Search
Close this search box.

[CERPEN]: WANITA PENEMBANG

WANITA PENEMBANG

Oleh: Kalamita*

Suarakita.org- Malam itu, Rani, tampak lelah setelah berjalan kiloan meter hanya untuk menyanyikan lagu sumbangnya dengan benda berbentuk kotak seperti sebuah koper sedang yang terbuat dari kayu dengan tiga buah senar yang mengikatnya. Di sebuah warung kopi di tengah perkampungan Jakarta, Rani mampir untuk mengistirahatkan kakinya yang langsing dalam balutan stoking berwarna putih.

“Bang, pesen kopi item ya. Ada kretek gak?”, tanya Rani pada penjaga warung gaul, begitulah nama dari warung yang berdiri di atas kali kecil di perkampungan yang terlewati kali Ciliwung.

“Iya, bentar ya, lagi mau masak air panasnya dulu. Semaleman banyak yang pesen kopi, jadi termosnya kosong terus. Tadi hujan jadi lumayan banyak yang neduh. Rokoknya mau berapa batang, Ran?”, tanya Mili si penjaga warung itu.

“Satu aja Bang. Ntar kalau mau jalan lagi ngambil lagi. Capek juga tadi ngamen kebanyakan neduh di trotaor. Ini juga belum ada uang lebih. Hujan bawa berkah nih namanya. Haha…”, jawab Rani kembali.

Sambil melihat sekeliling yang masih tampak basah setelah terguyur hujan, Rani melepaskan pandangannya pada sebuah kenangan di masa lalu. Saat Ia masih bermukim di kampung halamannya di daerah Sragen, Jawa Tengah.

***

Ketika masih tinggal di kampungnya, Ia masih bisa meraup uang demi menyokong keluarganya meski Ia harus menutupi jati dirinya sebagai seorang waria. Meskipun Ia tahu dan banyak orang yang tahu jika sebenarnya Ia memiliki keunikan, karena bahasa tubuh dan bicaranya cenderung feminim. Tapi Ia gak peduli, begitu juga orang di daerahnya. Rani dikenal sebagai penyanyi serba bisa menyanyikan lagu-lagu kroncong, campur sari hingga lagu dangdut. Suara merdu dan tak jarang Ia ditanggap untuk mengisi acara kawinan. Terkadang dalam pentas kawinan Rani memakai kostum kebaya dan sanggul. Ia tampak cantik dan jarang orang yang tahu bahwa Ia adalah seorang laki-laki. Banyak diantaranya yang menganggap Rani berdandan demikian karena tuntutan panggung namun ada pula yang berpikir kalau Rani sebenarnya seorang laki-laki berpenampilan perempuan. Tapi siapa yang mau ambil pusing, selama mereka kenalnya, Rani adalah orang yang baik dan tidak pernah mengganggu kenyamanan masyarakat. Apalagi mereka tahu keluarganya dan alasan mengapa Rani melakukan semua kegiatan menyanyinya dengan merubah penampilanya.

Kedua orangtua Rani telah meninggal saat Ia duduk dibangku sekolah menengah. Sejak itu Rani mulai mencari pemasukan demi menyokong kelangsungan hidup keluarganya,  ia membiyayai pendidikan adik-adiknya dengan berbagai cara. Mulai dari menjadi tukang es mambo keliling hingga gorengan. Saat itu Rani masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Rani pun tidak mau sekolahnya terputus. Namun kenyataan hidup berkata lain. Ia hanya mampu menamatkan sekolahnya hingga sekolah mengengah pertama. Selebihnya didedikasikan untuk pendidikan sekolah adik-adiknya. Ia berharap adik-adiknya mampu sekolah hingga jenjang kuliah.

