Search
Close this search box.

[CERPEN]: Aroma Separuh Surga. Oleh: Sulfiza Ariska

Aroma Separuh Surga

Oleh: Sulfiza Ariska*

Suarakita.org- SETIAP hari, pisau ukir di tangan Dalle, meliuk-liuk garang serupa penari ma’randing [1], melahap serat-serat kayu dengan rakusnya. Begitu lapar dan buas. Pa’ tangki pattung, pa’ tanduk rampe [2], dan berbagai motif ukiran—terpahat indah pada setiap jejak yang ditorehkan pisau ukir tersebut. Tak jarang pula, pisau ukir di tangan Dalle, membentuk tau-tau [3] yang sangat sempurna dan seolah bernyawa.

Tapi, siang itu, pisau ukir tiba-tiba menyambar telapak tangan Dalle. Fokusnya buyar bagaikan kaca yang pecah. Pemuda buta itu terpekik parau. Sebuah kerikil tajam seolah bersarang di tenggorokannya. Ia menjatuhkan pisau ukirnya yang berlumur darah semerah saga. Darahnya sendiri.

Meskipun buta sejak lahir, Puang Matua menganugerahi Dalle dengan seribu mata di tangannya dan indra penciuman yang melebihi ketajaman seribu belati. Ia bisa mengenali lekuk-lekuk kecantikan yang disembunyikan sebatang kayu. Konon, Dalle bisa mencium aroma jiwa seseorang. Ia bisa membedakan tabiat ataupun sifat seseorang dari kejauhan.

Telah lebih dari sebelas tahun Dalle mengukir. Baru kali ini pisau ukirnya mengukir bagian tubuhnya sendiri. Hal ini disebabkan aroma jiwa perempuan yang terbang dari halaman dan mendekapnya. Luar biasa wangi. Memabukkan. Membuat kejantanannya terbangun dan kelaparan. Dalam hati, Dalle meyakini, aroma itu mengalahkan keharuman separuh surga.

“Oh, Puang Matua [4],” bisik Dalle terpukau. “Inikah aroma perempuan sejati?”

Tidak ada jawaban dari Puang Matua. Keheningan berlari di seluruh penjuru tongkonan. Dalle mulai khawatir bombo [5] mempermainkan dirinya.

Di tondok ini, memang banyak to makula [6] yang masih berbaring di dalam sumbung [7] dan menanti Rambu Solo[8]. Sejak masuknya para misionaris yang mengenalkan agama baru, banyak yang meninggalkan ajaran Aluk Todolo. Dalam agama baru itu, tidak ada lagi Rambu Solo’ ataupun Rambu Tuka[9] yang menelan biaya ratusan juta. Agar benar-benar lepas dari jeratan ajaran Aluk Todolo [10], mereka meninggalkan tondok, pindah ke Makassar dan daerah-daerah yang tidak dinaungi ajaran Aluk Todolo.

Anggota keluarga yang dulu bahu-membahu untuk memikul biaya dan beban Rambu Solo’, semakin berkurang. Akibatnya, banyak to makula yang merana menanti Rambu Solo’ yang tertunda. Selama itu pula, roh mereka menjelma bombo yang melayang-layang gelisah, termasuk perempuan yang melahirkan Dalle.

Telah sepuluh tahun to makula perempuan itu menanti Rambu Solo’ dengan bombo yang terus bergentayangan. Tapi, Dalle yakin, aroma separuh surga tersebut, tidak dibawa bombo ibunya itu. Perlahan-lahan aroma itu semakin pekat, mendekat, memikat, menendang bau apak tongkonan [11] tua yang menjadi studio Dalle. Membuat dada Dalle semakin sesak dililit sulur-sulur kegelisahan dan terbakar hasrat.

“Siapa?” tanya Dalle gemetar membendung gairah.

Pertanyaan itu mengapung di udara. Tidak ada jawaban atau sahutan selain langkah-langkah halus yang menapaki lantai tongkonan, serupa gemerisik kuntum-kuntum bunga yang rontok dipetik angin musim penghujan. Sebelum Dalle melontarkan pertanyaan lagi, sepasang tangan yang melebihi kehalusan serat sutra, meraih jarinya yang terluka. Dalle bisa merasakan, luka di telapak tangannya dibebat dengan kain, sehingga darahnya perlahan-lahan berhenti mencurah. Lalu, sepasang tangan itu, menjelajahi dada bidang Dalle yang telanjang dan bermandikan keringat dingin. Membuat Dalle merasa melayang dan gamang. Dalle lumpuh dalam rengkuhan sosok yang tidak memiliki suara tersebut.

