Search
Close this search box.

[KISAH] Yang Penting Bisa Makan

Oleh : Rebecca Akasia*

Suarakita.org- Rabu, malam keempat belas Ramadhan 1436 Hijriah. Malam hampir larut, malah sang Bulan pun sudah makin keliatan lelah. Pun mataku yang semakin susah diajak kopromi. Tiba tiba handphone murahku berdering tanda ada pesan masuk, “Hi there Wariamuda are you in Jakarta. Please let me know”, begitu isi pesannya.

Wajah layuku langsung sumringah laksana subuh menjemput pagi. Ya…, aku tahu itu pesan mungkin dari calon pelangganku, terlebih nomor pengirim pesan menggunakan kode +61 yang sekarang aku tahu itu kode area Australia. Tak lama nomor Australia itu menelpon, tapi aku meminta untuk negosiasi melalui pesan teks saja, alasannya karena bahasa Inggrisku yang pas-pasan.

Dari berbalas pesan aku tahu calon pelangganku seorang berkebangsaan Australia yang menginap beberapa malam di salah satu apartemen mewah daerah Sudirman. Dia dapat nomor telepon dari salah satu situs dating yang biasa aku dan teman waria lain menggelar lapak jual jasa tubuh. Biasa aku menggunakan nama wariamuda di beberapa website.

Biasanya kalo pelanggan berkebangsaan asing, aku mematok harga sejumlah nominal dengan mata uang dollar Amerika. Terlebih calon pelanggan yang tak bisa berbahasa Indonesia. Si bule calon pelangganku sepakat dengan harga yang aku kasih tanpa ada tawar menawar. Setelah harga,waktu dan tempat sepakat, aku bersolek memoles tepung agak tebal pada wajahku, walau mata lagi iritasi dan merah aku tetap menggunakan softlens yang berdiameter sedikit besar dari biasa nya, tak lupa pula pemerah bibir dan bulu mata palsu dua lapis menunjang penampilanku malam ini.

Malam ini aku harus terlihat lebih cantik dari malam biasa, karena calon pelangganku membayar dengan bayaran yang cukup lumayan. Sembari menunggu telepon dari si Aussie, aku menyatok rambut pendek blonde kusamku ala polisi wanita. Agak lama menunggu, handphone kembali berdering , “So you will smoke and get high with me, MR Jam** room *05. Please wear sexy lingerie, bring viagra for us and also a cigarette lighter. feel free to bring any toys, restraints or whatever,if by any chance u have a pipe for smoking please bring”.

Aku tak begitu paham apa yang dia katakan aku hanya menjawab, “Yeah sure!!! I’m on the way now, see you soon dear”. Sebelum menuju tempat dia bermalam aku berjalan pelan dengan taksi putih yang aku tumpangi di sepanjang jalan Jatinegara, yang biasanya berjejer penjual obat kuat. Tapi malam itu sedikit sepi, mungkin karena bulan puasa.

“Bang,pil biru dong dua butir”, kataku.

“Enam puluh ribu Neng”, jawab abang gendut penjual obat kuat itu sembari memberi bungkusan kecil padaku.

Perjalanan dilanjut menuju tujuan. Selang tak berapa lama aku sampai. Karena jalan Jakarta juga sudah sepi dari hiruk pikuk orang-orang urban. Hal yang paling aku benci ketika datang menemui pelanggan di tempat seperti ini ya tatapan sinis petugas apartemen seolah mencemooh diriku yang pekerja seks seksi tak bermoral, perempuan berpenis yang menyalahkan kodrat pula, ah… persetan dengan mereka.

Tanpa banyak basa basi aku utarakan pada pekerja apartemen itu niatku datang menemui Mr Jam** di kamar *05. Aku di arahkan menuju lift oleh salah seorang petugas, tanpa lupa memberikan tips padanya.

Sesampai di depan pintu aku menekan bel, sedikit bergetar lututku. Ya aku memang selalu begitu untuk bertemu dengan pelanggan baru apalagi media sekarang yang gencar memberitakan kejahatan akibat prostitusi online membuatku bergidik.

Di balik pintu muncul pria bertubuh tambun berhidung sangat mancung dan bermata biru itu kelihatan sangat ramah, tangannya yang putih penuh bulu menyalamiku, “Hi Wariamuda, you are so beautifull ”, gombalnya. Dia mempersilahkan aku masuk menunjukkan satu kamar di sisi kanan, lumayan besar mungkin beberapa kali lipat dibanding kamar kost sempitku.

