Oleh: Sebastian Partogi
Suarakita.org- Pukul 5 sore itu, aku sedang duduk sendirian di kafe favoritku di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Suasana kafe sangat sepi, hanya ada dua-tiga pengunjung selain diriku. Aku sedang menikmati kesendirianku dan tenggelam dalam novel bacaanku sambil menikmati kopi Aceh (kafe ini menyediakan kopi Aceh yang paling nikmat di seantero Jakarta!). Tak terasa sudah empat cangkir kopi Aceh aku tenggak sore itu. Ini yang terakhir, pikirku. Kalau tidak, aku pasti akan susah tidur.
Lelah setelah menelan 60 halaman dari novel tersebut tanpa jeda, aku memutuskan untuk menutup buku tersebut dan mengistirahatkan mata dan pikiranku sejenak. Sesekali aku memandang ke luar jendela yang ada persis di sebelah kursi dimana aku duduk. Pemandangan yang menyenangkan tiba di pelupuk mataku: tidak seperti biasanya, jalanan Jakarta sedang sangat lengang hari ini.
Setelah harga minyak naik, inflasi meroket, daya beli masyarakat jadi menurun. Apalagi sekarang ini sudah tanggal tua. Akhirnya Ahad ini, sedikit warga Jakarta yang keluar hedon. Aku memang lebih suka untuk nongkrong di kafe pada tanggal tua karena alasan ini: jalanan tanggal tua sudah dipastikan sepi.
Aku memutar kepalaku 90 derajat dari jendela dan memandang ke pojokan kafe. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat karena aku melihat sosok yang familiar sedang duduk sendirian di pojokan kafe tersebut.
Ia menggunakan kaos berwarna merah jambu dengan tata rambut yang jabrik-jabrik bagaikan duri landak. Tidak ada yang istimewa dengan kaos merah jambu atau rambut duri landak. Yang istimewa adalah, lelaki adalah seseorang yang pernah kukenal. Aku pernah bersahabat dengannya saat kuliah dulu. Namun suatu hari tiba-tiba ia meninggalkan diriku tanpa alasan yang jelas.
Aku mempelajari wajahnya untuk sesaat. Daniel terlihat sangat pucat dan memiliki kantong mata yang sangat hitam – bagaikan hantu. Entah apa yang terjadi padanya. Selama beberapa menit aku memperhatikan wajahnya, dan semua ingatan buruk dari masa kuliah itu tanpa dinyana mencuat ke alam kesadaranku. Seketika aku merosot di kursi tempatku duduk dan rasa bahagia yang dibawakan oleh kopi Aceh, novel yang sedang kubaca dan jalanan Jakarta yang lengang hilang seketika. Digantikan oleh deraan kenangan pahit, lebih pahit daripada rasa kopi di mulutku.
***
Kita pertama kalinya bertemu delapan tahun yang lalu saat kuliah. Aku adalah anak yang rasa percaya dirinya sangat rendah akibat dirisak[1] habis-habisan oleh teman-teman dan guru sekolahku sejak SD hingga SMA. Menurut mereka, aku adalah banci. Laki-laki yang tingkahnya keperempuan-perempuanan. Oleh karena itu, aku pantas dilecehkan.
Karenanya, aku jadi takut sekali untuk menyapa orang lain, apalagi langsung bergabung dalam sebuah kelompok sosial dan ikut berbincang-bincang. Aku sangat pendiam dan kaku. Aku lebih nyaman saat aku menyendiri jauh dari keramaian.
Hingga suatu pagi engkau menyapa diriku. Saat itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan dirimu di dalam ruang kelas sebelum kuliah dimulai. Daniel P., lelaki yang sangat tampan dan halus budinya. Engkau adalah teman pertama yang kumiliki saat kuliah di universitas tersebut.
“Halo, namamu siapa? Perkenalkan, namaku Daniel. Ini sahabatku, Tina,” ujarmu padaku yang duduk dua saf di sebelahmu saat itu.
“Halo, namaku Sahat,” ujarku memperkenalkan diri dengan agak terbata-bata sambil menyalami tanganmu dan Tina.
“Senang berkenalan denganmu, Sahat. Eh, ngapain kamu kok duduk berjauh-jauhan seperti itu. Ayo, pindah saja ke bangku sebelahku,” ujarmu sambil tersenyum manis. Sebetulnya sejak awal masuk ke dalam ruangan ini, aku sudah berniat ingin duduk di sebelahmu, tetapi aku malu-malu. Mendapat undangan darimu untuk mendekat, dengan senang hati aku pun melakukannya.
