Search
Close this search box.

Diskusi Film Geography Club

Suarakita.org- Sabtu,19 Sepetember 2015, Suara Kita mengadakan pemutaran film berjudul Geography Club. 14 orang hadir dalam pemutaran ini.

Geography Club adalah sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh Brent Hartinger seorang penulis Amerika. Film ini berusaha mengangkat dan menggambarkan mengenai betapa sulitnya hidup sebagai homoseksual di kalangan remaja Amerika yang saat itu masih sangat homofobik.

Russel Middlebrook seorang remaja yang juga tokoh utama dalam film ini berusaha untuk bertahan karena kemungkinan terburuk yang dapat ia terima dari teman-teman sebayanya bila dia mengaku gay di hadapan publik. Film yang berdurasi sekitar 70 menit ini cukup jelas dan detail menggambarkan bagaimana susahnya tantangan seorang homoseksual terlebih pada remaja yang juga memilki masalahnya tersendiri sebagai remaja.

Setelah film selesai diputar diskusi pun dimulai. Yudi dari Suara Kita yang memandu diskusi pada sore hari itu dimulai dengan berkenalan. Kebetulan pada sore hari itu Suara Kita kedatangan teman- teman dari Universitas Sahid yang baru pertama kalinya datang untuk nonton serta diskusi dan mengenal lebih jauh mengenai Suara Kita.

V, mahasiswa Universitas Sahid yang baru pertama kali mengenal Suara Kita mengaku baru pertama kali juga menonton film dengan tema LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) seperti ini. Dia masih merasa aneh karena belum terbiasa dan belum pernah menemukan dan berinteraksi secara langsung dengan komunitas LGBT. Namun secara umum ia tidak bermasalah dengan kaum LGBT selama tidak mengganggu dirinya dan orang lain. “Selama ini belum pernah menyaksikan seperti yang tadi ada di film, seperti sodara dan lingkunagn emang gak ada, mungkin karena ini juga pengalaman pertama “ ujar V.

Sementara itu K yang juga mahasiswa Universitas Sahid Jakarta berpendapat bahwa film tersebut tampak biasa saja. Karena penggambaran pada saat coming out masih sangat umum dan tidak mendetail sehingga kurang greget, “Aku merasa film tersebut masih kurang aja cara menjelaskan kepada penontonnya , dan masih terlalu umum dan belum mendetail”.

Sementara itu J yang sudah pernah menonton film ini dan sudah membaca novelnya merasa kecewa dengan bentuk filmya. Karena versi film berbeda dengan versi novelnya. “Russel misalnya, dalam film tersebut digambarkan sangat ragu dan tidak yakin akan orientasi seksualnya, sementara dalam versi novelnya, Russel sangat yakin bahwa ia seorang Gay”. J juga merasa bahwa pesan-pesan yang ada dalam novel tidak tersampaikan dalam film tersebut.

Bagi Hartoyo, bagian dalam film yang menampilkan bagaimana seorang anak laki-laki harus mengurus seorang bayi (dengan menggunakan boneka) adalah sesuatu yang penting. Hartoyo membandingkan apabila model pendidikan seperti itu diterapkan di Indonesia tentu akan mengalami penolakan dari orang tua murid.

Tidak terasa dua jam telah berlalu untuk nonton film dan mendiskusikannya. Tepat pukul 18.00 WIB diskusi selesai. (Eddy)