Apartemen itu terdiri dari dua kamar. Ada telpon di atas meja di sebelah kanan king bed itu, dinding di sudut lain menempel lampu tidur mewah yang menyala indah. Di bawahnya ada lemari baju kecil penuh kaca. Si Aussie baik itu menunggu di sofa ruang tamu sembari aku mengganti dress krem yang aku kenakan tadi dengan lingerie hitam seksi ku, juga high heels merah 20 cm kesayanganku,

Mataku melotot besar melihat apa yang dilakukan si Aussie di sofa itu. Dia menghisap sedotan minuman yang tertanam pada botol plastik, ada dua sedotan bengkok yang tertanam pada tutup botol. Di ujung sedotan dia hirup dan di ujung sedotan yang lain sembari dia bakar menggunakan pematik berapi sangat kecil. Air di dalam botol kelihatan seperti mendidih ketika salah satu sedotan dihirup. Berarti aku salah sangka,yang di maksud si Aussie dalam pesannya “smoke” tadi bukan rokok nikotin, tapi lebih bahaya dari itu, aku diajak ikut menghisap benda kristal yang dibakar itu. Walau sudah aku bilang tidak pernah melakukan itu dan tidak mau.

Sebenarnya aku udah sering melihat teman teman waria melakukan itu, mereka bilang sih buat meningkatkan rasa percaya diri dan membuat semakin cantik, sejujurnya tak sedikitpun aku tertarik untuk ikut melakukan hal yang seperti itu, terlebih aku tahu akan bahaya nya.

Selain merusak tubuh yang sudah bersusah payah aku buat cantik, pasti nanti akan berurusan dengan hukum.

berat memang melakukan hal yang tidak kita suka tapi mau tidak mau kita tetap harus melakukannya, aku disuruh menghisap sedotan itu,untuk kali pertama dan aku tak tahu cara pakai nya. Dia tertawa keras, betapa tidak sedotan yang mestinya di hirup malah aku tiup. Bayangkan untuk menghirup nikotin dan alkohol saja bisa di bilang aku tidak pernah, nah malam ini malah ngelakuin hal yang aku sendiri tidak tahu apa khasiatnya.

Hingga beberapa hirup pun aku tak mendapatkan “get high” seperti yang dia janjikan tadi, yang ada aku merasa tak enak, pikiranku makin kacau lidah pun pahit gara gara menghirup benda yang sedikit rasa mint itu, kepalaku semakin pusing dan terus berupaya bicara sama si Aussie itu kalau aku tidak suka, sampai akhirnya aku berhenti.

Tetap terus ngomong dengan bahasa yang tidak aku mengerti itu, dia memerintahkan aku menggenggam dan meremas kemaluannya. Itu aku lakukan hampir tiga jam, sedikit aneh memang tapi ya apa mau di kata. Aku membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar buat makan dan bayar hutang.

Sudah sedari tadi aku meremas kemaluan Aussie yang tak begitu besar, tanpa ada aktivitas oral dan anal seks serta aktivitas seks lainnya yang biasa diminta pelanggan pada umumnya. Beberapa menit menuju jam empat serasa satu bulan penuh aku tak dapat tamu, begitu lama dan membosankan.

Aku melirik apa yang bule ganteng itu lakukan di smartphone-nya, dia buka aplikasi “Grindr”.

Dia ngobrol dengan seorang laki-laki di aplikasi grindr yang kalau aku lihat dari fotonya mungkin seumuran dengan aku, 23 tahun. Dia menunjukkan foto-foto waria dan gay yang pernah diajak bertemu kalau dia di Jakarta. Dilihat dari history chat di grindr si bule itu, dia juga janji bertemu sama laki-laki muda. Tak pasti apa orientasi seksual si bule itu. Yang jelas dia bilang selalu tertarik liat perempuan dan waria feminin serta laki-laki macho. Terserahlah peduli amat akan bual panjang bule itu, sekarang sudah pukul empat dan aku sangat ingin pulang.

Bergegas ke kamar mandi yang begitu mewah itu aku mandi berganti baju dan bersolek tipis, dia sih belum mau aku pulang tapi sesuai kesepakatan sudah waktunya pulang.

Dia berjanji kalau kembali ke Jakarta akan menghubungi aku lagi, tapi entahlah aku masih mau ketemu lagi apa tidak, terlebih mengingat kalau dia meminta aku menghirup benda kristal keparat itu. Tapi…, agak berat menolak tawarannya karena bayarannya menggiurkan dibandingkan dengan abang- abang kuli pinggir rel Jatinegara.

Ya sudahlah yang terpenting besok aku bisa makan.

 

*Penulis adalah alumni pelatihan menulis untuk komunitas waria Jakarta 2015.