***
“Dulu, ia bernama Rante Toding,” tutur Bua’ sewaktu mengunjungi tongkonan yang menjadi studio Dalle. Selama ini, Bua’-lah yang membantu Dalle memasarkan kerajianan ukirannya. “Kami sama-sama berasal dari selatan dan lahir dengan bantuan dukun bayi yang sama. Sejak kecil, kami juga selalu bermain bersama—mencuri buah-buahan di kebun tetangga, menunggu antrian pembagian daging kurban dalam Rambu Solo’, dan mandi telanjang di sungai. Setiap melihat tubuhku yang telanjang, ia selalu membuang muka dan tampak malu. Waktu itulah, aku merasa ada sesuatu yang dirahasiakannya. Bahwa, meskipun sama laki-laki, ternyata kami berbeda. Hingga suatu hari, mungkin sekitar usia sebelas tahun, ia menjauhi diriku dan memilih bergaul dengan para perempuan. Bila menari, dirinya pun memilih tari perempuan. Ia pun memakai pakaian perempuan dan—atas saran To Minaa [12]—ia mengubah namanya menjadi Landorundun.”

“Tapi, aku tidak bisa mendengar suaranya,” ujar Dalle bingung. Ia tidak mengerti, makhluk wangi bernama Landorundun itu, tidak mengucapkan sepatah kata pun sewaktu bertamu. Landorundun datang dalam sunyi, meninggalkannya dalam sunyi pula.

Lima tau-tau yang belum dicat, berdiri bisu di belakang Dalle, menatap Bua’ tajam dan menghujam. Seolah-olah, Dalle menatap Bua’ melalui mata tau-tau ciptaannya. Dan memang, di antara seluruh bagian tau-tau ciptaan Dalle, bagian mata tau-tau ciptaannya selalu sempurna. Mata patung-patung tersebut; seolah-olah memiliki retina, pupil, dan kornea. Tidak mengherankan, tau-tau itu membuatnya terkenal dan berharga mahal. Konon, Dalle pernah menjual sebuah tau-tau dengan harga satu miliar. Tapi, Buatidak mengerti, mengapa Dalle masih terlihat seperti pengemis di pasar Rantepao, kumal dan tidak terurus. Rambu Solo’ bagi ibunya belum juga terlaksana. Entah untuk apa uang—hasil penjualan kerajinan Dalle—digunakan saudara-saudaranya.

Bua’ menghembuskan nafas berat. Lalu mereguk ballo [13] dari gelas kayu yang diukir Dalle dengan pa’ tangki pattung—simbol kebangsawan Toraja. Setelah ballo di gelasnya tandas, Bua’ malah melanjutkan penjelasannya. “Indo-ku [14] mengatakan, sebelum kedatangan agama baru yang menggeser Aluk Todolo, Landorundun bisa menjadi to burake [15] yang memberkati sawah dan ladang. Landorundun tergolong to burake tattiu’ [16]. Hingga sekarang, masih banyak orang-orang Toraja yang percaya, sawah dan ladang yang diberkati to burake, akan jauh dari hama dan mendatangkan panen berlipat ganda.”

“Aku tidak bisa mendengar tentang suaranya!” potong Dalle kembali.

Bua’ bangkit dari lantai tongkonan, meninggalkan Dalle yang masih bersila di antara serat-serat kayu yang berserakan. Ia menguak jendela tongkonan tempat sahabatnya, Dalle, diasingkan saudara-saudaranya.

“Orang-orang penganut agama baru tersebut, mengutuk Landorundun. Tuhan mereka melarang laki-laki berpakaian dan berperilaku seperti perempuan, begitupun sebaliknya. Mereka menuntut Landorundun kembali menjadi Rante Toding, memakai pakaian dan berperilaku sebagaimana laki-laki. Namun, Landorundun menolak dan menyatakan bahwa Tuhan mereka tidak adil itu. Baginya, hanya tubuhnya yang laki-laki, tapi jiwanya perempuan. Mereka merasa Landorundun menghina Tuhan. Suatu petang, ketika Landorundun mandi di sungai, sekelompok laki-laki penganut agama baru tersebut, memotong lidah Landorundun!”

Dalle tergeragap. Petir seolah menyambar dirinya. Pisau ukir pun kembali mengukir telapak tangannya.