***
Perkenalan kita pada pagi hari itu ternyata menjadi awal dari sebuah pertemanan. Karena ternyata kita satu seksi untuk semua mata kuliah yang kita ambil, kita selalu bersama baik saat sedang menghadiri kuliah di dalam kelas maupun saat makan siang di kantin. Kita juga sering pergi jalan-jalan bersama ke berbagai pusat perbelanjaan. Kita selalu satu kelompok saat mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Untuk pertama kalinya sejak aku masih kecil, aku memiliki sekelompok teman yang menganggap diriku bagian dari kelompok mereka dan menerimaku apa adanya.
***
Perlahan-lahan, berkat persahabatan di antara kita, rasa percaya diriku mulai bangkit dan aku mulai berani untuk membuka diriku pada semakin banyak teman baru. Dengan semakin banyaknya teman yang aku miliki, semakin bertumbuh pula rasa keyakinanku atas diriku sendiri. Belakangan kuketahui bahwa kalian ternyata juga adalah homoseksual, tidak beda dengan diriku. Aku pikir kesamaan identitas ini akan semakin mempererat persahabatan kita.
Kita pun menabung untuk melaksanakan rencana kita untuk pergi liburan bersama di tengah tahun setelah semester dua berakhir.
***
Menurut John Lennon, hidup adalah apa yang terjadi padamu saat engkau sibuk merencanakan hal-hal lain.
Sejak semester dua dan kita kuliah di seksi yang berbeda, entah apa yang terjadi, tiba-tiba sikapmu menjadi sangat dingin terhadap diriku. Engkau dan Tina tidak pernah lagi mengajakku pergi berjalan-jalan. Sementara rasa rinduku terhadap dirimu, sahabatku, semakin membuncah.
Aku sering mengirimkan pesan melalui SMS ataupun Friendster tetapi engkau tidak pernah menggubris mereka sama sekali. Belakangan, engkau malah menghapus diriku dari daftar pertemananmu di Friendster. Aku sungguh terpukul. Saat kita berpapasan di kampus, engkau tidak pernah menyapa diriku, tetapi senantiasa menatap lurus-lurus ke depan, seolah aku tidak ada.
Aku tidak paham apa yang terjadi dengan persahabatan kita. Namun aku juga tidak berani bertanya langsung kepada dirimu karena jauh di lubuk hatiku, aku merasa diriku lebih rendah daripada dirimu. Kau tampan, lebih cerdas daripada diriku (IPK-ku sebetulnya di atas rata-rata yaitu 3.6, tetapi apalah artinya angka tersebut jika dibandingkan dengan IPK-mu yang 3.9), kau juga berasal dari keluarga yang berada.
Pada semester lima, kita ternyata kuliah di seksi yang sama lagi. Namun saat itu, keadaan sudah jauh berbeda. Engkau sudah dikelilingi oleh teman-teman yang baru: Rio, Henny dan Smita. Ada wajah lama, yaitu Tina, namun ia juga sudah asik sendiri dengan geng baru kalian. Kalian senantiasa duduk di satu baris yang sama, senantiasa bercanda. Kalian tidak pernah sekalipun menyapa diriku. Meskipun aku juga tidak kalah, duduk di antara mahasiswa-mahasiswa populer dan keren di kampus, tetapi aku tidak pernah berhasil menepiskan kesedihanku karena merasa telah disisihkan dari pergaulan kalian.
Hari yang paling menyakitkan bagiku di semester lima adalah 23 November 2008. Kita semua tahu kan, itu tanggal ulangtahunku dan Tina (kami terkejut bahwa hari ulangtahun kami sama dan dulu pernah menyebut satu sama lain sebagai ‘saudara kembar’). Waktu semester pertama dulu, sebelum engkau tiba-tiba membuang diriku, engkau mengirimkan pesan selamat ulang tahun padaku lewat SMS pukul 12 malam. Aku merasa sungguh dihargai karena seumur hidupku, belum pernah ada teman yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku, apalagi sampai mengirimkan SMS pukul 12 malam.
Tetapi sejak tahun lalu, engkau tidak lagi mengirim ucapan apapun padaku saat aku berulang tahun. Tidak mungkin kau lupa. Saat itu Facebook sudah mulai populer dan banyak sekali mutual friends kita yang memberi ucapan padaku. Tahun ini sama. Engkau tidak memberi ucapan.
Namun aku merasa terpuruk bagaikan agar-agar yang tercecer di lantai saat engkau, Rio dan Henny memberikan kejutan ulangtahun kepada Tina di ruang kelas kita, pada 23 November itu, sebelum perkuliahan dimulai. Selain memberikan kado, kalian juga memberikan sebuah kue ulangtahun lengkap dengan lilin yang membentuk angka 20: usiaku dan usia Tina saat itu. Betapa engkau tidak menjaga perasaanku yang sedang ada di kelas waktu itu, aku kan juga pernah menjadi anggota klik kalian, mengapa hanya Tina yang diberi hadiah dan kejutan?
