang menjanjikan. Tan dipertemukan dengan seorang waria yang dulu pernah mejeng di Taman Lawang, beberapa tahun yang jauh sebelum dirinya menjadi anggota di tempat ini. Waria itu dipanggil oleh para waria senior di tempat ini dengan sebutan “Tante”. Tan pun tidak luput dari tegurannya dan mendapat perhatian khusus darinya karena ketertarikannya akan dunia merias wajah. Selain keanggunan tata rias digunakan oleh Tan malam itu, yang mampu membuat Tante terpancing untuk mencaritahu darimana Ia mendapatkan ilmu dalam mendesain wajah menjadi sosok profil yang sesuai.

Belajar sendiri Tante. Dulu waktu kecil aku suka ikutan Emak, kadang sih dibantu Emak, milih-milih warnanya sambil diajarin karakter wajah. Emak dulunya kerja di salon tapi trus keluar soalnya mulai sakit-sakitan.”, jawab Tan pada Tante.

Wah, kamu bisa jadi penata rias terkenal sedunia!”, lanjut Tante dalam senyumannya.

Sejak malam itu, Tan menjadi rutin mengunjungi Tante di rumahnya di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat. Dimana Tan mendapatkan kawan serta pengetahuan baru, serta kenyamanan bersosial karena semua yang berkumpul di rumah Tante adalah para waria. Waria yang berkumpul di sana tidak saja dari kalangan elite, namun waria yang masih memperjuangkan nasibnya secara ekonomi. Bahkan dari yang senior hingga yang baru saja memutuskan untuk memilih jalan hidupnya sebagai seorang transgender. Tan pun menjadi akrab dengan Tante sekaligus menjadi salah satu anak kesayangan Tante. Hingga suatu hari, kenalan Tante, seorang waria berkebangsaan Amerika berkunjung ke rumah Tante sebagai salah satu bentuk silaturahmi sesama transgender untuk saling bertukar informasi dan mempererat keberadaan mereka yang masih dipandang sebelah mata dalam sosial di seluruh dunia. Kenyataan bahwa seorang waria masih belum menerima pengakuan sebagai seorang manusia yang dapat disebut sebagai wanita utuh, kekerasan dari segi fisik dan psikis pun masih dominan diterima oleh mereka. Namun kondisi ini tidak lantas terputus menjadi pengulur semangat perjuangan mereka untuk mendapatkan kelayakan hak atas kemanusiaannya. Waria Amerika itu bernama Jane.

***

Sejak pertemuan diantara mereka lalu, antara Jane dengan Tan di rumah singgah milik Tante, di daerah kemanggisan yang telah menempatkan sosok Tan kini bertempat tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam inilah, Tan bekerja pada sebuah salon kecantikan yang telah membuka wawasannya akan dunia kecantikan hingga motivasi hidup. Selama beberapa tahun di awal, Tan masih tinggal di rumah Jane. Jane pun tidak pernah meminta upeti darinya karena Ia tahu, Tan adalah seorang waria yang gigih dan memiliki semangat untuk memperbaiki hidupnya dan akan mampu menjadi spirit bagi komunitas waria di Indonesia saat Tan telah siap pulang kampung dan menghadapi realitas barunya suatu hari nanti.

Melalui pergaulannya dengan komunitas dunia fashion desain dan kecantikan yang ada di Los Angeles, secara otomatis Tan mendapat ilmu baru yaitu menata busana. Melalui desain tata busana inilah Tan memberanikan diri untuk memulai memasukan namanya sebagai salah satu penata busana setempat. Tan merintisnya dengan menjadi penata busana untuk acara-acara kecil, seperti acara seremonial di sebuah klub hingga ajang kecantikan waria. Hingga akhirnya, keahliannya dalam membuat kreasi wajah dan busana mempertemukannya pada seorang editor majalah fashion yang juga ternyata seorang waria. Tidak hanya Ia seorang waria namun Chita, namanya, jugalah seorang pendatang di negeri Paman Sam dan dimana Chita sendiri adalah juga orang Indonesia.

