Search
Close this search box.

Festival Jepang dan Seksualitas

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org – Mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita, istilah-istilah Cosplay, Action Figure, atau kuliner khas Jepang seperti Sushi, dan mie Ramen. Semua itu bisa kita temukan di Festifal Jepang. Acara dengan tajuk Inubara Festival ini diselenggarakan oleh Institut Teknologi Nasional Bandung pada tanggal 19-20 September kemarin. Acara yang mengangkat dua kebudayaan, Sunda dan Jepang, ini dihadiri oleh penggemar anime dan manga di kota Bandung.

Yang menarik dari acara ini adalah selain kita bisa menemukan souvenir ala Jepang yang cantik, kita bisa menikmati suguhan musik pop Jepang atau musik-musik soundtrack anime Jepang. Selain itu, disini kita juga bisa dengan bebas mengekspresikan diri.

Di festival ini, kita bisa menemukan para Cosplayer yang melakukan crossdresser, atau kita juga bisa menemukan penggemar Yaoi  dan Yuri yang secara bebas dan santai membahasnya. Orang-orang di sekitar penyelenggaraan festival terlihat sudah terbiasa dengan acara tersebut. Bahkan, beberapa orang yang saya temui sengaja datang ke acara ini agar mereka bebas berekspresi tanpa takut adanya diskriminasi dari pihak manapun.

Kebudayaan Jepang sendiri tidak menganggap tabu hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Mungkin kita pernah mendengar tentang adanya festival penis atau yang disebut Kanamara yang diadakan di Jepang. Festival ini dilakukan untuk mengusir roh jahat, yang konon kabarnya, roh jahat tersebut merasuki perempuan dan membuat vaginanya memiliki gigi yang siap menggigit penis laki-laki ketika melakukan hubungan seks.[1]

Mungkin para pembaca juga pernah mendengar tentang acara reality show di Jepang yang membahas tentang permasalahan seks namun dikemas dengan humor. Acara yang sangat informatif,  dimana masyarakat Jepang terutama anak mudanya, lumrah melakukan hubungan seks tanpa ikatan pernikahan.[2] Itu bagian dari edukasi tentang seksualitas yang sudah diberikan semenjak kecil di Jepang.

Berbeda dengan kondisi di Indonesia, di mana masyarakatnya sering kali merasa malu dan menganggap tabu jika pembicaraan sudah menuju seks. Seolah membicarakan seks adalah hal yang memalukan dan tidak boleh dilakukan bahkan oleh orang dewasa. Ketika melihat seseorang yang sedang membawa kondom, orang tersebut sudah dianggap “kotor” dan seolah moralnya sudah rusak tanpa kita ingin tahu lebih lanjut apa alasan orang tersebut membawa kondom.

Padahal, jika kita menilik adat-adat tradisi di Indonesia sendiri, seksualitas bukanlah hal yang tabu. Gambaran tentang ini banyak sekali terlihat pada ritual-ritual yang dilakukan sebelum perkawinan. Tradisi sejumlah wilayah di Indonesia melibatkan aktivitas seksual secara heteroseksual maupun homoseksual. Ia punya makna lain ketimbang sekadar mencari kepuasan seksual.[3]

Ketika mendengar bahwa angka pelecehan seksual pada anak berada pada situasi yang mengkhawatirkan, masyarakat Indonesia masih saja menganggap bahwa membahas seks sejak dini itu tabu. Pernyataan ini bisa kita baca dalam sebuah artikel yang mengatakan: Kekerasan seksual adalah hal yang sangat mencengangkan yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Kasus-kasus kekerasan seksual harus ditanggapi dengan serius. Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mencatat ada sebanyak 817 kasus kekerasan seksual pada kurun waktu 2013 lalu, di mana keadan ini sudah menjadi peringatan besar bagi bangsa yang menganut budaya Timur ini untuk segera menyudahi paradigma “Tabu” yang selalu menyelimuti karakter bangsa apabila membicarakan hal-hal mengenai seksualitas.[4]

Kembali lagi ke Festival Jepang, seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa festival Jepang seperti ini seringkali ditemukan di Bandung. Kampus-kampus sering mengadakan acara ini 4-5 kali dalam sebulan. Mungkin dengan begitu permasalahan seksualitas akan menjadi lazim dibicarakan dan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pendidikan seks itu penting. Memang benar, kita tidak perlu menerima 100% kebudayaan dari luar. Kita perlu menyaringnya. Namun, bukan berarti kita menjadi apatis dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Dan kita tidak perlu menunggu adanya korban untuk memulai.

 

 

*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.

 

Catatan Kaki:

[1] http://www.seksualitas.net/festival-penis-di-jepang.htm

[2] https://budayajepang.wordpress.com/2010/09/22/seks-dalam-masyarakat-jepang/

[3] http://historia.id/budaya/ritual-seksualitas

[4] http://www.kompasiana.com/arifvoyager/polemik-ketabuan-pendidikan-seksualitas-dan-reproduksi-di-indonesia_559842dc939373d4063bced6