Sejak itulah Rani mulai berkeliling hingga puluhan kilo meter dan bertemu seorang Ibu, yang ternyata seorang sinden dari kampung sebrang. Ibu amat berempati dengan cara Rani menjajakan dagangannya dari kampung ke kampung di daerahnya hingga daerah tetangga dengan niat dan semangat yang tinggi tanpa tersendat hujan ataupun jarak tempuhnya yang harus Ia lalui dengan berjalan kaki hingga puluhan kilo meter. Bersamanya Rani mulai belajar menyanyi dari berbagai jenis bentuk lagu. Kegigihan Rani belajar membuat Ibu itu mengajaknya berkenalan pada kenalannya yang merupakan seorang pengelola kegiatan musik untuk pentas-pentas rakyat.

Bebebrapa tahun berlalu, Rani tetap rutin mengunjungi Ibu sinden itu meski tidak lagi menjajakan dagangan namun hanya sekedar berkabar sambil membawa oleh-oleh. Rani mulai sering ditanggap untuk berbagai acara pentas musik yang tentu saja membantunya sekali untuk menyokong kebutuhan adik-adiknya. Memang tidak seberapa jika hasil itu dihitung dalam nominal kebutuhan di Jakarta. Tapi semua kebutuhan tercukupi dan tak jarang masih ada yang bisa ditabung oleh Rani.

Hingga suatu hari, Rani berkunjung ke rumah Ibu sinden itu, Ia dapati kabar dari anaknya bahwa Ibunya telah meninggal beberapa hari yang lalu. Rani pun mendapati hatinya kembali hancur serta kehilangan yang mendalam seperti saat Ia merasakan kehilangan atas kepergian orangtuanya untuk selamanya. Dengan langkah yang penuh pilu Rani menguatkan hati dan jiwanya berziarah kepembaringan terakhir Ibu sinden. “Semoga jiwamu tenang dan tetap nyinden di kehidupan lain Bu. Terima kasih atas semua yang telah Ibu lakukan untukku selama ini. Aku pamit ya Bu”, bisik terakhir tepat di sudut pusara sebelum Rani meninggalkan makamnya sambil mengelus tanah basah itu.

Setelah kejadian itu dan adik-adiknya semakin besar, Rani pun menekatkan niatnya untuk hijrah ke Jakarta. Ia menatap harap pada sebuah kota besar yang akan menerimanya dengan ramah dengan segala keterbukaannya. Namun sesampainya di Jakarta, harapan itu belum terwujud meski satu kebebasan akan jati dirinya telah Ia raih. Rani memilih jiwanya yang perempuan sebagai eksistensinya yang selama ini masih Ia simpan dengan baik di kampung halamannya.

***

Rani, seorang penembang yang dikagumi di kampung halamannya kini tidak lebih dari seorang waria yang hidupnya dari mengamen di jalan raya hingga perkampungan kota Jakarta. Hidup mengekost dengan harga yang cukup tinggi untuk pemasukannya yang tak pasti. Belum lagi kondisi kostnya yang sebenarnya tidak layak. Namun apa boleh buat, Ia berpikir selama masih bisa tidur dengan tenang, tak apalah.

Matanya tampak memerah dan berkaca, hatinya pun mulai mencair. Namun kondisi itu tertepis saat Bang Mili menyodorkan kopi pesanannya serta kreteknya yang sebatang.

“Udah, hidup gak usah dipikirin banget. Ntar bisa gila. Tuh kopinya… Bayarnya ntaran aja kalo udah ada uang.”, lirih ucapan Bang Mili. Ia tahu bagaimana Rani selama ini, selalu tepat membayarkan hutangnya dan memang menjadi pelanggan setia di warung gaulnya.

“Hehe… Iya Bang. Makasih ya!”, jawab Rani sambil meneguk kopi hangatnya lalu Ia pun membakar rokok yang sebatang saja dan menghisapnya dalam-dalam.