***
Sejak ayah Dalle kembali ke puya [17] dan nafas ibunya terhenti, Dalle semakin tidak terurus. Padahal, seluruh orang-orang di tondok tahu, Dalle yang menjadi sumber kehidupan keluarganya. Saudara-saudaranya hanya mau uang semata, bukan dirinya. Orang-orang tondok-lah yang menuntunnya ke sungai, memandikan, sampai memberi makan dan pakaian bersih.

To Minaa dan orang-orang kampung meyakini, Deata [18], bersemayam di dalam tubuh Dalle. Mengabaikan Dalle berarti mengundang tulah. Dalle pun pandai membalas bantuan orang-orang tondok dengan jasa yang jauh lebih menakjubkan. Dari tangan Dalle-lah berasal semua kerajinan kayu untuk kebutuhan upacara-upacara suci. Bahkan, tanpa tau-tau dari tangan Dalle, Rambu Solo’ tidak berjalan dan tongkonan tidak bisa didirikan. Orang-orang dari ‘tondok seberang’ membayar mahal, tapi Dalle memberikan ukiran-ukirannya tersebut—untuk para orang-orang di tondok-nya—tanpa mengharap bayaran.

Meskipun demikian, orang-orang tondok tidak bisa merawat Dalle penuh waktu. Tidak jarang, mereka menemukan Dalle terkapar kelaparan dengan tubuh bermandikan air kencing. Membuat mereka merasa bersalah dan cemas kedatangan tulah. Untunglah, kehadiran Landorundun, membawa angin segar. To burake tattiu’ itu, bersedia mencurahkan waktunya dan mengabdikan dirinya untuk Dalle. Barangkali, Landorundun ingin membalas jasa-jasa orang tondok yang menerima kehadirannya dan melindungi dirinya dari serangan para penganut agama baru.

***
Siang ini, Landorundun kembali melangkah menuju tongkonan yang menjadi studio Dalle. Tangan kanannya, menjinjing keranjang berisi pa’ piong duku’ bai [19] dan ballo. Dari jarak seribu tombak, Dalle telah mencium aroma jiwanya yang dibawa angin kemarau. Dalle langsung menjatuhkan pisau ukirnya dan menanti to burake tattiu’ dengan kerinduan purba.

Saat langkah-langkah Landorundun menyapu lantai tongkonan, Dalle tidak mampu lagi membendung rindu. “Landorundun!” titahnya penuh hasrat. Langkah-langkah lembut yang menyerupai bunyi guguran kelopak-kelopak bunga, menjelma longsoran batu, bergegas menuju Dalle. Saat Landorundun bersimpuh di hadapannya, seribu mata lelaki yang tersembunyi pada sepasang tangan Dalle, segera menjelajahi tubuhnya. Perlahan-lahan Landorundun melepaskan kain tenun Toraja yang ia pakai, membuka dirinya lebar-lebar, dan menyambut kejantanan Dalle untuk mengukir tubuhnya.***

Catatan:
[1] ma’randing: tari perang khas Toraja
[2] Motif ukir khas Toraja: pa’ tangki pattung (tangkai bambu betung), pa’ tanduk ra’pe (tanduk kerbau yang sebangun dan disusun berjejer rapat).
[3] tau-tau: patung dari kayu nangka berwujud orang yang meninggal dunia, sebagai pelengkap peti mati di pemakaman.
[4] Puang Matua : Tuhan dalam ajaran Aluk Todolo
[5] bombo: Roh yang menunggu upacara dan bergentayangan
[6] to makula: Jenazah yang belum diupacarakan, masih dianggap sebagai orang sakit dan masih dilayani kebutuhan-kebutuhan, seperti makan, minum, dan diajak bercakap-cakap.
[7] sumbung: Bagian belakang rumah (tongkonan) tempat menyimpan mayat
[8] Rambu Solo’: upacara pemakaman khas Toraja
[9] Rambu Tuka’: upacara kegembiraan
[10] Aluk Todolo: agama tradisional etnis Toraja
[11] tongkonan: rumah khas Toraja
[12] To Minaa: pendeta adat
[13] ballo: tuak
[14] Indo: ibu
[15] To burake: sebutan yang dilontarkan Orang Toraja bagi transgender di Toraja.
[16] to burake tattiu’: berjenis kelamin lelaki, tapi berpakaian dan berperilaku seperti perempuan
[17] puya: alam baka
[18] Deata: dewa
[19] pa’ piong duku’ bai: daging babi dimasak bambu

*Sulfiza Ariska, pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tahun 2014, ia terpilih sebagai penulis emerging Indonesia dalam Ubud Writers and Readers Festival ke-11 di Bali.

Bagikan