Search
Close this search box.

Ada Pelangi Di Foto Profilmu

Oleh : Udji Kayang Aditya Supriyanto*

Suarakita.org- Melalui akun Twitter, Barrack Obama memuji langkah penting yang baru-baru ini diambil Mahkamah Agung Amerika Serikat. “Today is a big step in our march toward equality. Gay and lesbian couples now have the right to marry just like anyone else. #LoveWins,” demikian kicauan Presiden ke-44 Amerika Serikat tersebut. Mahkamah Agung Amerika Serikat sendiri baru saja melegalkan pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagian pada Jumat, 26 Juni 2015 lalu. Wah!

Sebelumnya, pernikahan sesama jenis hanya legal di 36 negara bagian Amerika Serikat saja. Keputusan untuk melegalisasi pernikahan sesama jenis di seluruh negara bagian didasari berbagai argumentasi. Pertama, tentu saja tuntutan aktivis LGBT yang menilai pelarangan nikah sesama jenis sebagai pengebirian hak asasi manusia. Kendati orientasi seksualnya berbeda, mereka merasa berhak menikahi kekasihnya yang sesama jenis itu. Kedua, survai terakhir Pew menyebut sekitar 57 persen warga Amerika Serikat mendukung pernikahan sesama jenis.

Meski tersendat-sendat dalam proses pelegalannya, sekaligus menyisakan jiwa-jiwa yang tak juga ikhlas menerima sampai hari ini, toh keputusan sudah diambil. Para aktivis LGBT jelas yang paling bahagia, sebab barangkali kalangan mereka saja yang merasa diuntungkan. Kalangan lain, terlebih kaum konservatif dan orang-orang yang tak kunjung open-minded, jelas menentang. Sebagai sikap simpatik, Mark Zuckerberg, bos Facebook, merilis aplikasi khusus untuk mengapresiasi legalisasi pernikahan sesama jenis itu. Aplikasi termaksud dapat mengubah tampilan foto profil menjadi berwarna-warni selayak pelangi. Akun Facebook dengan foto profil tersebut berarti menghormati dan menyelamati kaum gay dan lesbian yang memenangkan haknya tersebut. Respect!

 

Menjadi Berbeda, Menjadi Warga

Tak usah sampai menyitir ayat-ayat kitab suci hanya untuk menentang pernikahan sesama jenis. Umat beragama yang salih tentu boleh meyakini pernikahan sesama jenis haram, jadi berhenti saja di situ, tak perlu sampai melarang keyakinan orang lain. Islam misalnya, cukup toleran dalam hal ini. Berislam tanpa arogansi meniscayakan proteksi diri dan orang-orang terkasih lebih dulu, qu anfusakum wa ahlikum. Jagalah dirimu dan keluargamu, itu! Menjaga berarti memastikan apa yang dalam penjagaan merasa aman, tak usah memaksa mereka yang di luar penjagaan menuruti kita. Akan sangat lucu kalau penjaga gawang dalam permainan sepak bola melarang pemain lawan menendang bola ke arah gawangnya.

Hematku, legalisasi pernikahan sesama jenis bukan bermaksud mengancam masa depan ras manusia. Sederhana saja, legalisasi pernikahan sesama jenis hanya ditujukan bagi kaum gay dan lesbian. Tujuannya jelas untuk pemenuhan hak mereka, atau lebih jauh lagi, memberi tempat sebagai warga negara. Sebetulnya tanpa ada legalitas, orang-orang masih bisa jadi gay dan lesbian, hanya saja memang ilegal. Legalitas senantiasa berkata das sollen (apa yang seharusnya), tanpa punya wewenang penuh atas das sein (apa yang senyatanya). Memastikan negara melegalkan pernikahan sesama jenis berarti mengakui mereka sebagai warga negara.

Seturut Karl Marx, sebagai warga negara, kita hidup dalam dua wilayah: political community dan civil society. Dalam wilayah political community, kita menjadi makhluk komunal. Seorang melihat orang lain sederajat sebagai sesama warga negara. Lain hal dengan civil society, kita menjelma makhluk privat. Wilayah civil society sangat rentan akan penindasan, ketidaksetaraan, sebab konstitusi negara tak bisa masuk terlalu dalam ke ranah privat. Marx bahkan secara nakal menyebut political community sebagai surga dan civil society sebagai dunia.

Terkait hak warga negara, Marx berangkat dari Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara yang tertuang dalam Konstitusi Prancis tahun 1793. Termaktub di sana, hak warga negara ialah equality (kesetaraan), liberty (kebebasan), security (keamanan), dan property (kepemilikan). Dapat dikatakan bahwa legalisasi pernikahan sesama jenis hendak memberi jalan terang bagi kaum gay dan lesbian menuju kesetaraan, kebebasan, keamanan, dan kepemilikan. Namun Marx mengkritik, baginya empat hak warga negara itu sekadar di wilayah political community belaka. Padahal, yang cenderung dijadikan acuan nilai adalah pola hubungan warga negara dalam civil society.

Seumpama dalam beragama, kita tahu Nasrani merupakan satu dari enam agama yang diakui negara. Tapi, mengapa masih ada pelarangan pendirian gereja di sana-sini? Padahal, bila alasan pelarangannya hanya karena izin belum beres, mengapa masjid dan mushola bisa leluasa didirikan tanpa izin? Jadi, meski pada wilayah political community sudah terwujud kesetaraan, toh praktiknya masih saja ada kesenggangan antar personal maupun kelompok. Itu pun bisa terjadi dalam kasus legalisasi pernikahan sesama jenis.

Foto profil berwarna pelangi yang sedang ramai dipakai di Facebook akhir-akhir ini pun sebatas sikap simpatik saja. Sikap yang demikian tak serta-merta boleh dianggap “mendakwahkan” hubungan sesama jenis, sebagaimana tuduhan kaum gay-haters dan para anti-LGBT. Meski memakai foto profil berwarna pelangi sama dengan melebarkan euforia sampai keluar Amerika Serikat. Rupanya tidak semua pemilik akun Facebook mengerti alasan dibuatkannya aplikasi foto profil berwarna pelangi itu. Bagaimana bisa orang yang tak tahu mendakwahkan sesuatu? Jadi, gay-haters dan anti-LGBT tak perlu khawatir. Toh, mereka cuma ikut-ikutan euforia saja, belum tentu berani nikah sesama jenis kok.

 

*Penulis adalahmahasiswa Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Redaktur majalah Kentingan.