“Oya Ran, kemarinan ada yang nyariin kamu ke sini. Katanya kamu disuruh nemuin dia ke rumahnya. Nih dia ninggalin kartu nama. Rumahnya deket tuh, di ujung belokan depan, rumah cluster. Samperin aja, siapa tau rejeki…”, kata Bang Mili melanjuti obrolan sambil memberikan kartu nama orang tersebut.

“Rejekinya bencong, Bang! Haha…”, jawab Rani berkelakar.

“Ya udah besok deh coba nyamperin ke tempatnya. Makasih ya Bang. Ntar kalo rejeki beneran, aku mampir deh ke sini. Kagak ada rejeki aja mampir sampe bosen kali ngeliatin bencong cantik ini ngutang mulu di sini. Hihi…”, lanjut Rani sambil bersiap melanjutkan perjalanannya sebagai penembang dengan tabuhan yang sudah termasuk ketinggalan jaman.

Beberapa hari berlalu… Seperti biasa, Rani sibuk dengan pergulatan hidupnya di kota megapolitan dan warung gaul Bang Mili tetap menjadi tempat singgah bagi muda-mudi dan warga setempat yang ingin sekedar nongkrong ngopi sambil bermain gaplek.

“Bang Mili, pa kabar?”, teriak Rani dengan kemayu di suatu malam.

“Lha, tumben nongol. Kemana aja ngilang kayak demit? Ngopi?”, tanya Bang Mili.

“Iya, biasalah… Rokok sebatang juga ya. Aku sukanya yang sebatang-sebatang aja. Hihi…”, jawab Rani.

“Gini, kemarin udah sempat datengin ke rumahnya. Dia katanya dua kali ketemu aku pas lagi ngameng di jalan raya depan, dia mau pulang. Sempat papasan di depan, katanya, trus lihat aku mampirnya di sini.”, lanjut Rani.

“Emang mau ngapain dia sampe ngikutin kayak intel gitu?”, tanya Bang Mili menimpali.

“Dia suka ama suaraku. Trus dia ajak aku ke studionya di Pasar Minggu. Sekarang aku dapet kontrak nyanyi dari dia. Lumayan Bang. Dibayar separoh dimuka. Rejeki mah emang gak kemana ya Bang. Oya, aku mau bayar hutang sekalian ada rejeki buat keluarga Bang Mili nih, semoga manfaat ya. Aku mau pulkam dulu, mau jemput adik¬ diajak tinggal di Jakarta aja, biar pada bisa kuliah di sini. Rumah di kampung paling mau aku jadiin rumah kumpul warga aja, siapa tahu manfaat, lagian kan itu rumah warisan. Biar tenang akunya…”, jelas Rani sambil menikmati kopi dan sebatang kretek di bawah malam yang cerah berbulan setengah.

Sejak malam itu, Rani menjadi penembang yang sama seperti saat Ia berada di kampungnya dulu tanpa harus menutupi jati dirinya lagi yang seorang waria. Adik-adiknya pun menerima dirinya dengan ikhlas dan melanjutkan pendidikannya. Saat pulang kampung, Rani sempatkan ke makam Ibu sinden untuk berpamitan dan berkisah tentang perjalanannya selama di Jakarta. Perasaan haru dan bahagia menyelimuti hati Rani selamadi makam. Sedang rumah yang dulu telah membesarkan dirinya sebagai seorang anak, Ia hibahkan pada kampungnya untuk kegiatan-kegiatan masyarakat di sana. Siapa yang menyangka, sebuah perjalanan berliku dan naik turun yang dilakoni dengan niat dan kesabaran akan menuai kemuliaan tanpa memandang identitasnya.

Rani yang kini menjadi penembang dengan nilai nominal tinggi tetap menyertakan penabuhnya yang berbentuk koper berbahan kayu dengan tiga senarnya kemana pun Ia menjadi penembang germelap panggung. Koper itu menjadi ciri khasnya tersendiri…

 

TAMAT

Lenteng Agung, 12 April 2015

*Penulis adalah kontributor yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. 

Bagikan

Cerpen Lainnya