Elegi
Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Aku baru teringat bahwa besok aku masuk kerja pagi sekali. Aku harus segera tidur. Terpaksa aku tinggalkan teman-temanku semasa SMA itu. Mereka masih saja ribut tertawa. Namun aku harus pulang mau tidak mau. Padahal aku masih sedang ingin bersantai sedikit lagi. Tapi apa boleh buat, sekarang sudah pukul dua pagi. Waktu yang tidak tepat untuk tetap terjaga seperti ini.
“Bro, gue duluan ya! Besok kerja pagi, nih!”
“Yah, payah! Masih siang ini, bro!” kata seseorang di meja.
Aku hanya tertawa canggung pada tawaan mereka dan meninggalkan lokasi nongkrong kami. Kunyalakan motorku dan berlalu begitu saja.
“Ah sial, padahal dikit lagi gue bisa ajak dia ke kosanku.” Aku bicara sendiri. Yang kumaksud adalah Ghani. Teman sekelasku sewaktu SMA dulu. Entahlah, dari awal aku bertemu dengannya aku sudah menaruh curiga padanya bahwa dia sama sepertiku. Seorang gay. Tapi entahlah. Aku memang pengecut sampai-sampai harus menunggunya mabuk terlebih dahulu. “Hah! Bego lu, za!” aku ketuk helmku sendiri.
Aku pulang dengan perasaan yang hampa. Tiga tahun menyendiri setelah pacar terakhirku, tentunya aku sangat menginginkan seseorang yang bisa menemaniku lagi. Namun entahlah. Setiap aku berkenalan dengan seseorang di Facebook, selalu saja aku mendapatkan pertanyaan “Top atau Bot, bro?” atau “Kos gak? Butuh pijit plus-plus?” atau yang paling parah “Main yuk ke kosan om?” dan yang lainnya. Tidak ada yang pernah menanyakan aku bagaimana keadaan politik Indonesia saat ini, atau berita apa yang sedang update di internet. Atau sepertinya keren juga jika ada yang menanyakan bagaimana kabarku terlebih dahulu. Hah! Entahlah.
Tapi mungkin juga alasanku melajang adalah Ghani. Aku benar-benar menunggu kepastian tentang dirinya. Jika nanti aku tahu bahwa dia straight barulah aku mencari yang lain. Aku hanya takut dia tersinggung jika aku menanyakan itu. Jadi aku biarkan saja waktu yang menjawab.
“Ghani… Ghani…” gumamku lagi. Sepertinya aku sudah mulai gila memikirkannya.
Sebentar lagi motorku memasuki area komplek dimana kosanku berada. Keadaan sekitar sini sudah sepi, tentu saja. Namun ada yang berbeda dari biasanya. Ketika aku akan masuk melalui gerbang, pagarnya ditutup dan tidak ada penjaganya. Aku coba klakson beberapa kali namun sang satpam tak juga datang.
“Yang bener aja!” aku turun dari motorku dan mencari satpam itu di sekeliling posnya. Aku tidak menemukannya dimanapun.
“Pak? Pagarnya buka dong!” kataku. Siapa tahu dia mendengarnya. Namun tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
Aku terpaksa menunggu beberapa puluh menit di atas motorku. Sampai aku terkaget oleh bunyi handphoneku sendiri. Ada pesan masuk. Dan itu dari Ghani. Aku otomatis kembali bersemangat.
“Wih, ada apa nih si ganteng sms?” tanpa pikir panjang lagi aku buka sms itu.
“Za, power bank gue dibawa ya?”
Power bank? Aku menggeledah isi tasku dan benar saja, power bank milik Ghani terbawa olehku. Otakku langsung berpikir kreatif. Bagaimana jika aku kembali ke tempat nongkrong agar bisa bertemu Ghani lagi?
Aku langsung balas sms itu dengan semangat. “Wah iya nih, Ghan. Gue balik lagi aja deh. Demi lo.” Kataku sembari sedikit tertawa. Langsung saja aku bersiap, namun aku terhenti oleh datangnya pesan singkat lagi.
“Gak usah, gue udah pulang. Besok aja kita ketemuan dimana.”
Ah sial! Pikirku. “Oke deh.” Jawabku singkat.
***
“Sekali lagi kamu datang terlambat. Upahmu saya potong!” kata bosku begitu menangkap basah aku datang terlambat hari ini.
“Iya pak. Maaf.” Setelah itu, bosku itu pergi dengan marah. Aku hanya berdiri canggung sembari diperhatikan oleh teman satu kantorku. Ini gara-gara satpam komplekku yang menghilang, dia baru hadir dua puluh menit setelah sms terakhir Ghani. Ini semua gara-gara aku tidak langsung tidur begitu aku sampai kosanku. Aku malah asik online mencari lelaki di Facebook. Sampai aku sadari ternyata sudah pukul empat subuh. Ini juga gara-gara Ghani. Berkat dia aku jadi kesulitan tidur. Dia membuatku membayangkan pertemuan kami hari ini.
Sebuah pesan singkat tiba-tiba hadir. “Tepat waktu ganteng. Tepat waktu.” Kataku dalam hati.
“Gue ke kantor lu aja ya. Lu ngantor kan?”
“Yaudah, kesini aja. Btw, lama gak? Kalo lu gak akan lama, gue tunggu di lobi. Soalnya tadi gue udah diancam sama bos gue.”
“Ah paling lima menit aja, bro.”
“Oke deh. Buruan!”
Benar saja, belum sepuluh menit Ghani sudah memberi kabar bahwa dirinya sudah ada di kantorku. Aku pergi keluar untuk mencarinya. Dan mataku tidak mungkin salah. Ghani sedang menungguku sembari memainkan handphone bututnya.
“Nih!”
“Lain kali gak usah dibawa juga kali.” Katanya.
“Ye… mana tau gue. Udah ah bawel. Gue balik ngantor ya!”
“Yaudah.”
Aku memandangi Ghani sedikit lebih lama lagi. Tak pernah bosan aku dengan wajahnya iu.
“Kenapa lu?”
“Enggak.” intuisiku berkata sesuatu yang baik. Namun entahlah.
“Yaudah ya gue cabut ya!”
Itu saja? Pertemuan yang aku bayangkan hanya berakhir seperti itu? Ah kau memang pecundang, Reza!
Kuperhatikan Ghani berlalu begitu saja dengan motornya. Namun bukan Reza namanya jika tidak kreatif. Aku melihat Ghani memainkan handphone bututnya tadi, itu berarti satu hal. Handphone pintarnya mati kehabisan energi. Aku hanya tersenyum saja dan kembali ke kantorku untuk mengais rezeki.
Satu jam, dua jam, tiga jam. Ghani masih belum membalas pesanku. Pesan kreatif yang aku kirim ke handphone pintarnya. Pada tiga jam lewat dua puluh lima menit aku akhirnya mendapatkan tanda bahwa Ghani sudah membaca pesanku. Tinggal tunggu langkah selanjutnya.
Tiga jam lewat tiga puluh menit, Ghani akhirnya membalas pesanku itu.
“Gue straight!” katanya. Sesingkat itu.
Aku tundukkan kepalaku ke meja kerjaku. Berkabung untuk kisah cintaku yang menyedihkan ini.
“Kenapa lu?” tanya Susi, teman sekantorku. “Kaya mau mati gitu.”
“Memang!” Ah… Elegi.
*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.