Search
Close this search box.

Hegemoni Dan Masa Depan Gerakan LGBTQ Di Indonesia*

Oleh Wida Puspitosari**

Hegemoni: Penjara Tanpa Dinding

Suarakita.org — Kekuasaan tersebar dimana-mana dan menampilkan banyak rupa. Pada umunya, kekuasaan sendiri didefinisikan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh sesorang atau suatu lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak lain. Pengertian di atas sejak lama telah digunakan oleh pengamat sejarah, politik dan sosial. Namun kekuasaan semacam itu justru dipandang sebagai hal yang bersifat represif atau kadang opresif. Dewasa ini ilmu pengetahuan sosial sudah memperlihatkan cara membaca kekuasaan yang berbeda — sebab ia bukanlah lagi bersifat subjektif. Kekusaan menyebar tanpa bisa dialokasi dan meresap dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan senantiasa bekerja dan bukan dimiliki oleh oknum siapapun. Ia beroperasi dalam relasi-relasi ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga. Lagipula, transformasi telah membawanya pada sifatnya yang bukan lagi represif, melainkan produktif, dan akan selalu berupaya untuk menormalisasi susunan-susunan yang ada di dalam masyarakat.

Senada dengan paparan di atas, kekuasaan dewasa ini ironisnya menjadi lokus pemaksaan identitas politis beberapa kelompok sosial tertentu. Melalui kekuasaan, supremasi sebuah kelompok sosial terwujud dalam dua cara: sebagai ‘dominasi’ dan sebagai ‘kepentingan intelektual/moral’ atau ‘hegemoni’. Sebuah kelompok sosial dikatakan dominan atas kelompok-kelompok yang dipimpinnya jika ia memiliki pengaruh yang mendorong munculnya consent (persetujuan) atau persetujuan dari kelompok-kelompok tersebut hingga mereka memberikan dukungan sukarela. Dengan kata lain, hegemoni, dalam definisi Gramsci, adalah serangkaian dominasi atas sebagian besar aspek kehidupan manusia, dari ekonomi, sosial, politik, hingga moral dan intelektual, dengan mengedepankan aspek-aspek konsensual nonkoersif (Roger 1982: 21). Lebih jauh lagi, inti dari ide hegemoni ialah merepresentasikan penerapan kekuasaan atas kelas subaltern melalui cara-cara penindasan dan kekerasan simbolik. Selayaknya penjara tanpa dinding, ia akan merasuk ke dalam sekat-sekat kehidupan paling mikro sekalipun dengan menerapkan fungsi pengengaturan serta pengawasan terhadap cara bertindak publik tanpa mereka menyadarinya.

 

Usangnya Konsep Kelas dan Transformasi Perubahan Pergerakan Bagi Subaltern

Seiring dengan dinamika situasi global yang mendorong kita pada perubahan cara berpikir, keadaan semacam ini mau tak mau akan menempatkan ide masyarakat berkelas menjadi usang. Tatanan sosial yang begitu kompleks mensyaratkan relasi politis untuk bertransformasi mengikuti wacana kontekstual yang sedang berdaulat. Diferensiasi di dalam kehidupan sosial tak lama lagi bertaut dengan relasi kelas — namun lebih mengacu pada beragam identitas politis yang saling bertarung dengan menerapkan praktek-praktek diskursif. Dalam konteks perlawanan terhadap kelompok pemegang kekuasaan (oppressor), Laclau dan Mouffe (2001) memaparkan jika hegemoni memiliki validitas dalam menganalisa nodal point (titik temu sebuah rangkaian) dan memungkinkan terbentuknya political frontier yang dapat memicu beragam pertarungan hegemonik, dimana chain of equivalence (mata rantai kesetaraan) akan terbentuk sebagai instrumen perlawanan terhadap rezim penindas.

Chain of equivalence dapat diartikan sebagai titik temu perjuangan revolusionis bedasarkan kesadaran kolektif. Ia bukan lagi berhenti pada perlawanan akan penindasan yang dialami oleh satu kelompok dengan satu identitas tertentu (misal: kelompok LGBTQ) namun lebih pada kolaborasi diantara kelompok-kelompok yang tertindas (misal: kelompok LGBTQ, korban genosida, korban peperangan). Kendati demikian, tantangan yang patut kita jadikan refleksi bersama adalah menjalin kognisi universalitas diantara kelompok-kelompom tertindas (subaltern) tersebut. Jikalau mereka sama-sama mendapatkan perlakukan yang tidak adil oleh rezim penindas, apakah chain of equivalence akan benar-benar mampu menjadi senjata mutakir untuk pergerakan ini? Mungkinkah membangun kognisi universalitas jika kelompok yang tertindas sejatinya juga masih terdiferensiasi secara kompleks?

 

Masa Depan Gerakan LGBTQ di Indonesia

Peliyanan terhadap kelompok LGBTQ oleh blok-blok kekuaasaan (termasuk negara) di Indonesia merupakan penelanjangan terhadap hak-hak kemanusian. Sadisnya, peliyanan ini justru dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan dan ideologi mayoritarianisme yang sering mempromosikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bagi semua. Tugas penting yang patut diemban oleh gerakan LGBTQ di Indonesia adalah memperjuangkan nilai-nilai keadilan yang berkonteks Indonesia untuk menjadikannya dialektika bersama antar beragam institusi, masyarakat sipil dan publik. Membangun mata rantai kesetaraan juga tidak akan mudah jika kelompok LGBTQ sendiri masih terfragmentasi ke dalam beragam fraksi. Membentuk kognisi universalitas bukan berarti menyeragamkan identitas dan pola pikir, namun terlebih sebagai pijakan bahwa gerakan menuju keadilan adalah gerakan mengembalikan martabat sebagai manusia.

Referensi:

  • Simon, Roger, 1982. Gramsci’s Political Thought, London: Lawrance and Wishart.
  • Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe, 2001. Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics, London: Verso

*Ulasan Kuliah Umum Suara Kita (Ide Radikalisasi Demokrasi), Sabtu 3 Oktober 2015

**Penulis adalah peneliti dan editor di Suara Kita