Suarakita.org- Tiga bulan belakangan ini, isu LGBT menjadi perbincangan yang hangat dan Gereja-gereja di Indonesia pun menjadi salah satu yang terimbas pada pembangunan konsep LGBT sebagai bagian dari ruang isu yang dikaji secara teologis. Pada Jumat kemarin (31/8) diadakan fokus diskusi mengenai LGBT dalam prespektif kekristenan oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI) Peterongan, Semarang, Jawa Tengah.
Pengkajian Eksistensi LGBT dianggap telah ada sejak dari dahulu kala, bahkan ribuan tahun sebelum masehi telah digambarkan dalam banyak sejarah dunia, namun kehadiranya di masyarakat tidak mengemuka selain memang belum adanya penggunaan kata LGBT (yang sekarang terkadang ditambahkan dengan I untuk Interseksualitas dan Q untuk Questioning/Queer) terlebih Homoseksual belum digunakan dan kini menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.
Seiring berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi informasi yang memunculkan era keterbukaan yang kajian keilmuanya juga semakin berkembang menjadikan kelompok LGBT mulai lebih terlihat eksistensinya di masyarakat dan salah satunya di Indonesia.
LGBT saat ini dipandang sebagai sebuah identitas gender (Sexual Identity) dan bukan sebagai bentuk dari pengaruh lingkungan atau bahkan bukan pula sebagai sebuah lifestyle yang dipilih dan bukan pula sebagai manusia yang berprilaku “menyimpang” melainkan sebagai seorang manusia yang normal apa adanya dan LGBT dianggap sebagai bagian dari keragaman gender dan seksualitas (Gender and Sexual Diversity) dalam sebuah kelompok sosial masyarakat.
Study Gender dalam gereja-gereja barat sendiri telah melakukan pembahasan mengenai LGBT dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir ini, dan memasukkanya sebagai salah satu studi teologis yang disebut sebagai Queer Theory, yang memandang ragam seksualitas manusia sebagai bagian dari keberagaman manusia, yang memandang manusia tidak sekadar hitam dan putih, atau menjustifikasikan sebagai bagian dari dosa.
Namun keragaman tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bersifat esensial dalam diri manusia sehingga gereja-gereja barat menyatukan teologis LGBT dan membuka diri pada LGBT untuk memulai membangun tafsir-tafsir yang lebih humanis, progresif dan inklusif terhadap keragaman seksualitas manusia dan memberikan batasan bahwa ada sisi-sisi yang sama dengan heteroseksual dalam memandang isu tentang LGBT.
Pada umumnya, gereja di Indonesia belum memahami adanya keragaman gender dan seksualitas tersebut, bahkan banyak yang belum dapat membedakan antara Gay dan Transgender. Minimnya pemahaman tentang isu LGBTIQ ini membuat banyak gereja menjadi terpecah dalam memandang LGBT sebagai bagian dari keragaman seksualitas, karena hanya berpegang pada tafsir lawas terhadap nas-nas Alkitab yang bersifat heterosexism (Cara pandang yang sangat Heteronormatif).
Akibatnya, LGBTIQ dipandang sebagai sekelompok “pendosa” karena dianggap sengaja memilih gaya hidup yang salah dalam melawan “kodrati” manusia yang diharuskan. LGBTIQ dianggap bukan sebagai “Kristen Sejati” sehingga untuk bisa dianggap menjadi seorang “Kristen Sejati” diharuskan melakukan pertobatan dengan memaksakan gender dan seksualitas yang sangat heterosexism tersebut, yang justru mengakibatkan gereja tidak lagi mampu melakukan pelayanan pastoral yang relevan dan tepat bagi LGBTIQ Kristen karena kegagalan dalam memahami pergumulan tersebut.
Pandangan Gereja sendiri terbagi menjadi lima prespektif dalam memandang isu LGBT ini, pertama adalah LGBT dipandang sebagai sebuah komunitas yang immoral atau seseorang telah melakukan perbuatan dosa karena dianggap telah menyalahi kodrati manusia bahwa persatuan dua cinta hanya diakui anatara lelaki dan perempuan saja.
Kedua, dianggap sebagai badhabit atau hanya sebuah “lifestyle” yang salah karena perkembangan jaman, globalisasi dan lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk menjadi seorang LGBT.
Ketiga, LGBT dianggap sama seperti sebagai seseorang yang difable, kebutaan atau sebuah kecacatan. Gereja menerima namun menganggapnya sebagai sebuah kecacatan pada diri manusia.
Keempat, LGBT hanya dianggap sebagai seseorang yang “kurang rohani” dalam komunitas Kristen namun Gereja tetap menerimanya sebagai bagian dari kekristenan.
Dan yang terakhir, kelima adalah Gereja menganggap bahwa LGBT sebagai sesuatu yang normal layaknya manusia heteroseksual dan memandang penyatuan dua manusia sama seperti penyatuan dua pasang lelaki dan perempuan. Sama-sama memiliki perasaan untuk saling mengasihi, berkomiten untuk saling setia dan menerima segala sisi baik dan buruk dari pasangan dalam situasi sehat dan sakit.
Menurut Pendeta Juswantori Ichwan, M.Th selaku Pendeta di GKI Peterongan, beliau merasa perlu menggumuli persoalan LGBTIQ secara mendalam dengan mengambil disertasi studi doktoral yang mengambil tema langsung mengenai liturgi pastoral untuk LGBTIQ, yang harapannya ke depan mampu menghadirkan sebuah “Liturgi Janji Setia” sebagai bentuk baru dalam memahami terminologi pernikahan tanpa harus melawan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang memahami terminlogi pernikahan sebagai penyatuan hanya antara lelaki dan perempuan semata, “Sehingga perlu ritual alternatif”, katanya. (Oriel Calosa)