Namun perbedaan antara Tan dengan Chita sangatlah bertolak belakang. Tan seorang perantau dari sebuah keluarga miskin, sedang Chita adalah keluarga mampu berada. Perbedaan itu pun mencolok sekali saat Chita mulai mencibir dan membandingkan perawakan antara dirinya dengan profil Tan yang menurutnya uneducated.

Chita sendiri sangat jarang pulang ke kampung halamannya, yaitu Indonesia. Chita lahir dan dibesarkan secara nomaden dari satu negara ke negara lain, karena orangtuanya adalah seorang diplomat. Tentu saja, pola berpikir dan cara pandang Chita dengan Tan sangat jauh berbeda. Namun perbedaan itu tidak membuat Tan merasa tersaingi ataupun patah arang. Tan tetaplah melihat Chita sebagai sesama waria yang masih harus berjuang untuk mendapatkan kebebasan hak hidup dan kemanusiaannya.

Dimana pada suatu ajang pameran busana yang melibatkan nama Tan sebagai salah satu penata busana waria yang berasal dari Indonesia digelar di Los Angeles, di sana pulalah ajang kritik pedas hingga penjatuhan karakter seorang Tan yang diterima Tan dari sesama waria berkampung halaman yang sama dimulai. Chita mengomentari dan membuat tulisan review yang dipenuhi cibiran kritik atas kreativitas Tan yang telah Tan perjuangkan sejak Ia masih kanak-kanak. Sebuah ilmu pengetahuan yang pertama kali di dapatnya dari Ibunya yang kini telah berdamai bersamaNya.

Satu per satu, tulisan dan ulasan menghujani karya-karya inovasi dan keberanian Tan dalam memadupadan aneka warna untuk riasan wajah hingga corak motif dan model dalam desain busananya. Perdebatan demi perdebatan di ajang terbuka atau pun jamuan makan malam yang tentu mempertemukan Tan dengan Chita semakin sering dan kian memanas. Bahkan sudah menjadi pembicaraan publik hingga gosip, kebencian Chita pada Tan yang tidak realistis, akhirnya mempertemukan mereka pada satu temu muka dalam sesi wawancara dimana Chita harus mewawancarai Tan sebagai salah satu desainer asal Indonesia yang mampu menghasilkan karya desain fashion untuk dunia dan unisex.

Apa kamu positif dengan semua usahamu dan yakin bahwa semua akan ada waktunya sebagai satu bentuk penerimaan hingga penghargaan atas kehadiran seorang Tan?”, tanya Chita dalam sesi penutup wawancaranya. Saat itu Tan tidak membalasnya dengan sebuah kalimat melainkan sebuat senyuman. Senyuman yang akhirnya menjadi senyum perpisahan Tan pada Chita untuk waktu yang cukup lama karena setelah momen tersebut, Tan akhirnya memilih kembali ke Indonesia untuk mengembangkan karyanya dan membantu sesama waria di Indonesia.

***

Hampir empat tahun sudah Tan di Indonesia dan sekaligus mengembangkan seninya untuk komunitas LBGT di Indonesia. Selain Tan pun telah mendapat kepercayaan dari kalangan selebritis dan strata elit untuk desain rias dan busana, Tan pun mendirikan sebuah tempat belajar bagi para waria yang tertarik untuk memperdalam dunia kecantikan sebagai salah satu mata pencarian secara ekonomi serta strata sosial. Tidak hanya memiliki wadah yang positif dan gratis, Tan pun cukup rutin membuat artikel hingga buku panduan dalam merias wajah dan tata busana yang sesuai dengan karekater seseorang. Bukunya pun laris manis, tidak hanya untuk komunitas LBGT tapi umum. Hingga akhirnya, Tan pun berkesempatan untuk berbagi ilmunya dengan menjadi konsultan di salah satu produk kecantikan ternama di Indonesia.

