Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Nama panggilannya adalah Rayi. Seorang mahasiswa yang juga berprofesi sebagai guru seni budaya di salah satu MTS (Madrasah Tsanawiya, pendidikan setara SMP – red) di Bandung. Di waktu luangnya, Rayi biasa mengisi waktunya sebagai penari cross-dresser. Di tempat kosnya, Rayi menceritakan pengalamannya itu.
“Aku pertama kali nari itu ketika aku baru masuk kuliah, kurang lebih baru tiga tahun. Sedangkan menyanyi, aku sudah dari kelas empat SD. Untuk pertama kali naik panggug itu pada SMP untuk kosidahan,” tuturnya ketika menceritakan pengalamannya pertama kali naik panggung. “Sedangkan untuk cross-dressernya sendiri, aku pertama kali waktu SMA, waktu itu aku nyanyi. Bukan nari.”
Malam hari pada tanggal 27 juni itu terasa berwarna ketika Rayi sembari bercanda ketika diwawancarai, “Tapi kalau untuk seperti wanitanya itu sudah dari dulu, tos kodratna (sudah kodratnya),” disusul dengan tawaan kami dan beberapa rekan yang ada di ruangan itu.
Rayi juga mengakui bahwa pro dan kontra di masyarakat itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menyikapinya. Orang lain menganggap kita sebelah mata karena orang tersebut belum mengetahui kemampuan kita.
“Saya sendiri awalnya memang masyarakat ada yang berpikiran miring ya. ‘Apa sih jadi bencong?’ begitulah. Tapi saya membuktikan bahwa suatu saat saya mengisi acara di Bandung TV dan membuat single di 2011. Karena dalam Islam juga kan, amalku untukku, amalmu untukmu. Jadi, yang penting kita tidak merugikan orang lain saja.”
Anak keempat dari lima bersaudara ini juga mengaku bahwa melakukan cross-dresser adalah hal yang seru dan dia senang melakukannya.
Pengalaman demi pengalaman Rayi ceritakan, dimulai dari pengalaman yang tak terlupakan sampai pengalaman yang tidak enak.
“Waktu itu aku isi acara, awalnya aku nggak tau kalo aku jadi bintang tamu, ternyata aku jadi bintang tamu dan panggungnya besar,” katanya.
“Sedangkan pengalaman yang menjengkelkan, waktu itu aku di daerah Jalak Harupat. Waktu itu aku mabuk, dan masih berpakaian perempuan. Banyak yang grepe-grepe aku.” Katanya dilanjutkan dengan tertawa.
Rayi berpesan kepada masyarakat untuk saling menghargai. “Kalau mereka gak ada urusan dengan kita ya gak usah ngurusin kita. Intinya kita saling menghargai saja. Dan aku percaya karma itu berlaku. Dan kita juga bukan sampah ya, justru dunia ini kalau nggak ada kita-kita, akan terasa hampa, loh. Gak ada hiburannya. Gak ada warnanya. Flat.”
“Pesanku untuk para penari-penari cross-dresser, menari dan berpakaianlah yang benar, dan harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang kalian tampilkan. Jadi bukan hanya untuk cantik-cantikan saja, bukan nongkrong-nongkrong di jalan saja, tapi harus punya bakat yang bisa dipertanggung- jawabkan di mata masyarakat.”
Rayi juga menceritakan orang tuanya yang menerima dirinya sebagai penari cross-dresser, dan menurut Rayi dukungan orang tua itu memang paling nomor satu. “Motivasi aku hanyalah ingin membahagiakan orang tua tanpa ingin membebani mereka dengan apa yang aku lakukan. Waktu aku bikin single kedua, kan, dukungan mamah papah itu kuat.”
Rayi beranggapan bahwa kenapa sekarang ini transgender, cross-gender, atau juga cross-dress dipandang sebelah mata karena pengaruh dari media, salah satunya televisi. Dimana transgender, cross-gender, atau juga cross-dress selalu ditampilkan bagian-bagian yang negatifnya saja. “Di TV gitu kan yang selalu ditampilkan yang lagi mangkal atau apa. Malahan kebanyakan yang ditampilkan banyak yang negatifnya dibandingkan yang positinya. Bahkan di KPI kan sudah tidak boleh ada yang cross-dresser gitu.”
“Adakah pandangan negatif dari masyarakat di kampung?”
Rayi dengan santai menjawab, “Engga. Aku kalo di kampung itu artis.”
*Penulis adalah mahasiswa STSI dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.