Dan, lebih parah lagi, kalian sama sekali tidak mengucapkan selamat ulangtahun padaku. Baik engkau maupun Tina. Padahal aku yakin kalian ingat. Yakin sekali. Paling tidak, kalian pasti sadar bahwa itu adalah hari ulangtahunku. Karena di siang hari yang sama, mahasiswa-mahasiswa yang lain juga menyalani Tina dan diriku secara bergantian di ruang kelas tersebut. Tetapi kalian sama sekali tidak bergeming dari kursi kalian untuk menyapa diriku. Bagi kalian, aku adalah sesosok persona non grata yang kehadirannya bahkan tidak perlu dianggap atau diperhitungkan.
Untuk pertama kalinya, aku menangis tersedu-sedu karena sedih di hari ulang tahunku. Saat sekolah dulu, dimana tidak ada seorangpun tahu soal ulangtahunku pun, aku tidak pernah sesedih ini. Penolakan memang paling pedih saat dilakukan oleh sahabat terdekat kita sendiri.
Semester demi semester, temanku semakin bertambah banyak dan popularitasku di kampus pun meroket. Penghargaan demi penghargaan atas prestasiku satu persatu berhasil aku sabet. Namun aku masih merasa kosong dan depresi. Karena engkau, sahabat yang aku cintai, tiba-tiba menjauh tanpa kuketahui jelas sebabnya.
***
Siang itu aku lulus sidang skripsi dengan predikat cum laude. Aku sudah mengirimkan SMS kepadamu mengabari jadwal sidangku. “Dan, aku sidang tanggal 25 Januari. Aku harap engkau bisa hadir dalam sidang ini. Kita mengawali kuliah kita dengan persahabatan, dan aku harap bisa menutupnya dengan persahabatan pula, terlepas dari apapun yang terjadi pada persahabatan kita sehingga engkau sempat menjauh dari diriku.”
Aku sudah siap untuk tidak menerima respon apapun untuk SMS itu. Di luar dugaan, engkau menjawab. “Oke, Sahat, kalau sempat aku akan hadir ya J”
Tetapi engkau tidak hadir. Tidak pula mengirimkan SMS, pesan atau komentar apapun di Facebook. Padahal aku sudah menuliskan status bahwa aku baru saja lulus. Meskipun status itu di-like oleh 60 lebih orang dan puluhan orang lainnya mengirimkan pesan, menulis di dinding Facebook, menulis SMS atau bahkan menelepon untuk memberi selamat atas kelulusanku, aku masih merasa kurang dan sedih karena engkau sama sekali tidak memberikan ucapan apapun. Engkau, sahabat yang pertama kalinya membukakan pintu bagiku saat kita masuk kuliah dulu. Aneh sekali, aku yang seharusnya bahagia bisa lulus kuliah dalam 3,5 tahun terlepas dari topik skripsi yang sulit malah menjadi depresi berkepanjangan, semua karena Daniel. Perilaku manusia memang sering tak masuk akal.
“Biar aku ceritakan sebuah rahasia tetapi jangan kau beberkan sama siapa-siapa ya,” ujar Jennifer sembari menghibur diriku yang sedang menangis terisak-isak seusai lulus sidang skripsi karena tidak mendapat ucapan selamat dari Daniel. Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ucapan Jennifer. Kerongkonganku penuh dengan dahak sehingga aku sulit untuk berbicara.
“Jadi begini, Hat. Kamu tidak usah masukkan sikap acuh tak acuh Daniel itu ke dalam hati. Kamu tahu tidak, selama ini dia menderita depresi berat dan sering ingin bunuh diri. Beberapa kali ia bahkan mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya tetapi gagal karena ditolong oleh ibunya. Rasa percaya dirinya sangat rendah.”
“Penyebab utamanya adalah karena ia tidak mampu menerima identitas dirinya sebagai seorang gay. Orangtuanya juga selalu menekannya untuk berubah menjadi hetero, tetapi tentu saja ia tidak bisa melakukan hal itu. Tetapi ia sangat pandai menutupi depresi tersebut sehingga tidak seorangpun, termasuk kamu, tahu.”
“Pernah dia mengaku iri pada kamu. Meskipun IPK dia jauh lebih tinggi daripada kamu, tetapi ia menganggap kamu lebih bisa membawa diri dalam pergaulan karena temanmu ada dimana-mana. Kamu juga dekat dengan dosen-dosen top. Entah mengapa, karena kamu juga gay, rasa persaingannya terhadap diri kamu menjadi semakin runcing… Ia merasa bahwa supaya bisa diterima sebagai gay dalam pergaulan, ia tidak cukup hanya menjadi anak paling pintar, tetapi juga harus jadi paling populer… Itu adalah bentuk kompensasi rasa rendah dirinya atas identitas gay-nya… Kamu paham kan maksudku?” tutup Jennifer.