Pada puncak karir yang mapan dengan ekonomi yang terjamin, seorang Tan tetaplah Tan yang ramah dan penuh empati. Tan tidak lupa untuk rutin mengunjungi makam almarhumah Ibu dan membersihkan sendiri makam yang terkadang tampak tidak terlalu bersih. Selain itu, Tan pun masih suka berkunjung ke rumah singgah Tante dimana Ia tidak akan pernah melupakan seluruh awal jejaknya. Di rumah Tantelah, Tan nyatanya melihat pintu masa depan akan dirinya yang kini telah Ia terima dengan baik. Meski kondisi Tante tidak lagi bugar seperti saat mereka bertemu dahulu, namun Tante masih memiliki semangat dan empati yang tinggi bagi para waria. Sesekali Tan pun menemani Tante untuk memeriksakan kondisi kesehatannya yang sesekali menurun drastis atau sekedar kontrol tubuh yang telah mengalami operasi disana-sini. Namun segala hal yang dilakukan Tan pada Tante diberikan dengan cinta kasih dan senyuman. Setelah Ibunya meninggal, Tantelah yang menjadi tempat pulang bagi seorang Tan. Tidak hanya sebagai sosok pengganti orangtua namun rumah singgah Tante akhirnya menjadi rumah bagi Tan, sebuah tempat dimana Tan merasakan kerinduan akan pulang dan merasa nyaman di tempat ini. Hingga suatu saat, Tan pun menghibahkan sebagian penghasilannya untuk membesarkan fasilitas rumah singgah milik Tante.

***

Pada suatu waktu yang sungguh tidak terduga. Dimana hari terasa panas dan bergerak sangat cepat, Tan menerima telpon dari suara yang sudah terdengar tidak terlalu asing dengan telinganya. Suara dalam patahan anak kata bahasa Indonesia yang cukup canggung. Ya, suara itu adalah suara Chita, seorang kritikus fashion yang telah dilupakannya sejak Ia meninggalkan Los Angeles beberapa tahun lalu.

Halo Tan… Apa kita bisa ketemu? Saya sedang di Indonesia. Kapan kamu ada waktu?”, tanya Chita dari kejauhan. Lalu telpon keduanya pun terputus setelah mereka mendapat kesepakatan tempat dan waktu

Tak berapa lama, mereka bertemu di sebuah kedai kopi di kawasan elit di Jakarta Pusat. Suasana tampak canggung sekaligus percikan rindu tertuang dari balik mata keduanya, meski Tan dan Chita adalah sepasang musuh dan tak terselesaikan.

Adikku akan menikah… Dia ingin aku menemuimu untuk bicara padamu secara langsung, hmm.., dia minta desain tata rias hingga kostum di pernikahannya nanti. Dia sangat ingin memakai desainmu. Aku datang memintamu dengan harapan kamu bersedia. Dia adikku satu-satunya dan aku tidak ingin mengecewakannya. Aku sangat sayang padanya…”, pinta Chita dalam momen percakapan yang masih terasing siang itu.

Tan pun terdiam untuk hitungan detik. Seketika Ia teringat pada anak angkatnya yang masih kanak-kanak, seorang anak semata wayang yang telah menjadi berlian dalam mengisi kesehariannya. Ya, suatu hari mungkin Ia akan mengalami masa seperti detik ini saat anaknya akan menjadi keluarga baru. Sebuah keluarga yang akan dibangun bersama orang yang tidak pernah dikenalnya seumur hidupnya. Seorang yang tentunya akan mampu menerima bahwa orangtuanya adalah seorang waria. “Baiklah… Aku akan buatkan spesial untuk adikmu. Mintalah dia untuk menemuiku. Kamu bisa berikan kontakku padanya…”, jawab Tan pada Chita sambil menuangkan gula sesendok pada cangkir teh yang akan segera Ia tenguk untuk meringankan otot lehernya siang ini.

Hari berlalu tersusul bulan. Waktu yang terlewat membawa kedekatan tersendiri antara Tan dan Chita. Chita melihat sebuah perjuangan dan realita hidup seorang Tan yang selama ini telah Ia luluh lantahkan, bahkan untuk massa fashion dan life style. Ada perasaan haru dan ngilu setelah menyadari apa yang telah Ia lakukan pada Tan selama ini adalah kesalahan. Kesalahan dari keangkuhan strata sosial dan kelayakan hidup yang tidak pernah dilewati oleh Tan di masa kecil. Pada momen ini, Chita merasakan hangatnya hati dan kenyamanan bersama Tan.

Sebuah taman temaram terlapisi butiran es yang telah mengukir menjadi dinding hati seorang Chita, yang selama ini telah hidup sebagai seorang yang arogan dan beku mendadak mencair. Taman yang temaram itu pun menguap berguguran mengganti lapisan demi lapisannya menjadi sebuah musim semi. Musim semi yang bercampur dalam kehangatan sinar matahari yang mampu membuat aliran darah dalam tubuh menari berirama. Memberi bunyi dan kebahagiaan yang telah hilang dari nafasnya sebagai seorang manusia. Seorang waria. Chita mencintai Tan. Sebuah cinta yang selama ini belum pernah Ia rasakan, sebuah cinta dengan bumbu rindu gelora dan penghargaan akan hidup. Cinta yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk menjadikan Tan sebagai pasangan hidupnya dalam sebuah pernikahan. Chita tahu, Tan akan menjadi kekasih yang akan selalu ada untuknya dan Ia sendiri bersumpah dengan jiwanya akan selalu menjaga Tan segenapnya untuk melenyapkan segala kegelapan masa lalu Tan. Chita mencintainya demi kebahagiaan bukan sekedar seks dan nama besar. Sebuah pernikahan yang akan menjadikan satu generasi baru. Sebuah dinasti keterasingan yang akan menjadi pelita dalam kehidupan.

Hingga satu momen yang tidak berselang lama setelah pernikahan adiknya Chita, Chita dan Tan pun melangsungkan pernikahan mereka dan dilakukan di luar negeri. Pada akhirnya, bola mata keduanya tidak lagi memancarkan candu rindu yang memanas selain bintang masa depan dengan harapan kebaikan sebuah keluarga. Keutuhan komitmen cinta dan percintaan serta tanggungjawab mereka dalam membesarkan anak Tan nantinya.

Pada akhirnya, bola mata keduanya tidak lagi memancarkan candu rindu yang memanas selain bintang masa depan dengan harapan kebaikan sebuah keluarga. Keutuhan komitmen cinta dan percintaan serta tanggungjawab mereka dalam membesarkan anak Tan nantinya. Ya, mereka telah memiliki hak dan kewajiban serta pengakuan antara satu sama lain di mata dunia yang ganjil.

***

Malam ini, sebuah malam dimana Tan hadir sebagai tamu spesial bersama Chita dalam malam penganugarahan bagi para kreator dan entertainer telah membuat keduanya saling tersenyum di bilik hati masing-masing. Chita yang dulu tidak lain adalah seorang editor majalah fashion sekaligus musuh terbesar Tan sepanjang karirnya. Seorang kritikus fashion yang mengkritik kreativitasnya dengan sangat tajam. Seorang kritikus yang telah membuat dirinya terpojok dimata publik atas status seksual Tan sebagai seorang transgender, meski Chita sendiri seorang transgender, namun diluar itu semua sebuah momen telah mempertemukan keduanya dalam keagungan cinta Ilahi.

Kami persilahkan Mrs. Tanya Veronica untuk naik ke panggung untuk menerima penghargaan ini…”, terdengar suara dari pembawa acara menyebut nama Tan untuk menerima penghargaan sebagai penata rias wajah, rambut dan pakaian terbaik di era kini.

Spontan Chita berdiri dengan menggapai tangan kanan Tan penuh lembut sambil terbungkuk separuh dan berbisik: “Naiklah Sayangku… Aku dan Jezzy akan menunggumu di bangku ini. Kamu layak dan berhak menerimanya. Malam ini untukmu…”, dan kecupan dari Chita di pipi kiri Tan pun mengajak Tanya berdiri. Dalam langkah ketiga menuju panggung, tak terasa airmata Tan menetes lunak bagai air sungai yang mengalir ringan tak berbekas melewati pipinya. Terdengar alunan musik intrumen yang megah mengiringi langkahnya yang terjuntai dalam balutan dress hasil tangannya sendiri. Tan, seorang yang kecil itu telah besar.

 

Lenteng Agung, 7 Juli 2015

 

 

*Penulis adalah kontributor yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Bagikan