Sejak itu, aku memutuskan semua hubungan dengan Daniel. Aku menghapus nomor teleponnya, aku memblokir halaman Facebooknya. Aku juga tidak pernah menghadiri acara-acara reuni fakultas untuk menghindari pertemuan dengan mantan sahabatku itu. Aku mengubur rasa sakit hatiku tersebab dibuang sahabatku itu dalam-dalam.
***
Ingatan akan penuturan Jennifer itu membuyarkan khayalanku. Sudahlah, saatnya berhenti berkubang dalam ingatan-ingatan sedih. Aku tidak perlu merasa rendah diri. Daniel membuang diriku bukan karena aku ini inferior atau tidak pantas menjadi temannya tetapi karena dia merasa buruk atas dirinya sendiri.
Aku melakukan wejangan konselorku. Kalau trauma kamu sedang ke-trigger, minum air putih hangat dengan perlahan-lahan. Aku menenggak air putih hangat pemberian pelayan kafe dengan perlahan-lahan. Tuliskan apa yang kamu rasakan di secarik kertas, itu cara yang baik untuk mengidentifikasi masalah. Aku menuliskan di secarik kertas bahwa traumaku terkorek kembali karena melihat sosok Daniel, sahabatku yang pernah membuang diriku, namun aku akan baik-baik saja karena aku tahu diriku berharga. Cari distraksi. Aku membuka Facebook.
Apa yang kulihat saat membuka halaman rumah Facebook mengejutkanku.
Yulissa Karim
RIP Daniel…
Valentina Melissa Tari (Tina)
Daniel… Kenapa harus pergi secepat ini… *jerit-jerit* *nangis-nangis* #dukacita #RIP T_T
Jennifer Tedjakusuma
You’re in the arms of the angel, may you find some comfort here… (Sarah McLachlan, Angel). Rest in peace, Daniel…
Dewi Permana
Memberitakan insiden bunuh diri bok ya yang sensitif dikit, ngapa… Baca link di bawah ini deh, teman-teman, bikin panas banget kan beritanya…
PATAH HATI, SEORANG KARYAWAN SWASTA GANTUNG DIRI DI KAMARNYA
tvOON.com – Seorang karyawan swasta berjenis kelamin pria dengan inisial DP baru saja ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. “Orangnya emang aneh,” ujar tetangga DP saat ditemui wartawan Tv Oon.
Aku merasa detak jantungku berhenti sesaat karena terkejut. Berusaha mencerna informasi yang baru saja kudapatkan. Lho? Daniel sudah meninggal karena bunuh diri? Refleks aku mengirimkan pesan chat Facebook pada Jennifer yang sedang online. Jen, Daniel meninggal? Karena bunuh diri? Speechless gue…
Lantas aku tercekat, menyadari sebuah keanehan: Berarti orang yang aku lihat di pojokan kafe tadi itu siapa ya? Tidak mungkin Daniel, dong. Apakah hanya seseorang yang sangat mirip dengannya?
Aku mendongakkan kepalaku ke arah pojokan kafe untuk memastikan. Namun, sosok ‘Daniel’ sudah tidak ada lagi di situ.
“Lho?” ucapku keceplosan karena terkejut. Aku tidak ingat melihat sosok berbaju merah jambu dan berambut jabrik itu pergi melewati diriku dan keluar dari kafe.
“Tidak usah menengok jauh-jauh ke pojokan sana untuk mencari diriku, Hat. Aku sekarang ada di sampingmu dan akan selalu ada di dekatmu,” terdengar suara seorang lelaki. Tidak mungkin salah, itu adalah suara Daniel. Aku merasa ada tangan yang meraih lengan kananku. Tangan itu menyentuhku. Tangan itu terasa sangat dingin, bagaikan ayam yang baru saja dikeluarkan dari freezer.
Kepalaku mendongak ke sisi kanan tempatku duduk. Aku melihat Daniel, wajahnya yang pucat, dua bola matanya yang dibalut oleh kantung hitam. Aku memberanikan diri untuk melihat ke arah lehernya. Benar saja, ada bekas seperti lilitan tali laso di sana.
SELESAI
Untuk Dionisius dimanapun kamu berada. Semoga engkau beristirahat dengan tenang dan please, berhenti menghantui alam pikiranku.
[1] “Dirisak” adalah bahasa indonesia untuk kata “being bullied”.